BAB 36. HARI PERNIKAHAN
"Mama yakin di sini gedungnya?" tanya Cecil yang sudah memakai seragam hitam putih sesuai aturan yang diterapkan.
"Ya, buruan masuk."
"Ini nikahan orang kaya ya, bagus banget."
"Ya, pastilah, kalau nggak kaya mana mungkin dia mau gaji kita yang Cuma beberes seadanya." Yeni terus menjawab sembari melangkah ke dalam gedung dengan cepat.
"Aku mau menikah di gedung ini juga ya, Mah." Anak gadisnya mulai berharap.
Yeni menghela nafas dan mengabaikan pertanyaan itu. Hingga kini mereka sampai di dalam dan langsung disambut dengan pekerjaan berat. Mengangkat barang dan lainnya. sontak keduanya langsung penuh keringat dan lelah sampai sulit berdiri. "Duh, kok pekerjaan terakhir berat banget Mah?" Cecil mengeluh sembari mengusap keringatnya.
"Nggak tahu, mungkin karena ini hari H jadi ya pekerjaannya banyak. Sudah cepat gerak."
Cecil membawa makanan siap saji di tempatnya dan berkali-kali ia mondar-mandir untuk menatanya sesuai nama tempat. Dan saat ia berdiri menatap pelaminan ia membawa nama yang tidak asing di sana. "Fera dan David?" Ia masih heran tapi tidak bisa berlama-lama mencari tahu karena sudah dipanggil untuk terus bergerak mengambil makanan yang tersisa.
Dan saat akhirnya acara dimulai, Yeni serta sang putri berdiri bersiap untuk melayani para tamu undangan. Namun, langkah mereka terhenti ketika melihat Gisel dan Heni memasuki ruangan kemudian duduk dibarisan depan. "Loh, yang nikah keluarga mantan besan Mama ya?" tanyanya.
"Mama juga nggak tahu, duh, kenapa harus mereka sih?" Ia mulai menggerutu karena kesal serta malu jika sampai ia ketahuan bekerja di sana.
"Kita pulang aja yuk, Mah. Bahaya kalau mereka sampai melihat kita?"
"Sembarangan, kalau kita pergi sayang dong uangnya, udah capek-capek nggak digaji."
Cecil menggigit bibir bawahnya karena kesal. "Ini semua tuh karena Mama dan Kakak. Kenapa sih kalian harus miskin, sekarang aku harus bekerja seperti ini, ditambah lagi rupanya yang punya acara adalah mantan besan Mama. Ih, rasanya aku ingin menghilang saja dari sini."
"Enak saja menyalahkan Mama, ini semua ya karena kesalahan Fera, kalau wanita mandul itu tidak bikin ulah sudah pasti kita tetap kaya, Kakakmu tetap bisa menikmati uang pemberian keluarga bodoh itu. kok malah jadi salah Mama dan Kakakmu, gimana sih?"
Cecil manyun dan memilih untuk diam saja karena kesal. Suara mc sudah terdengar dan detik-detik pengantin pria memasuki tempat pernikahan. Rombongan keluarga pengantin pria begitu banyak dengan membawa beraneka macam seserahan yang sangat berkilau, tas mewah, sepatu mahal, jam tangan ratusan juta, pakaian dari desainer terkenal, bahkan ada mas batangan yang entah berapa jumlahnya, lalu mas kawin berupa sepaket perhiasan berlian. Membuat semua yang hadir terkesima.
Gisel tentu saja sudah salah tingkah, ia tidak tenang duduk di tempatnya, jika bukan karena Heni yang melarangnya untuk pergi ia mungkin sudah sedari awal tidak mau di sana. "Kenapa sih Fera selalu beruntung, kan seharusnya yang menikah dengan konglomerat itu aku, bukan Fera."
"Sudahlah, kalau kita berbuat jahat, nanti Papamu marah dan bisa saja Mama di ceraikan, kamu mau jadi miskin?"
Mendengar itu bukannya takut Gisel justru kesal. "Mah, kenapa sih, kok sekarang Mama jadi lemah banget. Padahal dulu Papa itu tunduk sama Mama loh."
Heni menghela nafas, ia sendiri tidak tahu kenapa suaminya mulai sulit di atur dan dihasut. Ia tidak menjawabnya karena tidak memiliki jawabannya. Hingga pengantin wanita mulai memasuki tempat acara. Semuanya menoleh dan terpana akan kecantikan Fera yang di gandeng oleh sang ayah untuk yang kedua kalinya. Namun, pernikahan kali ini tidak seperti dulu, jika dengan Yuda ia merasa berdebar-debar sebab rasa cinta dan harapan tinggi untuk dicintai. Kali ini ia merasa hampa dan hanya bisa memberi senyum palsu.
Dan saat mendekati pelaminan, Cecil yang melihat jelas siapa wanita yang hendak menikah langsung shock dan hampir jatuh lemas. Membuat makanan di nampan yang ia pegang berjatuhan, membuat sedikit kegaduhan di arena dalam. "Astaga, apa yang kamu lakukan!" sentak senior di sana. Membuatnya terdiam Yeni juga tidak bisa membela karena benar salah putrinya. "Bodoh sekali sih kamu, kalau tidak becus kerja ya keluar saja sana. Bikin masalah saja."
"Maafkan anak saya ya, tolong jangan dipecat, biarkan kami bereskan ini."
"Enak sekali, gaji anakmu itu akan aku potong. Bahkan sebenarnya makanan yang jatuh itu lebih mahal dari gaji kalian tahu!"
Mendengar itu hati Cecil seperti dicubit. Ingin sekali ia memaki, karena ia juga pernah bahkan sampai bosan makan ikan salmon. "Duh, nggak usah lebay deh, aku juga pernah kali makan makanan begini doang, bahkan sampai bosan!"
Yeni yang mendengar itu langsung mencubit putrinya agar diam dan tidak menambah perkara. "Diam kamu, jangan bikin tambah runyam."
"Oh, kau kaya ya?" Senior itu terpancing. "Kalau memang kaya raya, banyak uang, nggak apa-apa dong gajimu nggak dibayarkan untuk melunasi makanan yang jatuh ini?"
Cecil melotot. "Ya nggak bisa begitu dong, aku udah keluar tenaga untuk pekerjaan ini, dari pagi sampai sekarang, enak aja nggak digaji."
"Loh, kamukan sudah kaya, makanya jangan sombong jadi manusia."
Cecil melotot dan hampir menubruk seniornya tapi Yeni gegas menarik tubuh sang putri dan menjauhkannya. "Jangan cari masalah, cepat bereskan sebentar lagi acara akad selesai dan kita harus masuk ke dalam untuk melayani tamu undangan." Walau sendirinya kesal karena keadaan di mana dulu ia yang dilayani oleh Fera, kini ia harus melayani tamu-tamu undangan mantan menantunya itu. sungguh, ia sangat kesal dan benci sekali, ingin ia rusak acara ini tapi jika rusak tentunya ia tidak akan dapat gaji nantinya.
Akhirnya Cecil terpaksa membersihkan dengan raut wajah kesal. Dan sejak saat itu semua pelayan selalu menyindirnya sembari tertawa. "Tuh, ada cewek sok kaya, hahaha."
"Orang kok jadi pelayan, hahaha."
Cecil benar-benar benci sekali dengan situasi seperti ini.
Sementara itu sang pengantin yang kini sudah sah, mulai menerima ucapan selamat dari para tamu undangan. Mewahnya pesta membuat yang datang bukan tamu kaleng-kaleng, Fera sampai takjub dan sedikit minder. Ia merasa apakah pantas dirinya berada di situasi ini, tapi melihat kembali bagaimana ia dulu diperlakukan tentunya ia harus siap untuk perubahan hidupnya.
Yeni, Cecil, Heni dan Gisel, masih bisa menghirup nafas dengan tenang, mereka bahkan belum merasakan penderitaan yang sama seperti dirinya dulu. Ini baru awal, dan kasus Yuda hanya sebagai gebrakan, karena musuh sesungguhnya adalah keluarganya sendiri.
Gisel dengan malas datang memberi selamat, ia selalu melirik ke arah cincin berlian dan kalung berlian yang sangat mahal itu. "Kenapa, kau iri ya?" bisik Fera sembari tersenyum manis membuat Gisel melotot kesal dan hampir menampar wajah itu. Namun, gerakan tangannya lekas ditangkis oleh sang kakak ipar.
"Jaga sikapmu, adik ipar!" ucapnya penuh penekanan. Mendengar pembelaan terang-terangan itu Gisel benar-benar malu, ia seolah diinjak-injak harga dirinya dan memilih lari pergi dari sana. Para tamu undangan merasa heran dan berbisik-bisik mengenai hal tersebut.
"Dih, pasti iri tuh sama Kakaknya."
"Ya, dasar adik nggak tahu diri, iri kok sama Kakak sendiri." Heni yang mendengar itu hanya bisa menatap tanpa berucap apa-apa. Benar-benar dirinya tidak berkutik. Ditambah ia harus berdiri di pelaminan bersama sang suami sebagai pelengkap acara. Rasa kasihan pada putrinya yang tidak memiliki siapa-siapa disaat terluka.
Gisel yang awalnya hendak pergi, mendadak menghentikan langkah. Ia menoleh pada ruang ganti pengantin. Ia lekas memasuki tempat itu dan melihat beberapa perias dan staf lainnya di sana. "Ada apa, Kak?" tanya mereka heran.
Gisel tersenyum manis. "Nggak kok, aku terharu lihat Kakakku menikah, gaun dan make-upnya sangat cantik, jadi aku penasaran gaun untuk resepsinya akan sebagus apa?" Ia melihat-lihat gaun mewah di sana. "Ini bukan gaun yang akan dipakai Kakakku di resepsi?"
"Oh, iya Kak, gaun rancangan Ivan Gunawan."
"Wah, pantas bagus sekali."
"Benar, apalagi saat dipakai ditubuh pengantin wanita, sangat cocok sekali." Mendengar itu kebencian di hatinya semakin memuncak. Saat para penata rias dan staf gaun lengah, ia langsung merobek gaun tersebut, seringai bibirnya benar-benar menakutkan. Dan setelah puas merusak ia pun pergi dari sana seolah tidak terjadi apa-apa.
"Rasakan kau, Fera. Hancur sudah pesta resepsimu nanti, hahahaha."
KAMU SEDANG MEMBACA
BALAS DENDAM SANG ISTRI
RomanceFera tersenyum tipis lalu bangun dari duduknya, menyemprotkan parfum mahal yang jarang sekali ia pakai karena kata Yuda itu pemborosan. "Loh, kamu kok pakai parfum, sih? Mau ke mana, kalau nggak pergi nggak usah pakai begitu, boros banget. Parfum it...