8

289 27 11
                                    

  Jaevano membanting semua barang yang ada di hadapannya. Ia menjambak rambutnya sendiri kuat-kuat, bahkan tangisnya tak kunjung berhenti.

Pyarr

Duagh!

Bugh!

Jaevano terduduk di lantai kamarnya. Ia masih mengingat jelas segala lontaran kalimat menyakitkan yang keluar dari bibir ayahnya.

  Ia juga ingat setiap kalimat para guru yang membandingkan dirinya dengan saudara kembarnya itu.

  "Kamu nggak bisa ya, sehari aja kayak Jaerga yang diem? "

  "Saya heran. Kok bisa ya, Jaerga punya saudara kembar seperti kamu? "

  " Saya pikir Pak Jeffandra mungkin malu memiliki anak yang pembangkang seperti anak ini".

  "Arrggghhhhhh! Sialan! Gue nggak peduli! Gue nggak peduli sama kalian! " Jaevano berteriak kencang, menarik rambutnya kuat-kuat. Suara suara itu tak kunjung pergi darinya, membuatnya semakin marah.

  "Berisik!!! Gue nggak peduli sama omong kosong itu!!!! "

  Jaevano menangis kencang. Tangisannya mampu menyayat hati Davira yang berdiri di depan kamar putra sulungnya itu.

  "Mas.. Hiks.. Nono.. Hiks.. Dia nggak pa-pa, kan? " Davira menangis. Ia ingin membuka pintu kamar Jaevano namun Jeffandra menahannya.

  "Biarkan anak itu".

  " Mas.. Hiks.. Kamu keterlaluan.. Hiks.. Aku tau kalau Nono emang bandel.. Hiks.. Tapi nggak seharusnya kamu ngomong sekasar itu ke dia.. Hiks.. Dia juga anak kamu, kan? Kanapa kamu setega itu.. Hiks? "

  "Ra.. "

  "Nono nggak kayak Jaerga, mas.. Hiks.. Mereka berbeda.. Hiks.. Nono ku.. Dia pasti sakit hati.. " Davira menangis kencang.

  "Maaf.. Aku nggak sengaja ngomong kasar ke Jaevano. Maaf.. "

  "Aku mau masuk liat keadaan anak aku, mas.. Mas jangan ikut. Lebih baik mas renungi kesalahan mas.. " Davira menepis tangan Jeffandra. Ia membuka pintu kamar Jaevano menggunakan kunci cadangan di tangannya, meninggalkan Jeffandra yang terdiam kaku dengan pikiran yang melayang entah ke mana.

  Di belakang Jeffandra, ada Jaerga yang menangis tersedu, merasa bersalah akan segala hal yang ia pikir dirinya yang bersalah.










  "Nak.. Nono anakku.. " Davira berusaha mendekati Jaevano yang kini terus menjambak rambutnya sendiri. Wanita itu sakit saat melihat putranya menangis, menghancurkan semua yang ada di ruangan tersebut.

  "Maafin ayah kamu ya, sayang? Ayah kamu nggak serius ngomong itu-"

  "Hiks.. Pergi! "

  "Nak.. "

  "Mama sama aja kayak mereka! Mama nggak pernah mikirin perasaan Nono! "

  Air mata Davira kembali menetes. "Maafin mama, nak.. Hiks.. "

  Jaevano masih menangis. Keadaan kamarnya sangat kacau. Sama seperti si pemilik kamar.

  "Nono capek, ma.. Nono mohon.. Mama pergi.. Nono mau istirahat.. Nono capek.. " Mohon Jaevano dengan suara lirih. Kepalanya terasa sangat pusing sekarang. Wajahnya sembab.

  "Maaf, nak.. Mama akan keluar.. Tapi abis itu Nono yang tenang, ya? " Davira hendak melangkahkan kakinya keluar dari kamar Jaevano, namun urung saat putranya itu tiba-tiba ambruk, tubuh itu melemah di permukaan lantai yang dingin.

  "Nono!! "












  Ayah..












  Kenapa ayah berbuat seperti itu?












  Jeno pikir ayah akan jagain Jaevano sebaik mungkin.. Tapi..















  Kenapa ayah membuatnya sakit hati?

 










  Jeno nitipin Jaevano ke ayah dengan harapan besar, yah..










  Jeno tahu kalau Jaevano salah,










  Tapi ayah jauh lebih salah dibandingkan dengannya..












Jeno










Kecewa sama ayah..


























































Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Triple up buat hari ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Triple up buat hari ini

Maaf kalo nggak jelas, hehe

Semoga kalian menikmati cerita ini, (ya meski si Jeffandra sekarang mulai ngeselin sih)

Jangan benci author gara-gara cerita ini ya, wkwkw

Happy Reading!

The Other Side Of Humanity 2 [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang