Two

4 2 0
                                    

Dalam perjalanan pulang, suasana kota yang sepi semakin terasa hening. Matahari mulai condong ke barat, menggoreskan bayangan panjang di trotoar. Reyhan dan Diana melangkah perlahan, berusaha menikmati sisa hari meski kekosongan kota membuat hati mereka terasa berat.

Saat mereka melewati sebuah gang kecil di dekat persimpangan jalan, Reyhan tiba-tiba mendengar suara tangisan lirih. Ia menghentikan langkahnya dan menarik tangan Diana. “Kak, dengar! Ada yang menangis.”

Diana menoleh ke arah sumber suara, memasang telinga. Benar saja, terdengar suara tangisan seorang anak kecil dari ujung gang yang gelap. Tanpa ragu, Diana segera berjalan menuju suara itu, diikuti oleh Reyhan yang penasaran.

Di ujung gang sempit, mereka menemukan seorang anak kecil yang duduk di tanah dengan lutut tertekuk, menangis terisak-isak. Anak itu tampak ketakutan dan kesakitan, dengan lutut berdarah akibat terjatuh di atas aspal yang kasar. Diana segera berjongkok di samping anak itu, wajahnya penuh rasa simpati dan kepedulian.

“Hai, kamu baik-baik saja?” tanya Diana dengan suara lembut, berusaha menenangkan anak itu. Reyhan berdiri di sampingnya, memperhatikan dengan cemas.

Anak kecil itu, seorang bocah lelaki dengan rambut keriting berantakan dan wajah yang penuh air mata, mengangkat kepalanya perlahan. Matanya yang basah menatap Diana dengan tatapan bingung dan takut. “Aku jatuh… dan lututku sakit…” katanya terisak.

Diana tersenyum lembut, mengusap punggung anak itu dengan penuh kasih. “Tidak apa-apa, Kakak di sini untuk membantu. Boleh Kakak lihat lukamu?”

Bocah itu mengangguk pelan, dan Diana dengan hati-hati memeriksa luka di lututnya. Darah mengalir dari goresan yang cukup dalam, dan anak itu meringis kesakitan ketika Diana menyentuhnya.

“Reyhan, tolong ambilkan saputangan dari tas Kakak,” pinta Diana, berusaha tetap tenang agar anak kecil itu tidak semakin takut.

Reyhan segera merogoh tas Diana dan menemukan saputangan bersih. Ia menyerahkannya kepada kakaknya dengan tangan yang sedikit gemetar, khawatir melihat luka di lutut bocah itu.

“Terima kasih, Reyhan,” kata Diana sambil mengambil saputangan dan mulai membersihkan luka anak itu dengan lembut. “Namamu siapa, sayang?” tanya Diana, mencoba mengalihkan perhatian bocah itu dari rasa sakit.

“A-Ali…” jawab bocah itu, suaranya masih gemetar.

“Ali, tidak apa-apa, ya. Kakak Diana akan membersihkan lukamu dulu. Sedikit sakit, tapi sebentar lagi akan baik-baik saja,” ujar Diana dengan suara menenangkan.

Sambil berbicara, Diana melanjutkan membersihkan luka Ali dengan lembut. Reyhan, yang masih berdiri di sampingnya, merasa kasihan melihat Ali yang terus meringis kesakitan. Reyhan ingat bagaimana Diana selalu merawatnya saat ia terluka atau jatuh sakit. Sekarang, ia melihat kakaknya melakukan hal yang sama untuk anak lain. Ia merasa bangga, namun juga terharu.

Setelah luka Ali bersih, Diana mengeluarkan plester dari saku jaketnya dan dengan hati-hati menempelkannya di lutut Ali. “Nah, sekarang sudah lebih baik, kan?” Diana tersenyum, berusaha menghibur.

Ali mengangguk pelan, menyeka air mata dengan punggung tangannya. “Terima kasih, Kakak…”

Diana mengusap kepala Ali dengan lembut. “Sama-sama, Ali. Di mana rumahmu? Apakah kamu tinggal dekat sini?”

Ali menggelengkan kepalanya. “Tidak… Aku tersesat… Aku sedang mencari ibuku, tapi aku tidak tahu ke mana dia pergi…” ujarnya dengan suara pelan, matanya kembali berkaca-kaca.

Diana dan Reyhan saling berpandangan. Situasi ini lebih serius dari yang mereka kira. “Jangan khawatir, Ali. Kami akan membantumu mencari ibumu. Kamu ingat di mana terakhir kali melihatnya?” tanya Diana dengan sabar.

I Lost YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang