Bab 3: Panggilan dari Masa Kini

42 12 0
                                    

Tiba-tiba, suasana hening di toko buku itu terpecah oleh suara dering handphone yang nyaring. Sarah segera merogoh tasnya dengan tergesa, merasakan getarannya yang terus-menerus. Dilihatnya layar ponselnya, nama yang tertera di sana membuatnya terdiam sejenak: Suamiku Memanggil.

Sarah mengangkat wajahnya, menatap Armand yang masih berdiri di depannya. Ada keraguan yang tergambar di matanya, tetapi ia tahu apa yang harus dilakukan.
"Armand Maaf, aku harus angkat telepon dulu," katanya, berusaha terdengar sesantai mungkin, meski hatinya terasa berat.

Armand mengangguk pelan, senyumnya sedikit memudar.
"ya silakan."

Sarah melangkah sedikit menjauh, mencari sudut yang lebih tenang di dalam toko buku itu. Armand memandangi Sarah dari kejauhan. Pandangannya penuh dengan rasa rindu yang tak tersampaikan, dengan perasaan yang masih terjaga rapat-rapat di dalam hatinya.

Sambil memegang ponsel di telinganya, Sarah berbicara dengan suara lembut khasnya kepada suaminya, meski sejujurnya pikirannya masih tertinggal bersama Armand. Percakapan itu tak berlangsung lama, hanya mengabari bahwa Raka suami Sarah akan pulang terlambat karena harus menyelesaikan pekerjaannya. Meski Sarah sadar benar akan posisinya, tapi setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa seperti pengingat yang kuat tentang kehidupan yang kini ia jalani-kehidupan yang tidak melibatkan Armand.

Setelah percakapan itu berakhir, Sarah segera menutup telepon sembari menarik napas panjang. Ia tahu bahwa ia harus kembali ke Armand, namun kini perasaannya semakin bercampur aduk. Ia mengingat kembali bagaimana dulu Armand pernah menjadi pusat hidupnya, seseorang yang ia cintai dengan sepenuh hati. Dan kini, di tengah toko buku tua ini, ia bisa merasakan semua itu kembali menyeruak ke permukaan.

Armand, dari tempatnya berdiri, terus memandangi langkah Sarah dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Di dalam hatinya, ia sadar bahwa ia masih mencintai gadis yang pernah mengisi hari-harinya dulu. Rasa itu tidak pernah benar-benar hilang, hanya tersimpan rapi di balik kenangan-kenangan yang ia simpan sendiri. Setiap gerak-gerik Sarah, setiap senyum dan tatapan matanya, mengingatkan Armand pada semua yang pernah mereka lalui bersama-dan pada apa yang tak pernah bisa mereka lanjutkan.

Saat Sarah kembali mendekat, Armand berusaha menyembunyikan perasaannya dengan senyuman yang terkesan santai. Namun, di balik senyuman itu, hatinya terasa perih. Ia tahu, meski hanya dari sekilas pandang pada layar ponsel Sarah, bahwa mungkin hidupnya kini berada di jalur yang berbeda-jalur yang tak melibatkan dirinya lagi.

Sarah kembali berdiri di hadapan Armand, mencoba untuk mengatasi canggung yang semakin terasa. "Maaf, yah...." katanya, berusaha agar suaranya terdengar wajar. Tapi ada sesuatu dalam nada bicaranya yang tidak bisa menyembunyikan fakta bahwa ia merasakan sesuatu yang lebih.

Armand mengangguk lagi, kali ini dengan senyuman yang lebih tipis. "Tak apa, Sarah."

Mereka berdua kembali terdiam, seperti masing-masing mencoba memahami apa yang terjadi di antara mereka saat ini. Seolah-olah ada dua dunia yang sedang bertabrakan-dunia masa lalu yang penuh kenangan manis, dan dunia masa kini yang telah membawa mereka ke arah yang berbeda.

Armand masih terus menatap Sarah, seakan ingin mengabadikan setiap detik waktu bersama Sarah saat ini. Bayangan kebersamaan dulu yang penuh tawa tanpa rasa canggung sedikitpun, apakah bisa terulang kembali?? Namun, saat ini Armand tahu ada batas yang tak bisa ia langkahi sekarang. Ia tahu bahwa meskipun hatinya masih terikat pada gadis itu, ia tak bisa mengubah kenyataan yang ada di hadapannya sekarang. Sadar benar bahwa Sarah bukan lagi gadisnya yang dulu.

"Aku senang bisa bertemu denganmu lagi, Sarah," kata Armand lagi, namun suaranya kini terdengar lebih lembut namun penuh dengan kesungguhan.

Sarah menatapnya dengan sorot mata yang tak bisa ia sembunyikan.
"Aku juga, Armand," jawabnya pelan. "Aku juga."
Armand mengendus menghela nafasnya,

" Sarah, maafkan aku jika dulu aku pernah menyakitimu"
"Sungguh jika aku di beri kesempatan untuk memperbaikinya tentu akan aku lakukan"

Sarah terdiam berusaha santai, Ia memandangi wajah Armand yang nyaris masih sama seperti dulu, bahkan saat ini lebih memukau.

"Apakah aku sudah gila kenapa aku justru semakin memujanya" tidak bisa aku tidak boleh seperti ini.

" Justru aku yang harus minta maaf padamu Armand, apapun yang pernah aku katakan padamu saat itu, sungguh itu adalah jalan terbaik untuk kita"

Mata Sarah kini berpaling, melihat arah lain namun tanpa fokus sedikitpun.

" Ya..aku mengerti Sarah, seandainya kau lebih berterus terang, seandainya kau tak goyah dan tetap memperjuangkan cinta itu...."

"sttt" desis Sarah

" Sudah Armand tolong tak perlu lagi kau teruskan, aku tahu semua itu memang kesalahanku, dan aku juga menyesali itu"

Mata Sarah mulai berkaca namun Ia tahan sekuat tenaga agar bulir-bulir bening tidak sampai jatuh membasahi pipinya.

Armand maju satu langkah menuju Sarah, tangannya yang kekar berusaha menggapai tangan Sarah. Begitu dingin di sana, seolah membutuhkan tangan lain untuk membelai dan menghangatkannya.

Sarah hanya terdiam, bahkan Ia membiarkan tangan mungilnya berada dalam jangkauan Armand.

" Mengapa aku tak bisa memberontak?? bahkan aku begitu menikmatinya."

Jauh disana di dalam lubuk hati Sarah, Ia merasakan kerinduan yang amat sangat, sentuhan itu...ya sentuhan itu yang dulu selalu menemaninya, sentuhan yang selalu memberikan kedamaian bagi Sarah.

"Armand, aku harus pulang" ucap Sarah pelan

Armand mengerti bahwa sudah saatnya untuk melangkah mundur, membiarkan kenangan itu tetap menjadi kenangan, tanpa harus mengubah apa yang sudah ada. Ia tersenyum sekali lagi kepada Sarah, kali ini dengan tatapan yang lebih damai.

"Jaga dirimu baik-baik, Sarah," katanya pelan.

Sarah mengangguk, merasa ada sesuatu yang berakhir namun tidak juga, di antara mereka seperti masih menyimpan setitik rasa yang perlu untuk disalurkan.

"Kamu juga, Armand. Jaga dirimu."

Mereka berdua akhirnya berpisah di dalam toko buku tua itu, masing-masing membawa pergi perasaan yang selama ini terpendam. Mungkin mereka tak akan bertemu lagi, atau mungkin takdir akan mempertemukan mereka di waktu yang lain. Namun, yang pasti, pertemuan singkat ini telah mengingatkan mereka bahwa cinta pertama, betapapun indahnya, terkadang hanya bisa hidup dalam kenangan.


haii....jangan lupa vote kalau suka, biar aku bisa semangat juga buat nulis😊

Labirin Cinta dan Rahasia [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang