5- JEMBATAN

41 17 6
                                        

Chapter ini mengandung kekerasan, mohon untuk tidak meniru nya atau bagi yang dibawah umur disarankan agar tidak membacanya karena dapat menganggu psikis kalian.

“Sesakit apapun, mati di tangan sendiri bukanlah sebuah pilihan terbaik.” -Afga.

🎀 HAPPY READING 🎀

Lentera ternyata kembali dikurung di dalam kamarnya setelah menyaksikan kematian sang ibu di depan matanya langsung. Ia bahkan kini duduk termenung di atas kasur dengan tangan yang memegang cutter. Matanya kini benar-benar kosong. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Layaknya mayat hidup. Luka-luka ditubuhnya belum diobati, tubuhnya pucat karena tiga hari hanya diberi makan sedikit. Psikis nya terkena guncangan dahsyat.

Lentera hancur.

Srett

Darah mengalir dari pergelangan tangan kiri gadis itu. Satu garis hasil goresan cutter menimbulkan sensasi perih yang mampu mengalihkan sakit hati yang dirasakan oleh Lentera.

Srett...

Sekali lagi ia menggores pergelangan tangan nya dengan cutter di atas bekas-bekas garis goresan yang sudah mengering. Darah segar semakin banyak mengalir ketika gadis itu menggores dua kali pergelangan tangannya. Wajahnya yang pucat, kini semakin pucat.

Ceklek

Terlihat asisten rumah tangga yang membuka pintu kamar Lentera terkejut hingga terjatuh di lantai. Gadis itu menatap asisten rumah tangga itu dengan tatapan kosong. Lantas bangkit berdiri dengan sempoyongan. Ia berlari menerobos pintu yang masih terbuka tanpa memperdulikan asisten rumah tangga nya yang masih shock. Lentera berlari keluar dari kediaman ayahnya, melewati beberapa bodyguard yang memang berjaga di setiap rumah sang ayah.

Tanpa menghiraukan apapun ia tetap berlari sekuat tenaga menjauh dari kediaman terkutuk itu. Tangan nya masih terus meneteskan darah, membuat dress berwarna mint nya terkena tetesan darah segar. Padahal sudah terlihat jelas bahwa sebelumnya pun dress itu sudah memiliki noda darah yang mengering akibat penyiksaan yang didapatkannya dari sang ayah. Well apakah masih bisa ia sebut pria itu ayah? Terlepas dari cara nya yang memperlakukan ia dengan sang ibu begitu kejam.

Lentera terus melangkahkan kakinya tanpa tujuan. Hingga ia sampai pada jembatan tinggi yang cukup sepi, dikarenakan jam yang menunjukkan jam setengah 12 malam. Dengan tatapan kosong, Lentera menatap kebawah jembatan. Sebuah sungai yang memiliki arus deras dan dilengkapi bebatuan yang terjal. Pikiran yang tak seharusnya datang pun terlintas di otak nya yang buntu.

“Kalau Lentera lompat, pasti bakal ketemu ibu kan?” lirih Lentera mulai menaiki pembatas jembatan.

Dari matanya tersirat bahwa ia lelah dengan semuanya. Tidak ada harapan lagi yang akan ia tuju untuk hidup. Perlahan namun pasti, kakinya melangkah maju untuk terjun dari atas jembatan.

Sedikit lagi, kakinya akan terlepas dari jembatan.

“LO GILA YA?!”

🎀

“Gue cabut.”

“Lah? Ngapa sih bro? Udah malam gila.” Rilan menatap Afga dengan heran.

Afga mengambil jaket jeans nya, lantas menggunakannya. “Nyokap gue telpon, nyuruh pulang.” ucap nya.

Barusan ia di telpon oleh sang bunda untuk segera pulang. Ia juga dimintai tolong sang bunda untuk beli sate. Memang, ibunya ini aneh-aneh saja. Tapi bagi Afga yang tipikal anak penurut dan tidak bisa menolak permintaan sang Bunda pun menurutinya.

“Buset dah, ya udah hati-hati ya.” ucap Rilan yang di setujui oleh yang lainnya.

Mereka berlima tadinya tengah berkumpul dari jam 8 tadi. Niatnya sih ingin menginap di apartemen El. Tapi sepertinya personil mereka akan berkurang satu dengan adanya Afga yang pulang.

“Gue duluan.”

“Yoi.”

Afga melajukan motor trail nya membelah jalanan kota yang sudah mulai sepi kendaraan. Wajar saja ini sudah setengah 12 malam. Ia sesekali menatap kesamping jalan untuk mencari pedagang sate yang biasanya berkeliling.

Namun matanya melihat seorang gadis yang tengah berdiri di atas jembatan. Awalnya ia tidak peduli, toh bukan urusan nya. Tetapi ketika semakin mendekat, ia malah melihat bahwa gadis itu tidak asing.

“Lentera?” gumam nya bermonolog.

Afga pun menepikan motor nya lantas membuka helm yang dikenakan nya. Ia turun dari atas motor. Matanya membulat sempurna ketika gadis itu benar-benar Lentera, hendak melangkah untuk terjun dari atas pembatas jembatan.

“LO GILA?!”

Afga merengkuh pinggang ramping gadis itu tepat ketika sedikit lagi hendak terjun. Afga membawa Lentera turun dari atas pembatas jembatan. Gadis itu menatap marah lelaki yang ada dihadapannya.

“Kenapa lo nyelamatin gue?!” pekik Lentera dengan suara yang serak.

Afga tertegun melihat kondisi tubuh Lentera yang babak belur, belum lagi bajunya yang dipenuhi oleh bercak darah. Tatapan hangat yang saat itu Afga lihat kini tidak ada, yang ada hanya keterpurukan, frustasi, dan lelah yang dipancarkan manik hitam itu.

“Gue lelah!! Gue mau mati aja!!” teriak Lentera frustasi. Ia juga menjambak rambutnya sendiri dengan kuat.

Lentera memukul-mukul dadanya karena merasa sesak, “Gue cape... Kalau ini emang garis takdir gue, tapi kenapa harus sesakit ini?”

Afga tersadar dari keterdiamannya, lantas mengguncang bahu Lentera. “Lo sadar ngga sih apa yang lo lakuin?!” bentak Afga balik.

Lentera terdiam, menatap manik mata hitam milik Afga dengan tatapan kosong. Airmata nya kini menetes tanpa disadari dari kelopak matanya. Kemudian tanpa bisa ia kontrol, akhirnya ia menangis dengan dada Afga sebagai sandaran.

“Gue cape. Mereka jahat, mereka bunuh ibuu...” racau Lentera sembari meremas jaket jeans yang digunakan Afga. Afga diam, ia hanya mengusap punggung gadis di dalam dekapan nya itu. Mendengar semua raungan frustasi Lentera.

“Gue capeee...” Lirih Lentera, setelah nya kesadaran nya pun melayang.

Dengan panik Afga sedikit menjauhkan kepala Lentera dari dadanya, terlihat gadis itu yang sudah memejamkan matanya pingsan. Yang membuat Afga lebih panik adalah pergelangan tangan gadis itu yang terlihat dua garis luka menganga lebar. Dengan panik Afga menelpon Reno.

“Halo kena--”

“Jemput gue di jembatan mulya sari.”

“Lah? Lo kenapa emangnya? Bukan nya lo udah sampai rum---”

“Ga usah bacot! Ini urgent. Sekarang juga, pakai mobil!” titah Afga lantas mematikan sambungan telepon nya.

Dengan perlahan Afga menekan pergelangan tangan Lentera agar tidak semakin mengeluarkan banyak darah. Wajah Lentera begitu pucat dengan lebam-lebam di sekujur tubuh, bahkan wajahnya pun ikut lebam-lebam.

“Lo berbeda dari yang gue lihat sebelumnya. Sebenarnya kehidupan seperti apa yang lo jalani, sampai berniat bunuh diri?”

🎀 TO BE CONTINUED 🎀

pliss akuu nulis cuma buat hiburan, bukan untuk di tiru. kalo banyak masalah yaa curhat ke tuhan masing-masing, bukan nya bunuh diri. jadii pesan aku buat pembaca cerita inii; ambil yang baik dan buang yang buruk nya yaa. ily sekebon💗

TERTULIS
29 Agustus 2024

BELIEVE ME!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang