13. Cincin

4.3K 327 8
                                        

Happy Reading
.
.
.

÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷


"I miss you," bisik Bianca begitu mendayu dan penuh ketulusan.

"Aku juga. Aku juga sangat merindukanmu," balas Citra mengeratkan pelukannya.

Ditengah aksi hangat tersebut, tiba tiba Bianca melepaskan pelukan Citra dengan kasar. Sontak menimbulkan kerutan di kening Citra. Tatapan Bianca berubah marah penuh api yang tergambar di manik matanya.

"Bianca ? Ada apa ?" tanya Citra gelisah melihat perubahan sikap Bianca terhadapnya.

Sorot mata Bianca tak dapat Citra tebak kenapa. Namun ia menyadari bahwa Bianca sedang marah padanya.

"Dimana laki laki itu ? Dimana manusia yang lancang masuk ke kamarmu semalam ?!" tanya Bianca tiba tiba menanyakan Raka.

Kepala Citra terasa kian pusing bersamaan dengan rasa sakit perutnya. Ia menahan lengan Bianca dengan jarak yang terkikis. Deru nafas memburu terasa menerpa daun telinganya. Ia memahami kemarahan Bianca ini. Namun ia tak memahami tubuhnya yang sedang lemah akibat tak menjaga pola tidur dan makan saat datang bulan. Dengan tenaga yang tersisa, ia mencoba menahan tubuhnya agar tidak ambruk menghadapi kesalahpahaman Bianca.

"Maksudmu Raka ?" tanya Citra memastikan. Lalu ia menjelaskan, "Dia tidak berangkat hari ini."

Citra berusaha menenangkan Bianca, "Aku akan menjelaskannya di kos, ayo pergi dari sini dulu." Ia merasa tak nyaman menjadi pusat perhatian orang lain karena suara Bianca yang meninggi.

Akan tetapi, Bianca menolak. Ia terlalu dikendalikan oleh amarahnya, sehingga tak mempedulikan sekitar. Ia hanya memerlukan penjelasan dari Citra untuk meleburkan gundah di hatinya.

"Bi-"

Ucapan Citra terjeda dengan bentakan Bianca, "Jawab pertanyaanku, dimana dia ?!"

Citra terlonjak kaget mendengar suara keras Bianca dengan amarah yang menggebu gebu. Bahkan mahasiswa yang lalu lalang merasa terganggu dengan dua perempuan tersebut.

Citra yang semakin tak tenang dan kesakitan. Akibat bentakan Bianca, sekujur tubuhnya terasa lemas. Jantungnya berdetak berkali kali lipat kini serasa meledak. Bersamaan dengan itu kepalanya terasa berat tak tertahankan. Tubuhnya ambruk seiring dengan penglihatannya yang mulai gelap.

Bianca terkejut bukan main tat kala tubuh mungil Citra ambruk di pelukannya. Ia melotot tak percaya jika Citra pingsan dengan wajah pucat pasi. Perasaan Bianca berubah menjadi kekhawatiran yang mendalam. Ia membuang rasa marahnya tadi dan berganti dengan paniknya.

"Citra ? Citra, bangun."

Bianca mengerang tertahan. Ia segera menghentikan taksi dan membawa Citra ke rumah sakit terdekat. Selama perjalanan ia tak dapat berfikir jernih tentang apa yang sebenarnya terjadi pada Citra.

"Dokter ! Suster ! Siapapun tolong ! Ada pasien disini !" suara Bianca menusuk telinga semua orang di rumah sakit. Bahkan pasien komapun akan terusik mendengar suara lantang itu.

Untuk pertama kalinya, Bianca dihadapkan dengan situasi yang memacu adrenalinnya. Hanya karena Citra tak sadarkan diri setelah ia bentak, ia dilanda badai penyesalan yang dahsyat. Badai itu mampu memporak-porandakan hatinya. Perasaan amarah dan cemburu itu tiba tiba menguap tergantikan oleh rasa khawatir dan penyesalan.

"Mohon tunggu di luar," ucap seorang perawat dengan ramah.

"Tangani dia dengan benar ! Aku tidak akan segan segan menutup rumah sakit ini jika sampai dia kenapa napa !" bentak Bianca impulsif.

Perfect Wife (GXG)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang