Dua Belas

1.2K 270 73
                                    

Winda segera ditarik oleh ibu dan neneknya ke dapur untuk mempersiapkan makan siang. Ibunya yang sudah di briefing oleh Kang Arman sudah menyiapkan banyak sekali penganan. Sebagian besar dimasak sendiri. Sebagian lagi memesan dari tetangga.

"Kok repot-repot gini sih, Bu?" tanya Winda tidak enak hati. Keluarganya sedang butuh banyak uang untuk bisa melunasi hutang ke orangtuanya Tomi. Winda tidak ingin ibu dan kakaknya terbebani. "Makanan biasa aja nggak apa-apa kok."

"Eh, lha yang kamu ajak itu kan bosmu toh, Win. Nggak sopan kalau cuma disuguhi sama sayur biasa. Lagian ini juga ayam peliharaan kita sendiri. Telur juga ngambil di belakang. Begitu juga tahunya. Terong, cabe, mentimun, kangkung ini juga ngambil di kebun. Biar ada kegiatan belakangan nenek sama ibu memang suka nanam-nanam supaya nggak stress. Hasilnya lumayan. Kalau sayuran mahal jadi nggak perlu beli."

Winda bergerak cepat untuk mengambil dan mengelap piring-piring. "Mbak Isma nggak di rumah?"

Ibunya serta-merta menundukkan kepala. Terlihat serba salah. Seketika Winda tahu ada yang tidak beres. Ia berhenti mengelap piring-piring dan mulai menatap ibu dan neneknya yang bergantian. "Bu?"

"Sebenarnya sejak kita ditagih sama keluarganya Tomi itu, tetehmu sudah jarang ke sini."

Kedua alis Winda bertaut. Heran. Padahal, biasanya setiap Minggu kakak perempuannya itu tidak pernah absen untuk berkunjung ke rumah ibu. "Keluarga suaminya sepertinya keberatan. Takut kalau-kalau ikut ketiban."

Hati Winda terasa seperti tercubit. Sampai sejauh itu? Astaghfirullah. Winda serta-merta tidak sanggup berkata-kata. Tangannya mendadak jadi lemas. Dia tahu, tidak mungkin kakak perempuannya itu ingin menjauhi keluarganya lantaran karena hutang. Meski merasa bahwa dirinya dijadikan tumbal karena dijodohkan dengan seorang lelaki yang rentang usianya terpaut cukup jauh, namun dulu Isma tidak pernah mengeluh.

Yang sangat Winda sesalkan saat ini adalah, hanya lantaran karena dirinya, keluarganya jadi terpecah begini. Kasihan ibu dan nenek yang harus menanggung siksa batin karena dijauhi oleh anak dan cucunya sendiri.

Winda pun segera memeluk ibunya dan berurai airmata. "Ibu, maaf kalau Winda sudah bikin semuanya jadi kacau begini."

"Eh? Ini semuanya bukan salah kamu, Winda. Kalau ada yang harus disalahkan itu pasti ibu. Karena dulu nggak mencegah Bapakmu buat jodohin kamu sama Tomi. Kita semua juga nggak tahu kalau akhirnya akan begini, Neng." Tangan ibunya yang sudah mulai keriput berulangkali mengelus punggung Winda. Sementara wanita itu sendiri seperti sudah tidak tahan merasakan penderitaan yang menimpa keluarganya.

Ia tahu, keluarga Tomi pasti tidak terima kalau anaknya itu diceraikan oleh seorang istri yang selama ini menjadi tulang punggung keluarga. Harga diri mereka pasti terlukai. Tomi memang punya keunggulannya sendiri. Selain wajah tampan, Tomi adalah anak satu-satunya yang akan menjadi pewaris usaha keluarga itu. Hanya saja sikap dan perlakuan Tomi ke Winda sudah tidak dapat ditolerir lagi.

**

Mereka makan siang dengan nikmat. Ibunya memasak ayam kampung yang dimasak kari, lalu lontong, nasi, sate ayam, rendang daging, ayam goreng, sayur asem, tumis kangkung, potongan buah nanas, semangka, melon dan pepaya, es teh, teh hangat, kopi, air dingin, mendoan,   tahu isi, kerupuk, sambal kacang.

Mereka seperti sedang menyambut tamu agung saja. Giri duduk di samping Kang Arman. Senyumnya terbit sesekali. Ibunya menyenggol pinggang Winda, sebagai isyarat bahwa seharusnya wanita itu mengambilkan Giri makan. Mengingat lelaki itu adalah calon suaminya.

"Mas Giri mau makan apa?" tanya Winda. Setengah hati.

"Saya bisa ambil sendiri. Kamu makan saja."

Giri mulai memotong-motong lontong, lalu disiramnya dengan kuah ayam kari yang berwarna oranye dan lekoh kuahnya itu, lalu ditimpa dengan kerupuk.

It's Start With Broken Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang