/ᐠ。ꞈ。ᐟ\
 ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄
Setelah terjadi penyerangan tadi, bukannya siswa-siswi di pulangkan lebih awal. Justru para guru memutuskan untuk melakukan kegiatan belajar mengajar seperti biasa.
Hal itu tentu membuat banyak murid merasa kesal. Termasuk Radel, laki-laki yang kini tengah berdiri seorang diri di taman sekolah. Sepertinya tengah menunggu seseorang.
"Del." Freya memekik saat melihat tubuh Radel di depannya. Perempuan itu berlari kecil mendekati suaminya.
Radel tersenyum tipis, matanya menangkap sosok Freya yang berlarian kecil ke arahnya. Dengan perasaan hangat, ia memeluk tubuh perempuan itu erat-erat. Hatinya kembali tenang, saat ia mencium rambut Freya, aroma khas tercium dari rambut panjang perempuan itu.
"Kamu ga pa-pa kan?" tanya Freya dengan raut wajah khawatir.
Radel hanya mengangguk seraya tersenyum menyakinkan, kalau dia baik-baik saja. Selang beberapa detik berikutnya, ia dikejutkan dengan suara isakan kecil yang mengusik indra pendengarannya. Ia menunduk, matanya menatap Freya yang hanya setinggi dadanya. Keningnya mengkerut saat isakan itu bertambah keras. Tangannya memilih untuk mengelus pucuk kepala Freya pelan dan membiarkan perempuan itu seperti ini sebentar.
Freya mendongak. Mata sembabnya menatap Radel sayup. "Kamu ngapain lagi sih, Del?" tanyanya lirih disela-sela isakan tangisnya.
Radel diam. Tangan Radel masih setia mengelus rambut perempuan itu dengan lembut.
Freya menatap Radel dengan tajam. Tangannya memukul dada laki-laki itu cukup keras. "Terus aja berantem, kenapa sih bandel banget?" gerutunya kesal. "Udah mau jadi Bapak juga, masih aja suka berantem," decak Freya.
Radel merasakan sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman tipis, ketika Freya memanggilnya dengan sebutan 'Bapak'. Hatinya terasa hangat, seolah sedang berbunga-bunga. Namun, Radel tak ingin melihat amarah Freya semakin bertambah, dia menatap ke arah Freya dengan mata yang penuh pengertian. Tangannya perlahan menggapai tubuh mungil Freya, membawanya ke dalam pelukan dan berusaha meredakan emosi yang bergolak.
"Iya, gue ngaku gue salah. Gue minta maaf ya, " ucap Radel. "Udah dong, jangan nangis. Perasan nangis terus si Mama," ujarnya, memanggil Freya dengan sebutan Mama, lalu terkekeh kecil.
Freya berhenti terisak, lalu kembali memukul dada Radel, mengalihkan perhatiannya. "Aku tadi khawatir, waktu lihat kamu berantem sama Mirza. Aku takut kamu kenapa-napa, apalagi Mirza licik, dia jahat. Ternyata dia ga sebaik yang aku kira," ujarnya memberitahu.
"Emang siapa yang bilang Mirza baik? Dari kemarin gue juga udah bilang dan udah kasih peringatan sama lo, jangan deket-deket lagi sama Mirza. Terus kenapa tadi lo bisa di sandera sama Mirza?" jawab Radel dengan nada datar, tanpa ekspresi.
"Maaf, kemarin aku ga percaya sama ucapan kamu," cicit Freya menunduk. Tak berani menatap wajah Radel yang terlihat tegas. Pasalnya kali ini ia ngaku salah, karena tak mau mendengarkan ucapan Radel.
"Jelasin sama gue, lo kenapa bisa bareng sama Mirza?"
"Tadi, pas aku minta izin ke kamar mandi, aku lihat Mirza dateng sama Lucas dari gerbang belakang sekolah. Kayak di Indomaret kemaren, dia mengajak aku ngobrol, tapi lama-kelamaan Mirza maksa aku buat ikut sama dia. Aku ga mau, tapi makin aku ngelawan, makin kasar Mirza maksa aku," jelas Freya.
"Terus kenapa Achel juga bisa bareng sama lo?"
Mendengar Radel yang melontarkan nama Achel, seketika suasana langsung berubah. Freya yang sedari tadi berbicara dengan lancar, langsung terdiam seribu bahasa. Alisnya terangkat, matanya membelalak, dan bibirnya yang semula tersenyum kini merekah tipis. Terlihat jelas bahwa ia sangat sensitif dengan sebutan nama Achel itu. "Achel..," gumam Freya pelan, menahan rasa tidak nyaman yang muncul begitu saja di dalam hatinya.