TYPO 🙏
HAPPY READING...!!!SKIP Satu Bulan Kemudian
Semakin hari pertemuan Shani dan juga Cio semakin intens, karena Chika sudah mulai masuk sekolah. Setiap hari Shani mengantar Chika sekolah, dia akan berangkat pagi-pagi ke rumah Cio sebelum Chika bangun, dan dia akan pulang dari sana setelah Chika tidur dan sudah dipastikan Chika tidak akan tiba-tiba terbangun dari tidurnya sampai pagi jadi Shani tidak perlu khawatir dan bisa pulang dengan tenang ke rumahnya. Itu hampir setiap hari dia lakukan, bukan tanpa alasan Shani melakukan itu semua karena Chika yang selalu memintanya untuk tidak pernah meninggalkannya meskipun sebenarnya Shani demikian saat Chika tidur. Sejujurnya Shani merasa tidak enak melakukan semua itu karena dia dan Cio tidak terikat hubungan apapun. Namun sejak dirinya dan Cio berbicara tempo hari, Cio mulai menunjukkan hal yang berbeda padanya.
Cio menjadi lebih perhatian, dia tidak membiarkan Shani pulang atau datang menggunakan mobilnya sendiri. Cio akan menjemput Shani dan mengantarkannya pulang. Shani dan Cio tidak merasa lelah akan hal itu, yang terpenting Chika selalu merasa kalau orang tuanya selalu berada disisinya. Shani pun sudah dibebaskan dari bebannya untuk meneruskan perusahaan sang papa. Karena dia berpikir itu bukan keahlian yang dia miliki. Dan Keenan menerima keputusan Shani tersebut dengan lapang dada. Jadi Shani bisa bebas kapanpun menemani Chika.
Meskipun hari Minggu Cio dan Shani tetap melakukan hal itu, tidak ada kata libur. Seperti saat ini, jam masih menunjukkan pukul 5.30 wib Cio sudah berada di rumah Shani untuk menjemputnya.Imel dan juga Keenan tidak merasa keberatan lagi, karena mereka percaya pada Cio. Dia tidak akan berbuat macam-macam pada Shani, terlebih dialah yang menyelamatkan Shani. Tidak seperti biasanya pagi itu Keenan menemaninya duduk diruang tamu sembari menunggu Shani yang sedang bersiap-siap.
Pria paruh baya itu meneguk kopi miliknya.
"Diminum Cio!" Ucap Keenan pada Cio.
"Iya Pak," jawabnya.
Cio pun mengambil satu gelas teh. Dia tidak biasa minum kopi sepagi itu."Kamu sudah lama kenal sama saya masih saja canggung. Mulai sekarang kamu panggil saya om, jangan bapak."
"Tapi pak... Saya gak enak." Ucap Cio segan.
"Biasakan diri kamu Cio. Saya yang minta kamu untuk itu."
"Tapi pak," Keenan lantas menatap Cio.
"Maksud saya o..om."
"Nah gitu kan enak di dengernya. Oh iya saya mau nanya sama kamu." Keenan merubah posisi duduknya yang awalnya dia bersandar kini dia duduk tegap menghadap Cio.
(Om Keenan mau nanya apa? Kok kaya serius gitu, mampus ni gue! Jangan-jangan...) Batin Cio.
"Sebenarnya hubungan kalian itu seperti apa, Cio?" Tanya Keenan.
(Tuh kan bener, gue harus jawab apa? Gue sama Shani masih gini-gini aja. Mana mungkin Shani mau sama gue yang kenyataannya seorang duda anak satu. Sedangkan dia? Astaga Mami gimana ini?)
"Cio?" Panggil Keenan yang melihat Cio hanya terdiam.
"Eh iya Om, maaf kenapa?"
"Hubungan kamu sama Shani gimana? Om gak mau liat kalian jalan berdua, kamu kesini Shani ke rumah kamu setiap hari, tapi kalian gak ada hubungan apapun." Ucap Keenan, Cio menelan salivanya beberapa kali dan mengusap keringat di pelipisnya. Seharusnya cuaca pagi itu dingin tapi entah kenapa dia merasa kepanasan setelah ditodong pertanyaan oleh Keenan.
"E... Saya belum tau Om. Saya dan Shani hanya berusaha membahagiakan Chika, itu saja." Jawab Cio. Sungguh itu bukanlah jawaban yang di inginkan oleh Keenan. Keenan menggelengkan kepalanya heran.