Sembilan

1K 260 16
                                    

Akan tetapi, Arman kembali menghubungi Winda untuk menanyakan apakah adiknya itu bisa membantunya untuk mengembalikan uang keluarga Tomi.

Dan tentu saja Winda tidak punya jawabannya. Dia tidak tahu harus meminta tolong pada siapa mengenai uang sebanyak itu. Yuni tidak mungkin bisa dimintai tolong kalau jumlahnya sebanyak itu. Kehidupan Yuni sendiri tidak kalah menyedihkan dari Winda.

Yuni bahkan harus menghidupi pacarnya juga. Lelaki tidak berguna itu terkadang datang ke kosan hanya untuk meminta uang pada Yuni yang gajinya tidak seberapa itu. Padahal, alasan Winda untuk segera pergi dari kos- kosan sempit itu karena selain risi dengan gaya pacaran mereka, Winda juga tidak tega bila sahabatnya itu harus menghidupinya dengan uang pas- pasan.

Meminta tolong Bu Yuyun, ibunya Sita pun juga tidak mungkin. Karena dari kabar terakhir yang ia dengar, Bu Yuyun sekarang tinggal bersama dengan Sita. Otomatis pasti tidak punya uang yang dibutuhkan Winda untuk menggenapi sisa uang yang harus dibayarkan pada keluarga Tomi.

"Aku belum ada uangnya, Kang. Akang gimana? Teh Isma nggak bisa bantu gitu?"

"Akang kan tempo hari sudah bilang kalau Isma baru beli tanah. Dia juga menyesal karena nggak bisa bantu."

Winda buntu. Benar-benar buntu. Dia tidak sanggup lagi untuk berpikir, pada siapa dia harus meminjam uang sebanyak itu. Dengan cara apa dia harus mengumpulkan uang sejumlah itu dalam waktu yang terbatas? Ah, seandainya dia tahu bahwa semua kebaikan keluarga Tomi akan membawa kerumitan di belakang seperti ini.

Ini namanya sudah jatuh tertimpa tangga. Lima tahun lamanya Winda menjalani pernikahan yang menyiksanya secara lahir dan batin. Begitu sudah berpisah, masih saja ia harus dirongrong seperti orang yang punya hutang.

Sebenarnya memang ada jalan yang mudah. Seperti yang pernah ditawarkan oleh Kemala. Menikahi Giri.

Akan tetapi, ia tentu saja tidak ingin dua kali terjebak dalam pernikahan karena uang seperti yang sudah pernah dialaminya. Dalam hati Winda mengeluh. Tidak tahu harus bagaimana lagi. Tidak tahu harus pergi ke mana lagi.

"Ini Sarah juga waktunya daftar ulang. Bayar buat karyawisata  dia saja sekarang nyampe 1,7 juta. Sekolah dia ngadain studi tour ke Bali. Biaya daftar ulang juga sekarang ini nggak masuk akal, Win."

"Iya, Kang." Winda menyahut lirih.

Sekarang semua urusan keuangan dipegang oleh kakak sulungnya. Karena bapak mereka sudah menyatakan tidak mampu lagi memikirkan urusan keuangan pabrik juga keuangan rumah.

Winda sebenarnya kasihan pada kakak lelakinya itu. Seharusnya, Kang Arman sudah menikah dan berkeluarga mengingat usianya yang kini sudah kepala tiga.

Kemudian terdengar kasak-kusuk suara di ujung sambungan telepon. Lalu disusul suara kakaknya lagi. "Ini Ibu mau ngomong, Win."

"Oh, iya."

"Assalamualaikum, Win. Apa kabar... Ibu kangen." Suara lembut dan pecah ibunya itu membuat pertahanan Winda berkeping-keping.

Wanita itu jelas sangat merindukan ibunya. Setelah hampir empat bulan tidak berjumpa. Sebelum pergi ke Jakarta, Winda memang tidak pamit pada satu pun keluarganya. Karena begitu perceraiannya dengan Tomi disahkan oleh pengadilan agama, semua keluarga menjauhinya seperti Winda adalah sebuah aib bagi mereka semua.

Winda pun ingat, setelah bercerai, bapaknya tidak mengizinkan Winda untuk kembali ke rumah. Praktis Winda harus mencari rumah kos. Dan tinggal di kota yang memberinya kenangan buruk apalagi tanpa dukungan keluarga, membuatnya begitu tersiksa. Hingga membuat wanita itu menyerah dan akhirnya memutuskan untuk pergi. Tanpa pamit.

It's Start With Broken Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang