Enam Belas

339 138 4
                                    

Nindi merasa heran. Bosnya baru saja menikah akan tetapi, tampaknya, dia seperti tidak berbahagia seperti pasangan pada umumya. Apa lagi istrinya juga tergolong cantik. Masa sih, dia tidak ingin menghabiskan waktunya yang berharga itu dengan pergi berdua bareng istri. Ke hotel yang fancy misalnya.

Bukannya malah ngendon di kantor dengan muka ditekuk begitu. Gosip yang beredar di kantor, Pak Giri memang dijodohkan sang kakak, yakni Bu Kemala. Tapi menurut Nindi, Winda itu sama sekali tidak jelek. Malah tergolong cantik. Lebih cantik dari Rasmi malahan.

Dan ngomong- ngomong soal Rasmi, sekarang perempuan itu ada di ruang VIP restoran. Dia secara spesifik meminta Nindi untuk memberitahukan Giri bahwa Rasmi  berada di tempat itu.

Menurut Nindi, perempuan itu sudah kehilangan urat malunya. Seharusnya dia cukup peka, bahwa Giri tidak ingin menemuinya.

Telepon di atas meja berdering. Pertama-tama Nindi menatap benda itu dengan malas, tapi kemudian ia berpikir siapa tahu itu penting. Menyangkut keberlangsungan hidupnya dan juga mata pencahariannya di kantor ini. Siapa tahu itu bos? Atau Bu Kemala.

Jadi, gadis itu akhirnya mengangkat gagang telepon sembari menggerutu dalam hati, kenapa dia harus mau melakukan semuanya ini?

Tentu saja semuanya demi sesuap nasi. Dan sebongkah berlian. Sebuah tas Gucci. Sebotol parfum Jo Malone. Sepasang sepatu Salvatore Ferragamo.  Kacamata  Dior. Dan semuanya itu dibeli dengan uang. Yang didapatkannya dengan bekerja di tempat ini.

Gajinya tidak sampai dua digit. Tapi bekerja untuk Giri sebetulnya mudah kalau kita bisa hafal dengan tabiatnya. Terkecuali saat-saat seperti ini.

Maksudnya saat ada kerumitan berupa seorang perempuan ganjen bernama Rasmi. Orang sudah nikah juga masih dikejar-kejar saja. Tapi balik lagi, barangkali Rasmi memang tidak tahu kalau Giriandhana Jati memang sudah taken.

Kasihan banget sih.

"Halo?"

"Halo. Selamat siang, ini... Nindi?"

Sebentar, sebentar. Ini siapa ya? Kayak pernah dengar. Tapi di mana ya. Cewek sih.

"Iya. Di sini Nindi. Sekretaris dari Pak Giri. Ada yang bisa kami bantu? Maaf, dengan siapa saya berbicara..."

Mode sekretarisnya mengambil alih. Sebenarnya sekaligus mode kepo juga sih. Seorang perempuan menelepon saat jam ... hampir makan siang?

"Oh, saya Winda, Mbak Nindi."

"Oh, Bu Winda." Nindi akhirnya sedikit mengernyit. Istri bosnya menelepon. Ada apa gerangan? "Ada yang bisa dibantu, Bu?"

"Iya nih. Saya cuma mau nanya aja sih, Mbak. Kalo makan siang biasanya Pak Giri gimana ya? Pesan dari luar atau..."

"Kalau itu nggak tentu sih, Bu."

"Panggil Winda aja. Kita kan seumuran."

"Ih, nggak enak dong, Bu. Ibu kan istrinya bos..."

"Tapi saya bukan bos kamu, kan?"

"Emmm.... gimana ya?"

"Udah deh jangan ngeributin hal itu," Winda menyela. "Sekarang saya cuma mau nanya, Pak Giri biasanya makan di mana?"

"Biasanya sih bos makan di kantor aja. Pesan dari bawah. Tapi sering ke luar juga."

"Oh," terdengar gumaman Winda. Nindi menunggu. "Ya sudah kalo gitu. Saya cuma nanya saja. Makasih ya, Nin. "

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 4 hours ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

It's Start With Broken Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang