10- BERHARGA

17 15 5
                                    

"Hidup itu rumit, menyederhanakan nya cukup membuat pilihan dan tidak menoleh ke belakang."

🎀 HAPPY READING 🎀

"Loh? Kok lo udah di sini pagi-pagi?" Tanya Lentera cukup kaget dengan keberadaan Afga yang sudah duduk santai di sofa sembari fokus bermain ponselnya.

Afga melihat Lentera yang baru saja keluar dari kamarnya yang ada di apartemen milik Afga dengan piaya motif bunga tulip dengan lengan panjang dan celana pendek. Rambut Lentera juga masih acak-acakan seperti singa.

"Mau ke pantai?" Afga malah melayangkan pertanyaan balik, bukan nya menjawab pertanyaan Lentera.

Lentera mendudukkan dirinya di samping Afga sembari menyisir rambutnya dengan jemari. "Ngapain ke pantai emang?"

"Liburan, ini weekend kan? Biar ngga suntuk," ucap Afga, lalu laki-laki itu pergi ke kamar Lentera begitu saja untuk mengambil sisir.

Ia mengarahkan Lentera agar duduk di bawah bersandar pada kaki sofa. Sedangkan Afga duduk di atas sofa sembari menyisirkan rambut panjang Lentera. Gadis itu merasa nyaman dengan perlakuan Afga yang manis.

"Emang mau ke pantai jam berapa?"

"Jam empat aja berangkat dari sini. Biar kita bisa liat sunset."

Lentera berdecak, ia mencebikkan bibirnya sebal. "Berangkat nya sore tapi kenapa lo jemput nya pagi?"

Afga melirik jam yang tergantung di atas televisi. "Udah jam 10 di bilang masih pagi." heran Afga.

"Ishh biarin sih."

Afga terkekeh dengan respon Lentera yang kesal. Memang, ini adalah apartemen yang di sewa Afga untuk jaga-jaga kalau ia tidak ingin tidur di rumah. Namun sekarang apartemen ini untuk sementara waktu di tempati oleh Lentera hingga keadaan gadis itu cukup pulih.

Biarpun Lentera sudah mulai tersenyum dan tertawa seperti biasanya, namun Afga tidak bisa di bodohi. Ia tau bahwa Lentera hanya menggunakan topeng nya, agar dunia melihat nya tengah baik-baik saja.

Selesai nya menyisir rambut Lentera, Afga kembali menyuruh Lentera duduk di atas sofa tepat disampingnya. Tangan Afga meraih tangan kiri Lentera. Gadis itu cukup terkejut, pupil nya bergetar seakan-akan tengah panik.

"Eh? Mau ngapain?" tanya Lentera gugup.

Afga tidak ada niat apa-apa, ia hanya ingin mengecek apakah Lentera masih menggores tangannya? Tangan Afga menyingkap lengan panjang piyama yang dikenakan Lentera. Seketika terlihat garis-garis baru yang masih merah, belum sempurna menjadi luka kering. Ada tiga garis yang terbentuk di atas bekas-bekas garis yang lainnya.

Tanpa sadar rahang Afga mengetat. Matanya memanas menahan amarah, ia merasa bodoh karena tak bisa mencegah Lentera untuk berhenti melukai dirinya sendiri.

"Ini apa?" tanya Afga dengan nada dingin dan tatapan datar nya.

Lentera menunduk'kan kepalanya tak berani menatap Afga. Gadis itu juga tak berani mengeluarkan sepatah kata pun untuk menjawab pertanyaan Afga. Tanpa Lentera jawab pun Afga sudah tau apa yang terjadi pada pergelangan tangan Lentera, hanya saja Afga ingin gadis itu yang mengucapkan nya secara langsung.

"Jawab Lentera!"

Air mata membasahi pipi mulus Lentera. Gadis itu meremas tangan Afga yang tengah menggenggam nya hangat. Lentera tak mampu menjawabnya.

"Jawab gue Sadisa Lentera!!" Afga geram, ia sangat geram. Bukan kepada Lentera, tetapi kepada dirinya sendiri.

"Maaf..." cicit Lentera di sela isak tangis nya. Gadis itu benar-benar tidak sadar ketika melakukannya.

Afga merengkuh tubuh ringkih gadis yang duduk di samping nya itu. "Gue udah sering bilang kan? Jangan lukai diri lo. Kalau lo ngga bisa nahan maka lo telpon gue, pasti gue bakal langsung dateng dan lo bisa lukai tangan gue. Jangan tangan lo, Ra. Tangan lo terlalu indah buat dipenuhi garis-garis laknat ini."

"Sekarang bilang ke gue, kapan lo bikin garis ini?" Afga mengendurkan pelukan keduanya agar ia bisa menatap wajah Lentera yang sembab dan basah oleh air mata.

Lentera menatap manik hitam legam milik Afga. Tatapan itu yang menenangkan jiwa kacau Lentera. "Semalam, hikss hikss... Gue ngga sadar, tau-tau udah bikin ini. Maaf."

"Pakai apa?"

"Gu-gunting."

"Shit!" Afga melepaskan pelukan keduanya lalu bangkit berdiri. Berjalan lebar menuju kamar Lentera, laki-laki itu mencari di mana letak benda tajam bernama gunting yang semalam digunakan oleh Lentera. Ia mencari di mana-mana, di laci, di lemari, di meja belajar, di meja rias, yang terakhir ia mencari di kolong ranjang. Dan betul saja, di kolong ranjang tersebut terdapat kotak berisi jarum, paku, dan gunting.

"Bangsat!" Afga marah, ingin sekali memukul dirinya sendiri yang payah karena bisa-bisanya kecolongan sehingga barang-barang begini lupa ia amankan dari jangkauan Lentera. Afga membawa kotak berisi benda tajam itu dan mengambil kotak P3K di dapur sebelum kembali ke sofa ruang tamu. Ia meletakkan kotak benda tajam itu di atas meja kaca lalu memilih kembali menarik tangan kiri Lentera.

"Udah di obati?" Lentera menggeleng sebagai jawaban.

Afga pun menyingkap lengan panjang piyama yang Lentera kenakan. Lalu laki-laki itu dengan telaten dan pelan-pelan membungkus pergelangan tangan itu dengan kain kasa. Setelah selesai, laki-laki itu beranjak mengembalikan kotak P3K di dapur. Lantas membuang benda-benda tajam yang ada di kotak ke luar apartemen. Ia kembali memasuki apartemen dan mendapati Lentera yang kembali tertidur di sofa setelah menangis. Afga menghela nafasnya panjang. Ia pun mengangkat tubuh ringan Lentera ke kamar untuk di pindahkan di atas ranjang. Ia membetulkan posisi Lentera agar nyaman. Setelahnya ia duduk di bagian samping kiri ranjang yang kosong sembari menunggu Lentera bangun.

Tangannya mengusap-usap kepala Lentera dengan lembut. "Lo terlalu berharga buat terluka, Lentera."

"Lo ngga boleh kayak dia. Lo harus tetap hidup dan ada di sisi gue." Afga merebahkan dirinya dan memejamkan matanya ikut tertidur di samping Lentera.

"Hentikan Alyssa!"

Alyssa menggelengkan kepalanya. Tangis gadis itu menjadi raungan. Tangannya yang menggenggam pisau buah menggores di kulit lehernya.

"Alyssa! Dengerin aku, ini nggak kayak yang kamu lihat. Ini salah paham, jadi jauhkan pisau itu dari leher kamu."

Alyssa semakin menekan pisau itu ke lehernya, membuat darah segar menetes. "KAMU BOHONG, KAMU NGGA CINTA AKU KAN? KAMU CUMA KASIAN SAMA AKU KAN?!"

"Hey! Engga begitu, Sa. Dengerin aku makanya, aku beneran cinta sama kamu, cinta banget malahan. Jadi buang pisaunya. Kamu terluka Alyssa!" laki-laki itu kepalang cemas dan berjalan hendak mendekati gadis nya.

"Jangan mendekat! Kalau kamu mendekat aku bakal bunuh diri. Kamu jahat, kamu bohong, semua yang kamu ucapkan bullshit. KAMU PEMBOHONG AFGA!!"

Afga menggelengkan kepalanya, membantah ucapan Alyssa. Ia semakin mendekati gadis nya itu. Namun siapa sangka bahwa Alyssa benar-benar menggores lehernya sendiri dengan pisau tersebut. Lalu setelah nya darah muncrat mengenai wajah Afga. Hingga gadis itu meluruh ke lantai. Seketika itu pula Afga merasa hatinya tercabik-cabik melihat kekasihnya dalam kondisi sekarat. Tanpa bisa di cegah air mata Afga mengalir.

"NGGAK ALYSSA!! ENGGA BENAR, INI SEMUA SALAH!!" Pekik Afga frustasi sembari memangku kepala gadis kesayangannya.

🎀 TO BE CONTINUED 🎀

hayoo alyssa tuu... masa lalu nya male lead, upsss!🤭

TERTULIS
8 September 2024

BELIEVE ME!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang