Delapan

1K 251 4
                                    

Melihat Bagas begitu bahagia karena istrinya melahirkan seorang bayi perempuan dengan selamat, membuat Giri diam- diam merasa iri.

Kakaknya memang benar. Usianya kini sudah 35 tahun. Usia yang terbilang matang untuk berumah tangga. Menjadi seorang ayah. Hidup normal seperti manusia pada umumnya yang punya kecenderungan untuk berkoloni.

Samar- samar wajah perempuan itu kembali muncul dari kepalanya. Tetapi tidak. Kali ini bukan Davinsha.  Melainkan seorang wanita yang kelihatan sekali menyukai nuansa coklat. Asisten kakaknya.

Giri kemudian menggeleng. Istri Ardha sendiri sedang mengagumi bayi perempuan milik Syifa dan Bagas. Dia memang secantik bidadari. Begitu mungil dan tanpa dosa. Begitu tidak mirip siapa- siapa meski Syifa dan Bagas sudah ribut mengatakan bayi itu mirip mereka masing-masing.

Giri sedang duduk di sofa berwarna krem di ruang rawat inap tempat Syifa beristirahat setelah  berjuang selama delapan jam dari mulai kontraksi hingga melahirkan. Perjuangan yang akhirnya dibayar dengan banyak senyum bahagia.

Ardha kemudian menyusul Giri. "Lo nggak pengin gitu, punya yang kayak Nadzira?" Ardha mengarahkan dagu ke arah ranjang yang dikerumuni oleh Bagas, Maura, anak Ardha dan juga Intan istri Ardha.

Nadzira adalah nama yang diberikan Bagas dan Syifa untuk si bayi. "Semua orang sekarang sudah bahagia. Bahkan si Danang yang kayak mesin itu aja juga ada niatan mau nikah. Lo kapan? Nggak mau ikut gabung sama kelab bapak - bapak?"

Giri hanya mengangkat sebelah bibirnya. Membentuk senyum sarkas yang terkadang bisa bikin orang di sekitarnya berubah jengkel. "Eh, gue bilangin ya, Man. Manusia itu bukan cacing. Kalau cacing sih pasti bisa membelah diri. Nah kalau elo?"

"Lo udah mulai mirip sama kakak gue,"

"Itu namanya gue masih normal. Ngasih saran yang baik dan benar. Ini semua demi kesehatan jasmani dan rohaninya elo. Orang menikah itu banyak pahalanya. Mau ML aja diibaratkan membunuh setan. Belum lagi kita dapat enaknya. Dan biar jadi enak, gue ngerekomendasiin lo ML dengan bini sendiri."

Giri hanya menanggapinya dengan cibiran. Dia kan tahu bagaimana rasanya menikah. Seperti neraka dunia. Tidak pernah berhenti cek-cok dengan Melitha yang gampang cemburuan. Tidak. Giri tidak ingin mengulangi lagi sesuatu yang konyol. Pernikahan baginya adalah sebuah kekonyolan.

Mengikatkan diri, menukar kebebasan dengan sakit kepala sepanjang waktu. Dulu itu yang dirasakannya ketika ia menikah dengan Melitha. Walau hanya setahun, tapi rasa-rasanya berhasil mengurangi jatah umur Giri hingga separuhnya.

"Menikah nggak selalu buruk, Gir. Tinggal gimana lo menjalaninya dan dengan siapa. Kalau lo menemukan orang yang cocok sama lo, rasanya pasti indah banget deh."

Giri meringis. "Lo udah kayak petugas penyuluh pernikahan saja. Lo inget kalau gue udah pernah menikah? Dan akhirnya gagal."

"Ya itu nggak lantas bikin lo harusnya kapok, dong. Umur lo masih muda ..."

"Gue tahu. Kita kan sepantaran!"

"Dan lo nggak ada tanggungan. Sehat secara jasmani dan rohani. Yah kecuali lo impoten..."

"Breng...."

"Lo nggak bisa ngumpat di sini! Banyak telinga yang masih suci." Ardha menyergah dengan muka garang khas bapak-bapak yang tidak menoleransi bila anaknya ketahuan melontarkan bad word.

Giri akhirnya hanya bisa mengangkat bahu acuh tak acuh. Beginilah akibatnya bila bergaul dengan bapak-bapak yang merasa bahwa hidup mereka sudah bahagia dan lengkap. Giri merasa dijadikan pendosa karena dia belum kelihatan ingin mengikuti jejak para sahabatnya yang sudah berkeluarga.

It's Start With Broken Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang