Winda dan Tini sedang berkutat mengiris cabai, sawi, kubis, dan baso sapi, di dapur sambil mengobrol seru tentang resep- resep masakan di media sosial berbasis video reels yang semakin hari, semakin tidak masuk akal, ketika suara sol sepatu keds beradu dengan permukaan lantai granit. Keduanya mendongak dari pekerjaan masing-masing.
Winda dari pisau dan talenannya, sementara Tini dari cobek dan ulekannya. "Pak Giri!" Tini mengangguk tegang.
Dengan tenang sekaligus ingin tahu, Giri mengamati keduanya. Tini seperti biasa, mengenakan kaus hijau lengan pendek dan celana pendek. Rambut sebahunya dibuntut kuda, memakai sandal jepit Swallow. Sementara di sampingnya, Winda berdiri dengan one set warna cokelat pecan dan jilbab bergo instan warna cokelat susu. Sepertinya perempuan itu memang penggila warna cokelat. Karena sejak pertama bertemu di Kembang Lawang, Giri sudah melihatnya mengenakan warna cokelat.
"Bapak mau makan?"
Giri menggeleng. "Saya mau ketemu Mbak Mala. Dia ada kan?"
"A-Ada kok, Pak. Di kamarnya."
Selama percakapan antara Tini dan Giri itu berlangsung, Winda hanya diam. Sama sekali tidak menyahut. Karena merasa tidak punya kepentingan, sekaligus tidak diajak bergabung.
Ia tetap fokus mengiris- iris baso sapi untuk bikin mie goreng tek- tek superpedas seperti rencana semula.
"Ini kan Mbak Winda ada di sini. Biasanya kalau Bu Mala mau ke luar, kan selalu ngajak Mbak Winda."
Giri tidak merespon. Ia hanya diam saja sebelum kembali melangkah menuju tangga dan menghilang di puncaknya. Begitu sosok itu tidak tampak lagi, Tini segera berbisik pada Winda. "Saya takut kalau ada Pak Giri,"
"Kenapa memang?" Winda agak heran juga. Karena sepertinya Giri tidak menunjukkan kegarangannya pada Tini. Tidak seperti pada dirinya, lelaki itu mirip singa ketika berhadapan dengan Winda.
Tapi perempuan itu harus mengakui, bahwa tanpa memasang tampang galak saja, Giri itu sudah menakutkan. "Tapi Pak Giri sih masih mendingan. Timbang mantan istrinya dulu."
Alis Winda bertaut di glabella. "Mantan istri? Udah pernah menikah berarti beliau itu?"
"Udah." Tini mengangguk dengan muka penuh persekongkolan. "Istrinya sih cantik. Tapi serem. "
"Serem?"
"Sebenarnya sih cantik banget. Tapi kalau marah hantu aja kalau serem, Mbak."
***
"Kayaknya Mbak Mala harus menghentikan proyek mak comblang- mak comblangan ini deh." Ujar Giri, begitu menemukan kakaknya sedang bersantai di balkon di kamar pribadinya sambil membaca Curtain Agatha Christie. Penulis favorit kakak perempuannya sepanjang masa selain Mira W, Marga T, dan S. Mara GD.
Mala segera mengalihkan perhatian dari buku yang dibacanya itu. Ia tidak merasa tersindir, tersenyum ketika melihat Giri muncul di hadapannya. Tegak dan kelihatan gagah dalam balutan kemeja kuning mentega dengan jin warna abu- abu. Rambutnya yang sudah melewati tengkuk, seharusnya sudah dibawa ke tukang pangkas rambut. Meski sekarang usahanya sudah semakin maju, namun tetap saja penampilan adik lelakinya itu terlihat berantakan dan menyedihkan.
"Tapi menurut Mbak, kamu memang butuh menikah. " Perempuan itu tersenyum hangat. "Look at you?!" gumamnya geli. "Bisa dibilang kamu ini malah mirip gelandangan yang tinggal di kolong jembatan. Kumismu itu bikin orang bakal mengira kalau kamu adalah residivis. Penjahat kambuhan yang baru ke luar dari bui."
Giri diam saja.
"Kenapa Mbak kemarin nyuruh asisten Mbak ke kantorku? Kan kalau mau ketemu Mbak bisa langsung telepon aja. Nggak perlu nyuruh- nyuruh orang buat manggil. Ini sudah zaman WhatsApp. Masih pakai acara kirim kurir segala!"
KAMU SEDANG MEMBACA
It's Start With Broken
RomansaSetelah perceraiannya dengan mantan suami yang abusive, Arawinda Niwatasari berjuang untuk memperbaiki hidupnya lagi. Dia menjadi seorang asisten pribadi bagi seorang perempuan di kursi roda. Hanya saja, sang perempuan mempunyai adik yang sangat men...