12

339 25 9
                                    

  Jaevano dilarikan ke rumah sakit dengan keadaan yang mengenaskan. Anak itu tak sadarkan diri, wajahnya pucat pasi dengan luka tamparan Jeffandra yang kentara. Suhu tubuh Jaevano juga mendadak tinggi, membuat Davira dan Jaerga semakin khawatir pada Jaevano.

  Tadi saat berada di ambulance, Jaevano tak berhenti menangis dengan nafas yang tak beraturan. Anak itu dipasangi masker oksigen, keringat dingin setia membasahi seluruh tubuh anak itu.

  Ini adalah kali pertama seorang Jaevano menangis separah itu. Selama ini Davira hanya mengetahui bahwa Jaevano adalah anaknya yang paling kuat. Sejak kecil Jaevano tidak pernah menangis. Anak itu selalu berani akan segala hal, namun kali ini Jaevano tampak rapuh, seperti tak ada keberanian lagi dalam tatapan matanya.

  "Ma.. Hiks.. Jaejae takut Nono kenapa-kenapa.. Hiks.. " Jaerga menangis di samping sang ibu. Ia tak kuasa melihat raut ketakutan saudara kembarnya. Ia seakan merasakan kesakitan yang nyata begitu melihat kerapuhan Jaevano.

  Jaerga pikir, dirinyalah akar dari permasalahan keluarga ini. Seharusnya ia yang mendapat hukuman. Bukan Jaevano.

  Seandainya kalau ia bukanlah anak pintar dan menjadi kesayangan semua orang, mungkin sekarang Jaevano tidak akan menjadi pembangkang seperti ini.

  Mungkin semua orang tidak akan membandingkan ia dengan kembarannya.

  Davira mendekap Jaerga. Ia mengelus punggung rapuh putranya, tangisnya tak bisa dibendung lagi. Kebahagiaan dalam keluarganya hancur dalam sekejap. Hanya ada tangis yang selalu menjadi pendamping keluarganya.

  "Nono pasti baik-baik aja, Sayang.. Mama yakin.. "

  "Hiks.. Jaejae yang salah.. Ini semua gara-gara Jaejae". Isak Jaerga.

  " Enggak.. Jaejae nggak salah. Nggak ada yang salah di sini.. " Davira menepis.

  Tuhan.. Davira lelah menangis terus-terusan.












  Jeffandra merenung di ruang kerjanya. Ia sudah tau kalau Jaevano masuk rumah sakit akibat ulahnya namun entah mengapa dirinya masih berdiam diri di sana, masih belum ada niat untuk melihat kondisi putranya di rumah sakit.

  Jeffandra.. Ia pikir perbuatannya sudah benar. Tapi..

  Ia pundung setelah melihat keluarganya yang perlahan hancur. Jaevano terluka, Jaerga terluka, istrinya terluka, Jeffandra juga turut terluka.

  Jeffandra bingung harus bersikap seperti apa.

  Ia ingin menjadi ayah yang baik untuk anak-anaknya. Ia ingin menjadi ayah yang tegas, yang bisa membimbing anaknya ke arah yang benar.

  Namun dirinya benar-benar salah kali ini.

  Pikiran Jeffandra penuh. Ia tiba-tiba kembali teringat dengan Jeno. Ia merindukan putranya itu.

  Jeffandra akhirnya beranjak dari duduknya. Ia ingin mengunjungi 'peristirahatan terakhir' Jeno saat ini juga.










  Mata sayu Jaevano perlahan terbuka. Anak itu merasakan pening yang luar biasa di kepalanya saat ia berhasil membuka matanya. Matanya sulit menyesuaikan pandangannya dengan cahaya lampu ruangan tempatnya terbaring saat ini.

  "Sayang.. Ada yang masih sakit, nggak? " Tanya Davira khawatir.

  Jaevano tak menjawab. Ia berusaha mengingat kejadian kemarin malam, yang membuatnya berakhir di ruangan berbau obat-obatan ini.

  Namun setelah mengingatnya, mata Jaevano memanas. Air matanya meluncur begitu saja.

  "Sayang.. Ada yang sakit? " Davira semakin khawatir.

  "Hiks.. M-mama.. Hiks.. " Jaevano menangis tersedu. Tubuhnya gemetaran hebat. Anak itu ketakutan mengingat kemarahan sang ayah yang jauh dari dugaannya.

  "Tenang, sayang.. Mama ada di sini.. Nono jangan takut, ya? " Davira mengusap keringat Jaevano yang kembali mengalir. Ia hancur melihat keadaan putranya saat ini.

  "A-ayah.. Hiks.. Nono.. Takut.. Hiks.. "

  "Sstt.. Nono jangan takut.. Ada mama di sini.. Ayah nggak akan ngelukain Nono lagi.. Nono aman sama mama.. " Davira mengelus punggung Jaevano lembut, berusaha menenangkan Jaevano yang ketakutan.

  "Ayah benci Nono.. Ma.. Hiks.. "

  "Sakit.. Hiks.. Hati Nono sakit, ma.. Hiks.. "

  Davira tak mampu berkata-kata. Ia membiarkan Jaevano menangis dalam pelukannya sepuasnya, hingga rasa kantuk menyerang anak itu, dan berakhir terlelap dengan nafas teraturnya.

  Davira membaringkan tubuh ringkih Jaevano dengan hati-hati. Ia mengusap sisa air mata Jaevano, lalu mengecup pipi anak itu. "Mama selalu ada buat Nono.. "









 
 
  Ayah..

  Jeno pikir ayah bisa jagain Nono dengan baik..

  Seandainya kalau Nono itu Jeno, apa ayah akan ngelakuin hal yang sama?

  Bahkan seingat Jeno, ayah nggak pernah sekalipun main tangan ke Jeno.

  Ayah selalu memperlakukan Jeno dengan lembut.

  Tapi kenapa sekarang ayah melakukan kekerasan fisik ke Nono?

  Ke mana perginya ayahku yang dulu?

  Apa ayah sadar kalau perbuatan ayah buat Nono makin benci ke ayah?

  Apa ayah sadar..

  Kalau perbuatan ayah buat Jeno makin jauh dari ayah?

  Ayah..

  Jeno bener-bener kecewa sama ayah.

  Bunda juga kecewa sama ayah

















Sekalian up sebanyak-banyaknya buat hari ini

Kemungkinan besok author nggak bisa up kayaknya, hehe

Semoga puas sama alur ceritanya

Typo di mana mana

Happy reading!

The Other Side Of Humanity 2 [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang