Sebelas

2K 280 21
                                    

Sebenarnya yang ingin dilakukan Winda adalah menggampar muka lelaki itu. Atau menendang tulang keringnya.

Tapi itu tidak mungkin dilakukannya, mengingat Giri adalah adik dari majikannya. Bisa dibilang, masa depannya ada di tangan lelaki ini. Bahkan juga masa depan seluruh keluarganya.

Winda tidak menyangka bahwa semuanya akan jadi berantakan seperti ini. Seharusnya, setelah ia berpisah dari Tomi, kehidupannya akan menjadi lebih baik. Jauh dari segala macam kesedihan dan luka yang diakibatkan perbuatan mantan suaminya itu padanya. Tapi ternyata pengaruh keluarga mantan suaminya masih bisa mengejar Winda bahkan ketika dia sudah berada ratusan kilometer dari kampung halamannya.

Dan gara-gara hal itu, Winda harus mengalami nasib seperti ini. Padahal sejujurnya tidak ada seorang perempuan waras mana pun yang ingin menyerahkan nasibnya pada pernikahan yang tidak dikehendaki. Ia jelas-jelas tidak ingin mengulangi masa lalunya.

Tapi dia memang tidak punya pilihan untuk saat ini. Tidak ada yang bisa disalahkan. Semuanya terlanjur terjadi.

Jadi yang bisa dilakukan oleh wanita itu hanyalah mengangguk. Walau patah-patah. Walau hatinya diselimuti keraguan. Walau yang ia inginkan lari dari semua belenggu ini.

Ia bahkan bertanya-tanya, dosa apa yang pernah dilakukannya sehingga ia harus mengalami nasib yang sebegini tragisnya. Menikah tanpa cinta. Dia kali pula.

Sekonyong-konyong, seraut wajah tampan yang bersahaja mampir dalam ingatannya. Seorang lelaki yang jauh lebih tua delapan tahun darinya. Dengan penampilan rapi dan senyuman lembut. Dosennya. Mas Salman.

"Kamu tunggu saya di ruang meeting. Nanti pulang ke Pamulang bareng."

"Tapi saya bawa mobil, Pak."

"Kita pakai mobil kamu."

"Mana boleh berduaan bukan sama mahram. "

Giri menatapnya datar. Winda tidak berani mengangkat pandangannya. Dia tahu, tatapan lelaki itu amat berbahaya.

***

Tepat pukul lima sore, Toyota Vios yang tadi dikendarai oleh Winda ke Kembang Lawang, kini dikemudikan oleh Pak Sun, sopir yang biasanya menyetir mobil Kembang Lawang ketika ada orderan katering untuk acara kantor, atau keluarga seperti seminar, peluncuran produk, gathering atau acara khitan, pernikahan dan sebagainya.

Winda duduk di jok penumpang belakang. Sementara Giri duduk di jok penumpang depan di samping Pak Sun yang mirip robot itu.

Winda tidak tahu harus berbuat apa dan bereaksi bagaimana. Di dalam mobil yang menggelinding membawanya untuk menghadap Kemala, dalam rangka untuk memberitahu keputusan mereka. Tepatnya keputusan Giri yang akhirnya bersedia menikah dengan Winda.

Bagi Giri, dia akhirnya setuju untuk menikah dengan wanita itu semata-mata agar kakaknya tidak lagi ikut campur dan mengatur agar Winda terus berada di sekelilingnya sepanjang waktu.

Seharusnya Giri merasa bersyukur. Winda bukan tipikal perempuan cerewet yang akan menerornya sepanjang hari. Menuntut kehadiran lelaki itu selama 24 jam selalu harus berada di sekelilingnya. Winda juga tergolong cantik. Meski bukan seorang sarjana, tapi ia sempat merasakan bangku kuliah walau hanya sampai D3 administrasi perkantoran. Dia tidak melanjutkan ke jenjang sarjana karena dipaksa menikah. Bukan karena otaknya sudah karatan. Itu berarti dia tidak bodoh.

Jadi tidak seharusnya Giri merasa terpaksa.

Dan tidak  seharusnya Winda merasa rendah diri. Lagipula meski galak, sepertinya Giri perhatian pada orang-orang di sekelilingnya. Buktinya, Nindi betah kerja di sana. Saat Winda bertanya sambil lalu dalam rangka agak mengorek informasi tentang lelaki yang sebentar lagi jadi suaminya itu.

It's Start With Broken Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang