Lima Belas

1.4K 277 35
                                    


Hari berikutnya terasa biasa saja. Winda merasa tidak ada yang berbeda dengan kehidupannya yang sebelumnya. Ia terbangun saat azan subuh. Mandi dan melaksanakan kewajibannya sebagai umat muslim.

Perempuan itu kemudian mulai beraktifitas di dapur. Membuat sarapan. Dia tidak tahu apa yang biasanya disantap Giri saat pagi- pagi sebelum beraktifitas. Dia juga tidak tahu jam berapa semalam suaminya itu pulang.

Yang jelas, ketika memasuki dapur dan mengecek stok makanan yang ada, pilihannya sangat terbatas. Perempuan itu tidak merasa heran melihat isi lemari dapur dan kulkas yang terbilang menyedihkan. Hanya ada dua bungkus roti tawar yang nyaris utuh, kopi, gula, kornet, mie instan, tuna kaleng di lemari dapur. Sementara di kulkas hanya ada setengah lusin telur ayam, air mineral, sosis yang hampir jadi es batu, beberapa butir apel, lalu beberapa butir stroberi. Satu pak bir.

Jantung Winda terasa seperti berhenti berdetak melihat kaleng- kaleng bir berwarna kuning itu. Tubuhnya tersentak ke belakang. Kaleng- kaleng bir itu seolah menggiringnya ke masa lalu.

"Kamu janji nggak akan minum lagi, kan?"

"Janji?"  lelaki itu mendengus. Tubuhnya sudah mengimpit tubuh Winda di dinding kamar. "Aku nggak inget pernah ngomong  gitu." Setelah itu, seolah tidak lagi mempedulikan wajah muak Winda, lelaki itu mulai menuntut haknya...

"Kamu ngapain?" suara bariton lainnya membuat Winda kembali melompat sembari memegangi dadanya. Ia kaget bukan main ketika menemukan Giri yang hanya mengenakan kaus putih polos dan celana bokser hitam. Winda sendiri hanya mengenakan kaus lengan panjang warna hijau zaitun dan rok A line  warna cokelat kopi. Ia tidak mengenakan hijab karena ia pikir Giri tidak akan muncul sampai jam tujuh.

Rambutnya yang sepunggung bawah basah terurai. Wanita itu agak salah tingkah. Tapi seharusnya itu bukan masalah karena Giri adalah suaminya yang sah.

Namun begitu tetap saja Winda yang belum terbiasa lagi untuk menampakkan dirinya di hadapan pria dewasa yang bukan saudaranya, tentu saja ada rasa risi.

"Kalau udah selesai pakai kulkas, tolong di tutup," ujar Giri acuh tak acuh. Lelaki itu sendiri tampak cuek- cuek saja melihat Winda yang tanpa hijab. Rasanya sudah sering sekali lelaki itu melihat wanita cantik di mana- mana. Salah satu dari mereka pernah jadi kekasihnya. Satu lainnya bahkan jadi istrinya walau tidak lama.

Bagi Giri, semua perempuan itu ya begitu saja. Cantik. But nothing special. Justru ia lebih tertarik pada Winda yang menurutnya jauh lebih mengancam kewarasannya dalam balutan pasmina. Seolah terlihat sepuluh kali lebih anggun.

Tidak ada yang menyangkal bahwa Winda memang cantik. Kulitnya putih dan mulus. Bahkan bagian tengkuk yang tadi tertangkap sedikit oleh inderanya, dan biasanya akan meningkatkan hormon dan memicu hasratnya, buatnya biasa- biasa saja.

Bila lelaki itu ditanya mengenai hal paling primitif di bumi ini tentang apakah dia tidak terangsang dan ingin bercinta dengan istri barunya? Jawabannya adalah, dia sendiri tidak tahu. Masalahnya dia tidak yakin. Dia mungkin bisa digolongkan brengsek oleh sebagian perempuan. Tapi dia bukan tipikal pria yang suka memaksa. Jadi jawabannya adalah dia mungkin mau kalau saja Winda tidak menatapnya seolah- olah dia adalah predator pagi itu.

"Mas Giri biasa sarapan apa?"

"Saya nggak biasa sarapan. " Ujarnya. Melihat Winda yang berkali- kali menundukkan kepalanya malu- malu, membuat rasa penasaran Giri muncul. Namun lelaki yang sedang berdiri di depan kulkas itu hanya menyeringai.

It's Start With Broken Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang