Satu

1.7K 251 8
                                    


Arawinda kembali duduk di sebuah warung pinggir jalan. Seharian itu ia berkeliling kota untuk mencari pekerjaan.  Namun hingga dua bulan  pasca kepergiannya dari kampung halamannya, ia kini masih menganggur.

Sebenarnya, Yuni, sahabatnya yang sudah lama menetap di Jakarta itu tidak memburu- mburu Winda untuk segera mendapatkan pekerjaan. Hanya saja, terlalu lama menumpang di rumah Yuni tanpa memberikan kontribusi yang sepantasnya, membuat  perempuan itu lama-lama merasa risih.

Yuni memang masih single, tapi dia hanya bekerja sebagai tenaga administrasi pergudangan di sebuah pabrik plastik. Gajinya tak seberapa untuk menghidupi mereka berdua.  Belum lagi kalau pada malam-malam tertentu pacarnya datang. Sementara kosan yang ditempatinya sangat- sangat sempit.

Winda tentu saja tidak nyaman kalau harus berada bertiga di kosan sempit. Dia ingin segera mendapatkan pekerjaan dan hidup mandiri. Menyewa tempat kos sendiri.

"Bu, minta es teh satu!" Winda berseru ke pemilik warung di pinggir jalan raya tempat ia berhenti. Ia baru turun dari angkutan umum, sementara jarak ke kosan Yuni masih jauh. Harus naik angkot sekali lagi. Padahal ia harus berhemat, supaya uang tabungannya cukup hingga dirinya sudah mendapatkan pekerjaan.

Sebenarnya, Winda adalah lulusan D3 ilmu administrasi perkantoran. Di Sagalaherang, sebuah kecamatan di kabupaten Subang. Perempuan itu bekerja sebagai admin sebuah perusahaan snack lokal yang kemudian gulung tikar. Setelah itu, ia melamar pekerjaan ke pabrik pengolahan kayu, juga sebagai tenaga administrasi. Kontraknya baru saja habis saat dia pergi.

"Ijazah D3 kamu sih nggak akan bisa cepat-cepat buat dapetin kerjaan, Win. " Suatu kali Yuni pernah memberinya nasihat. "Pakai ijazah SMA malah lebih cepet. Bisa ngelamar jadi office girl. Tapi hari gini kudu masuk PT dulu sih. Soalnya banyak pekerjaan kasar yang pekerjanya diambil dari outsourcing. Kayak satpam gitu."

"Di kantor kamu beneran nggak ada ya, Yun?"

"Aduh, Win." Keluh Yuni menyesal. "Kalo kamu datang empat bulan lalu, pasti masih ada. Waktu itu kantor lagi butuh kasir sama admin satu lagi. Tapi kalo sekarang, posisi kuli bongkar aja juga udah penuh. Atau lo mau ambil kerjaan jadi kasir minimarket Pak Haji Badrun tuh."

Seketika wajah Winda langsung cemberut. Bukannya dia mau mendiskreditkan profesi sebagai kasir minimarket atau mau pilih-pilih kerjaan. Hanya saja Winda kurang nyaman dengan cara Thoyib, anak sulungnya Pak Haji Badrun itu.

Cara lelaki itu menatap Winda sangat tidak pantas. Jelalatan dan terasa menelanjangi. Padahal Winda adalah perempuan berjilbab. Sehari-harinya ia lebih sering mengenakan kaus longgar dengan kulot atau rok. Hanya saja lelaki kan memang tukang berimajinasi. Dan dia tentu saja tidak menyukai imajinasi Thoyib itu.

"Thoyib emang gitu orangnya." Yuni tertawa sambil menggeleng. "Maklum bujang lapuk yang gagal kawin."

"Nggak nyangka cari kerja di sini susah juga ya?"

"Sabar sih, Win. Aku nggak keberatan nampung kamu kok." Ujar Yuni. "Nanti deh kalo udah ada info lagi, aku kasih tahu kamu."

"Ini Neng, es teh manisnya." Suara ibu pemilik warung menyentak Winda dari lamunan. "Makasih, Bu."

"Baru pulang kerja, Neng?"

"Enggak Bu. Ini baru cari kerja."

"Emang asalnya dari mana?"

"Dari Subang , Bu."

"Jauh amat?" Si Ibu menatap Winda dengan prihatin. "Tinggal di mana?"

"Tempat temen, Bu. Di Kapuk Muara."

"Itu mah lumayan juga jauhnya dari sini atuh Neng."

"Ibu sendiri asli sini?"

"Saya mah asalnya dari Sukabumi. Ke sini ikut suami yang kerja jadi mandor bangunan . Udah empat puluh tahun yang lalu juga. Sekarang suami udah nggak ada. Ibu cari uang sendiri.  Memang susah Neng, cari kerja zaman sekarang ini. "

It's Start With Broken Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang