9

293 27 8
                                    

  Pagi ini adalah pagi yang suram. Jaevano masih belum bangun sejak kemarin malam. Anak itu pingsan, mungkin karena kelelahan menangis.

  Kini keluarga kecil Agnabrita berkumpul di meja makan tanpa kehadiran si sulung. Mereka tak membuka pembicaraan apapun, tak ada kebisingan seperti biasa.

  Jaerga tampak murung. Matanya berkaca-kaca mengingat bahwa ialah alasan Jeffandra mencaci Jaevano. Ia yang bersalah pada segala hal, pikirnya.

  Padahal yang bersalah dalam hal ini adalah Jaevano dan Jeffandra. Mereka berdua yang paling bertanggung jawab atas kejadian kemarin.

  Jaevano bersalah karena melanggar peraturan keluarga, membuat Jeffandra marah, dan membuat Davira khawatir.

  Sedangkan Jeffandra bersalah karena tak membicarakan kesalahan Jaevano dengan tanpa kekerasan, juga ia bersalah karena membandingkan kedua putranya yang jelas jelas berbeda.

  Jaevano dan Jeffandra bersalah dalam aspek berbeda.

Di saat keadaan meja makan semakin mencekam, tiba-tiba Jaerga berdiri, hendak pergi tanpa sepatah kata pun.

  "Nak, mau ke mana? " Tanya Davira tak digubris oleh putra bungsunya. Jaerga kali ini memilih pergi bersekolah tanpa sarapan, ia tak peduli kalau nantinya mag yang dideritanya kambuh.

  Jeffandra menghela nafas. "Biarkan saja".

  " Tapi,.. " Davira menunduk. Semuanya terasa berubah dalam semalam.

 














  "Bang.. Gue boleh ikut lo pergi, nggak? " Tanya Jaevano pada Jeno yang kini berdiri di hadapannya.

  Dahi Jeno mengernyit mendengar pertanyaan sang adik. Ia tak menyangka kalau adik kesayangannya itu akan mengatakan kalimat tersebut.

  Apa Jaevano ingin mati?

  "Abang nggak pernah mau kamu ikut pergi, No". Balas Jeno pada sang adik.

  " Tapi gue pengen pergi, bang. Ayah udah nggak sayang gue lagi. Yang dibanggain ayah cuma Jaerga. Gue nggak ada artinya buat ayah. Gue cuma beban".

  "Kata siapa kamu beban? Jangan berpikiran pendek gini, No. Kamu pikir kalau kamu pergi, ayah bahagia? Enggak, No. Justru kebalikannya. Ayah malah makin bersalah-"

  "Abang sama aja kayak mereka! Abang nggak peduli sama perasaan Nono! Abang jahat! " Jaevano menangis. Anak itu menekuk lututnya lalu memeluk dirinya sendiri sambil menangis kencang.

  Melihat sang adik yang menangis, Jeno berjongkok di hadapan Jaevano, menyejajarkan dirinya dengan lelaki rapuh itu.

  Jaevano memang dikenal pemberani dan sangar, namun sebenarnya ada banyak hal yang sangat ditakutinya sejak kecil.

  Jaevano takut diabaikan.

  Jaevano takut dikucilkan.

  Jaevano takut dibanding-bandingkan dengan Jaerga.

  Jaevano takut dipukul oleh ayahnya.

  Jeno menangkup pipi berlinang air mata milik adiknya. "Cup.. Cup.. Masa anak ternakal di sekolah tiba-tiba jadi cengeng gini? " Ejeknya.

  "Ngeselin ah, abang! " Jaevano cemberut.

  Jeno terkekeh pelan melihat ekspresi wajah adiknya. "Udah, jangan nangis. Abang tau kalau adik abang tuh kuat. Cup.. Cup.. " Ia mengusap air mata Jaevano secara lembut.

The Other Side Of Humanity 2 [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang