10

305 25 6
                                    

  Jeffandra dan Davira sangat khawatir saat mendengar bahwa putra bungsu mereka pingsan di sekolah akibat maag nya yang kambuh. Dua orang itu langsung pergi ke sekolah untuk menjemput Jaerga pulang, Davira bahkan lupa tak memberitahu Jaevano apapun. Wanita itu meninggalkan Jaevano yang mungkin saat ini sedang mencari-cari keberadaannya.

  Sekarang yang ada dalam pikiran Jeffandra dan Davira hanyalah Jaerga. Mereka takut anak itu kenapa-kenapa.

  "Eh, Jae, ayah lo sama mama lo udah dateng, tuh". Ujar Qeith, salah satu teman Jaerga yang setia menunggu anak itu sejak tadi.

  " Sayang.. Jaejae udah nggak pa-pa, kan? Mama khawatir banget sama kamu.. " Davira memeriksa putranya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Ia benar-benar khawatir pada Jaerga. Jantungnya terasa hampir copot begitu mendengar kabar buruk ini.

  Kedua putranya sedang tidak baik-baik saja.

   "Jaejae pulang, ya? Ayah gendong aja kalo Jaejae nggak kuat berdiri". Pinta Jeffandra sembari menggenggam jemari Jaerga.

  " Jaejae.. Masih bisa jalan, yah.. " Balas Jaerga lemas.

  "Sekarang Jaejae masih pusing, nggak? Ada yang sakit? Perutnya masih kerasa sakit, nggak? " Tanya Davira khawatir.

  "Masih.. Mual dikit, Mah.. " Jawab Jaerga.

  "Ya udah. Sekarang Jaejae berdiri dulu, ayah bantu ya? "

  Jaerga mengangguk lemas.















  Di sisi Jaevano, lelaki itu kebingungan karena tak mendapati sang ibu di seluruh bagian rumahnya. Ia sebenarnya belum berbaikan dengan sang ibu, namun karena ia tak mendapati keberadaan Davira di sisinya, ia jadi merasa gelisah. Ia membutuhkan Davira.

  "Den Vano nyariin siapa? " Tanya Bi Hastuti saat melihat Jaevano yang berjalan ke sana ke mari seperti orang kebingungan.

  "I-itu, bi.. Mama.. Mana? " Tanya Jaevano gugup.

  "Nyonya besar barusan keluar sama Tuan Besar, Den.. Katanya mau jemput Den Jaerga di sekolah". Jawab Bi Hastuti.

  Mendengar jawaban tersebut, Jaevano mengepalkan tangannya. Bahkan kedua orang tuanya masih mementingkan Jaerga daripada dirinya. Ia.. Benar-benar dilupakan ya?

  " Den.. Aden kenap-" Belum sempat melanjutkan kalimatnya, Bi Hastuti menghembuskan nafasnya berat karena anak majikannya itu malah melengos pergi tanpa mempedulikannya.

  Jaevano hanya memikirkan sesuatu yang buruk. Ia pikir kedua orang tuanya sangat antusias untuk menjemput saudara kembarnya. Ia tak tau kalau saudara kembarnya sedang sakit karena terlalu memikirkannya.




















  Sore ini Jaevano masih berdiam diri di kamarnya. Ia tak keluar dari kamarnya sama sekali, bahkan ia tak menyentuh makan siang yang sudah dibawakan Bi Hastuti untuknya.

  Jaevano haus akan kasih sayang. Semua tahu itu.

  Anak itu menunggu ayah atau mamanya datang untuk mengajaknya makan bersama, namun tak ada satupun yang datang. Ia hanya sendirian, dengan kegelapan di kamarnya.

  Gorden kamar Jaevano sengaja ditutup, lampu ruangan tersebut pun tak menyala.

  Jaevano bahkan sibuk melamun, memikirkan hal hal tidak penting yang selalu menjadi alasannya menjauhi keluarganya.

  Jaevano jengah. Ia akhirnya memutuskan untuk keluar dari kamarnya. Namun, langkah kakinya terhenti saat melihat pintu kamar Jaerga terbuka sedikit, ia dapat mendengar gelak tawa dalam ruangan tersebut.

  Jaevano mengintip, ia mendapati kedua orang tuanya yang sedang mengajak Jaerga bercerita, Davira bahkan masih menyuapi anak itu dengan senyuman lebar.

  Mata Jaevano memanas. Apa ia bukan salah satu anggota keluarga ini? Mengapa mereka bisa tersenyum saat perasaan Jaevano hancur?

  Tangan Jaevano mengepal erat. Nafasnya memburu. Rasa iri menguasai dirinya. Jaevano benci melihat keluarganya bahagia tanpa kehadirannya. Jaevano benci. Benar-benar benci.

  Lelaki itu akhirnya kembali ke kamarnya, memutuskan untuk mengacak-acak ruangan tersebut untuk melampiaskan emosinya.

  "Arrgggghhhhh!! Sialan!! " Umpat Jaevano dengan air mata berlinang.

  Tubuhnya jatuh bersimpuh di lantai kamarnya. Ia menangis kencang. "Gue.. Hiks.. Mau mati! "

















 

    "Jaejae kenyang, mah.. " Tolak Jaerga saat Davira hendak menyuapinya lagi.

  "Nggak bisa gitu. Jaejae baru makan tiga siap loh". Davira memaksa.

  " Tapi Jaejae kenyang.. " Jaerga cemberut, membuat Davira dan Jeffandra merasa gemas dengan putra bungsu mereka itu.

  Jeffandra mencubit gemas hidung mancung Jaerga. "Makan yang banyak, nak. Ayah nggak mau anak ayah makin sakit nanti". Ujarnya.

  " Ck.. Iya deh, iya. Jaejae mau makan lagi".

  "Gitu dong anak ayah". Jeffandra mengacak rambut Jaerga gemas.

  " Mama jadi keinget Jaejae dulu waktu sakit juga begini. Malah lebih parah. Kalo ditinggal malah nangis nyariin mama ke mana-mana. Lucu banget ya, anak mama ini". Davira bernostalgia.

  "Mama, ih! "

  Melihat wajah putra bungsu mereka yang memerah karena malu, Jeffandra dan Davira tertawa kecil. Mereka semakin gemas pada Jaerga yang semakin imut saat sakit.

  Namun sayangnya, kebahagiaan mereka adalah luka bagi Jaevano yang kini semakin hancur di kamarnya. Anak itu merasa kalau kedua orang tuanya lebih mementingkan Jaerga daripada dirinya, yang nyatanya sedang sakit juga.

  Jaevano membuang mangkuk buburnya ke lantai. Ia marah. Ia marah karena tak ada yang mempedulikannya saat ini.

























Tbc...

Harap tinggalkan jejak biar author bisa lanjutin cerita ini 10 kali sehari:)

Typo di mana mana

Jangan ngambek:)

The Other Side Of Humanity 2 [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang