Seminggu menjelang pernikahan Winda mulai berpikir apakah semuanya ini memang patut untuk dilakukan? Apakah semuanya tidak terlalu terburu-buru? Dia tidak terlalu mengenal Giri. Yah, dia punya jaminan bahwa kemungkinan lelaki itu adalah orang yang baik dilihat dari caranya memperlakukan kakak perempuan satu-satunya. Juga menurut keterangan Tini bahwa Giri bahkan sama sekali tidak pernah meninggikan suara di hadapan kakaknya.
Malam itu, Winda duduk di beranda belakang rumah. Di depan bangunan yang sehari-harinya berfungsi sebagai pabrik pembuatan tahu dan tempe. Ia hanya mengenakan celana kulot, kaus berlengan panjang dan hijab bergo instan warna cokelat susu.
Malam sudah mulai meninggi. Suara serangga malam sedikit banyak membuatnya damai. Beberapa bulan ini dia merindukan derik jangkrik atau suara-suara kodok yang memanggil hujan. Di rumah Mala yang ia dengar menjelang tidur adalah dengung alat-alat elekronik semacam AC atau air purifier yang dipasang di setiap kamar.
"Belum tidur, Win?" Ibunya tiba-tiba sudah berdiri di pintu belakang. Sayup-sayup ia bisa mendengar suara radio dari samping pekarangan rumah. Malam ini Kang Arman beserta beberapa orang temannya memang berjaga-jaga. Mencegah orang untuk berbuat sesuatu yang nekat seperti yang terjadi beberapa hari yang lalu. "Ibu kok belum tidur?"
"Iya," Ibu mendekati Winda dan duduk di bangku panjang di sampingnya itu. Bangku tersebut dibuat Bapaknya sendiri. Saat makan siang, biasanya mereka mengaso di bangku tersebut.
Setelah Ibu duduk, Winda malah merasa bahwa dirinya sedang diamati oleh wanita yang membawanya ke dunia ini dengan bertaruh nyawa. "Kok Ibu ngeliatin Winda kayak gitu?"
Mata Ibu berkaca-kaca. "Nggak apa-apa, Win. Ibu senang saja akhirnya kamu akan menikah. Akan ada seseorang yang menjaga dan melindungi kamu. Sesuatu yang nggak bisa Ibu lakukan. " Ibu meletakkan tangannya di atas tangan Winda yang bertelekan bangku.
"Bu, apa menurut Ibu ini semuanya nggak terlalu cepat buat Winda?" wanita itu mengungkapkan keraguan yang menyita pikirannya. "Winda baru tujuh bulan bercerai."
"Masa iddah kamu kan sudah lewat. Sepertinya sah-sah saja." Ibu tersenyum lembut. "Apalagi sepertinya nak Giri pria yang baik."
"Ibu kenapa bisa yakin sekali, kalau Pak Giri itu orang yang baik? Dia juga sama kayak aku. Bercerai dari istrinya. "
"Win, orang yang pernah gagal itu bukan berarti mereka buruk. Ibu bukan mau membela Mas Giri dengan membabi buta karena dia mau menikahimu. Ibu sendiri bisa merasakan dari caranya memperlakukan kami. Memperlakukan Mbak Kemala. Paling tidak dia menghormati perempuan. Kalau saja Bapakmu nggak seperti itu, mungkin Ibu akan menahan kamu supaya menunda pernikahan. Alasan Ibu setuju adalah karena Ibu nggak tahu apa yang akan terjadi suatu saat. Bisa saja Tomi nekat mendatangimu lagi. Belakangan ini Ibu mendengar banyak kabar. Salah satu diantaranya Tomi sedang mendekati anak gadis Pak Kades."
"Bu, Winda sudah nggak mau tahu ataupun peduli Tomi mau ngapain lagi. Bagi Winda bisa lepas dari lelaki itu sudah merupakan keberuntungan. Ibu doain Winda supaya pernikahan ini berhasil. Sebab meski Winda belum bisa menghadirkan perasaan cinta buat Pak Giri, Winda nggak bercita-cita gagal lagi, Bu."
Ibu tersenyum lembut dan ikhlas. Ia mengusap -ngusap punggung anak perempuannya yang sudah harus menanggung nasib buruk di usia yang sangat muda. Seharusnya Winda hidup bahagia. Seharusnya dia sudah menimang seorang bayi. Bukan kabur ke Jakarta hanya untuk berjuang melupakan masa lalunya. Dan karena anak perempuannya itu sudah menurut pada kehendak orangtuanya yang memaksanya untuk menikahi seorang lelaki yang tidak punya rasa tanggungjawab. Yang hampir menjerumuskan Winda pada lubang gelap kehidupan.
**
Acara ijab kabul itu dilaksanakan dengan khidmat di kediaman orangtua Winda. Giri memberikan pengamanan maksimal guna meminimalisir tindak kejahatan mengingat seperti apa keluarga mantan suami Winda itu.
Alhamdulillah semuanya berjalan dengan lancar dan damai. Dalam satu tarikan napas, Giri mengucap akad di depan penghulu dan Bapak Winda. Hari itu, resmi sudah Winda menjadi istri dari seorang Giriandhana Jati. Ada rasa haru yang menyeruak. Ada bahagia karena kini dirinya ada yang melindungi. Serta ada sedikit keragu-raguan, bertanya- tanya dalam hati akan seperti apakah nantinya pernikahan ini? Atau apakah segalanya tidak terlalu cepat?
Yang paling bahagia adalah Ibu, neneknya dan juga Kemala. Senyuman dari mereka membuat Winda sedikit merasakan kelegaan. Sementara kakak sulungnya Kang Arman terlihat masih sedikit was-was. Namun sikapnya terhadap Giri baik.
Memang agak aneh rasanya punya ipar yang jauh lebih tua ketimbang dirinya sendiri. Akan tetapi itu bukan menjadi hal baru baginya, mengingat suami Isma juga jauh lebih tua usianya ketimbang Arman yang baru menginjak awal tiga puluhan.
Mereka tidak mengadakan pesta besar-besaran. Masa-masa itu menurut Winda sudah lewat. Hanya syukuran dan mengundang tetangga kanan- kiri untuk makan bersama di rumah. Mereka bahkan tidak diizinkan untuk memberi angpau pada keluarganya.
Setelah acara selesai, Giri langsung membawa Winda kembali ke Jakarta pada keesokan harinya. Perpisahan dengan Ibu, Nenek, serta Sarah dan Kang Arman membuat hati Winda semakin berat. Tadinya ia ingin lebih lama tinggal di Subang. Namun ia sadar, pekerjaan Giri menunggu di Jakarta. Dan lagi, tidak ada yang menemani kakak iparnya.
"Kamu nggak usah khawatir, Win. Mbak sudah dapat asisten baru. Dicariin sama Giri. Kamu cukup mengurus Giri saja sekarang. Lagi pula kalau harus bolak-balik Pamulang ke Kemang, kamu bisa kecapekan. Nah kalau kamu capek, Mbak akan lebih lama dapat ponakannya. Padahal Mbak sudah nggak sabar." Perempuan itu memaparkan keinginannya. Dalam mobil yang membawa mereka kembali ke Jakarta pagi itu.
Giri sendiri hanya terdiam di jok penumpang depan. Ia akan menyetir bergantian dengan Pak Nur. Sejak tadi, dirinya hanya diam saja. Entah apa yang dipikirkan oleh lelaki itu. Kemarin sepanjang acara di rumah Winda, Giri selalu berada di sekitar Arman dan beberapa saudara sepupu Winda yang lelaki. Bahkan ketika malamnya pun Giri baru masuk ke kamar ketika Winda sudah tertidur.
Karena pernikahan ini tidak didasarkan atas nama cinta, Winda tidak akan bersikap bodoh dengan tidur telentang dalam balutan pakaian tidur yang menantang dan mata yang terbuka sepanjang malam demi menunggu Giri.
Dia sendiri belum siap melangkah ke arah itu. Mungkin Giri pun merasa terlalu lelah atau apa. Banyak yang bilang bahwa lelaki bisa melakukan hubungan intim bahkan tanpa sedikit pun rasa cinta. Hanya sebuah pemenuhan bagi kebutuhannya. Dan Winda berharap apa pun yang terjadi nanti tidak membuatnya harus menanggung sakit hati.
**
Giri dan Pak Nur membantu menurunkan koper-koper milik Winda. Sebagian barang-barang wanita itu yang masih tertinggal di Pamulang pun juga sudah dipindahkan ke apartemen di Kalibata.
"Kamu mau tidur di kamarku atau kamu mau punya kamar sendiri?" tanya Giri datar. Sebenarnya itu adalah sebuah pertanyaan yang gampang saja dijawab. Mereka sudah suami istri dan sudah selayaknya pula mereka tidur dalam satu kamar. Tapi Winda memutuskan bahwa dirinya belum siap untuk berbagi dengan Giri. " Saya tidur di kamar tamu saja." Jawabnya.
Giri mengangguk. Raut wajahnya tidak berubah. Tidak keberatan atau pun setuju ia harus tidur berpisah kamar dengan istri barunya yang cantik. Itu bukan masalah besar baginya. Sebelum-sebelumnya pun dia sudah terbiasa tidur sendiri. Jadi tidak ada bedanya. Lagi pula kakak perempuannya jarang berkunjung ke apartemen ini. Dan sekarang karena Giri sudah mengikuti permintaan sang kakak, lelaki itu berharap Kemala tidak akan menuntutnya untuk macam-macam. Karena ia tahu, dirinya tidak bisa menolak permintaan saudara kandung satu-satunya itu.
"Oke kalau gitu. Anggap saja rumah sendiri. Kamu bebas ngapain saja asal jangan ganggu saya." Ujar Giri singkat saja. Sebelum ia meraih kembali kunci mobil dan ke luar dari apartemen. Tanpa pamit pada Winda. Membuat perempuan itu tertegun- tegun di ruang tamu apartemen itu. Sendirian di hari pertama setelah ia menyandang status sebagai istri dari Giriandhana Jati.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
It's Start With Broken
RomanceSetelah perceraiannya dengan mantan suami yang abusive, Arawinda Niwatasari berjuang untuk memperbaiki hidupnya lagi. Dia menjadi seorang asisten pribadi bagi seorang perempuan di kursi roda. Hanya saja, sang perempuan mempunyai adik yang sangat men...