'Astaga, beneran digigit... Adoh, mati, Nih, siapa sih yang masukin palanya ke maskot beruangnya?? Kok tega?? Orang iseng, ya?' //search di WIKI
'What the hell??? Abangnya sendiri??? Aduh, untung w anak tunggal- eh, orphange deng.'
Saat aku melihat scene Evan meninggal, bisa dibilang reaksiku kaget, tapi cuma sebentar, nggak sampai syok. Karena mereka itu cuma ada di game, kan? Maksudku... tidak mungkin itu semua terjadi di kehidupan nyata.
Tapi kali ini berbeda, aku melihat Evan meninggal dengan mata dan kepalaku sendiri.
Aku lengah.
Ku kira semuanya sudah berakhir.
Kukira jika Elizabeth tidak mati, tentu Michael tidak menyimpan dendam pada adiknya.
Teman macam apa yang membiarkan temannya mati saat dia sudah tau bahwa maut akan menjemput temannya?
Aku merasa diriku orang paling brengsek di dunia.
Aku hanya bisa menatap dengan kosong saat melihat ambulans datang lalu mengangkat tubuh Evan yang sudah lemas ke dalam mobil Ambulans lalu melaju membawanya ke Rumah Sakit.
Tubuhku lemas.
"Apakah Evan akan baik-baik saja?? Aku... Aku..." Elizabeth menggigit jemarinya dengan panik, Clara segera menghampirinya lalu memeluknya, "Tenang saja, Evan pasti akan selamat, kok... Tenang saja Elizabeth..."
Tapi aku bisa melihat jemari Clara yang bergetar, mukanya pucat. Bagaimana tidak? Sekarang anak bungsunya sedang berada di tengah ambang kematian.
Aku gagal.
"Kemungkinan besar anak anda tidak bisa di selamatkan, kita hanya bisa menunggu keajaiban"
Ucapan dokter tersebut membuat William menghela nafas, matanya yang bernetra ungu melirik ke arah istrinya yang sedang menangis sesenggukan sembari menggumamkan nama Evan berulang kali, sedangkan Elizabeth memilih untuk duduk di ruang tunggu sendirian.
Michael? Dia memaksa untuk terus berada disisi Evan, jadi sekarang dia duduk di kursi sebelah tempat tidur Evan sambil mengharapkan keajaiban. Jelas perasaan bersalah sudah mulai menggerogotinya dari tulang sampai ke ubun-ubunnya.
Sedangkan aku yang bukan siapa-siapa hanya bisa menatap dari luar kamar. Menatap selang-selang rumit, infus, serta alat bantu pernafasan yang menyelubungi tubuh Evan yang lemah tak berdaya.
"Aku ini brengsek, ya? Aku bukan Abang yang baik, ya? Padahal sudah jelas dia tidak suka diperlakukan seperti itu. Sudah jelas dia menunjukkan ekspresi ketakutan seperti itu, sudah jelas dia berteriak, seudah jelas dia-"
"Hei Mike, berhentilah. Tidak ada gunanya menyalahkan diri sendiri seperti itu. Lebih baik kita berdo'a untuk keselamatan Evan" Charlotte menepuk bahu Michael, Michael menatapnya sekilas lalu mengangguk dengan pasrah.
Aku melangkah menjauhi kamar dengan langkah yang gontai, lalu memilih untuk menduduki kursi kosong di sebelah tempat Elizabeth duduk. Tangannya sedang menggambar sesuatu.
"Hei, kamu sedang menggambar apa?"
"Gambar keluarga. Disini ada aku, Evan, Mike, Mama, Papa" Ucapnya sembrai menguarkan krayon berwarna merah lalu membuat lengkungan kecil di atas kertas, jadilah bando yang Elizabeth gunakan sekarang.
"Numi nggak nunggu bareng Mike dan Kak Charlie?"
"Aaah, mereka lagi butuh yang namanya Privasi" Ucapku dengan datar. Elizabeth menatapku dengan raut wajah tak paham lalu hanya mengangguk-angguk saja.
"Menurut Numi, Evan bakal selamat, gak?"
Enggak. Bakal mati. Nanti habis itu kita bakal ngadain pemakaman, terus pakai baju serba hitam, jelas sangat melambangkan kesedihian sekali. Lalu langit akan menurunkan hujan lebat seperti yang ada di novel-novel saat sang karakter mati. Setelah itu semua orang akan menangis, setelah itu...
"Elizabeth takut kalau Evan bakal ninggalin Elizabeth selama-lamanya..."
Aku mengelus pucuk kepala Elizabeth dengan gemas, "Hei! Tenang saja! Menurut Numi, Evan itu anak yang kuat. Pasti dia bakal bangun seakan tak terjadi apa-apa lagi seperti biasa!"
Elizabeth mengangguk mantap.
Bohong.
Pembohong. Jelas yang ku ucapkan semuanya hanyalah harapan semata. Evan kembali bangun dari kematiannya? Sungguh tidak realistis, padahal aku sudah tahu semua alur ceritanya dan masih saja berharap keajaiban akan datang. Tidak ada yang namanya keajaiban di realita yang terkenal kejam ini.
Tapi tidak mungkin aku mengatakan kata-kata kebenaran itu pada anak SD yang masih mempunyai harapan besar seperti Elizabeth ini. Biarkan dia mengetahuinya sendiri.
kRIEEETTT....
Terdengar suara pintu yang terbuka, Elizabeth menengok ke arah sumber suara tersebut. Michael dan Charlotte sedang bercakap-cakap sejenak lalu memanggil Elizabeth agar ikut mereka ke kantin rumah sakit untuk makan siang.
Mataku terus mengikuti mereka sampai mereka menghilang dari pandanganku. Aku beranjak dari kursi lalu membuka pintu kamar pasien.
Numi melangkah menuju tempat tidur lalu menghentikan langkahnya disitu.
'Sudah keberapa kalinya?' batinnya.
Ini sudah ke 2 kalinya dia memutar timeline kembali hanya untuk menyelamatkan bocah tersebut. Tentu saja tidak semudah itu untuk mengubah timeline, ia harus mengorbankan umurnya yang tidak jelas berapa angkanya untuk menyelamatkan mereka berkali-kali.
[Sisa hidupmu adalah ----]
[Apakah kamu akan memutar waktu?]
"--- itu berapa tepatnya?" Masalahnya sistem ini tidak mau meberitahuku berapa sisa umurku. Yah... walau aku juga tidak peduli soal itu.
[Sudah kubilang, itu rahasia]
"Tch..."
[Apakah kamu mau memutar waktu?]
[Ya]
[Tidak]
"..." Aku menatap Evan yang masih terbaring dengan lemah di atas ranjang.
Keputusanku sudah bulat.
"Ya"
[Ya]
[Tidak]
.
.
.
⸢-kehidupan pertama: -------
-Kehidupan ke dua: Evan Afton
-Kehidupan ke tiga: ??????⸥

KAMU SEDANG MEMBACA
Transmigrasi ke dunia yang tidak aku inginkan AU FNAF by Numi_Cakep / HCheese
FanfictionApa yang terjadi kalau kamu tiba tiba pindah server ke game FNAF? Inilah yang dialami oleh Numi, perempuan biasa saja yang berumur 14 tahun, tiba-tiba dilempar ke game FNAF sama author-nya yang kurang kerjaan. "Astogeh, perasaan hidup gw baik-baik...