Bab 7: Permainan Takdir

24 7 0
                                    

Di kantor media tempat Sarah bekerja, suasana siang itu cukup tenang, hanya terdengar suara ketikan dan percakapan pelan antar rekan kerja. Sarah sedang fokus menulis artikel saat Nadia, teman satu timnya mendekat ke mejanya sambil membawa beberapa berkas.

Nadia: "Sarah, kamu dipanggil Bu Dina. Katanya penting."

Sarah menghentikan ketikannya dan menatap Nadia. "Oh, baik. Terima kasih, ya!" ujarnya sambil tersenyum. Dia segera membereskan dokumen yang berserakan di meja, lalu berdiri.

Sarah: "Aku langsung ke sana sekarang."

Sarah melangkah bergegas menuju ruangan atasannya, Bu Dina. Pikirannya sedikit teralihkan, bertanya-tanya tugas apa yang akan diberikan kali ini. Bu Dina dikenal selalu memberikan proyek-proyek penting, yang kadang penuh dengan tantangan.

Sesampainya di depan pintu ruangan Bu Dina, Sarah mengetuk pelan.

Bu Dina: "Masuk!"

Sarah membuka pintu dengan sopan dan melangkah masuk. Di dalam ruangan itu, Bu Dina sedang membaca beberapa dokumen dengan serius.

Sarah: "Ibu memanggil saya?"

Bu Dina mengangkat wajahnya dan tersenyum kecil. "Iya, Sarah. Aku ada tugas penting untukmu."

Sarah: "Apa yang bisa saya bantu, Bu?"

Bu Dina meletakkan dokumennya dan menyilangkan tangannya di atas meja. "Kebetulan, kita baru saja mendapatkan kesempatan untuk mewawancarai salah satu bos muda yang sedang naik daun di industri properti. Nama perusahaannya Armand Group. Aku mau kamu yang tangani, dari kemarin aku sudah tugaskan yang lain tapi hasilnya nihil, bos muda ini sangat sulit di temui, bahkan informasi tentang dia sangatlah sedikit, jadi jika media kita bisa meliput tentang dia pasti akan berimbas sangat positif"

Mendengar nama perusahaan itu, Sarah merasakan detak jantungnya berhenti sejenak. "Armand Group?" gumamnya, sedikit terkejut.

Bu Dina mengangguk. "Iya, CEO-nya masih muda,tapi dia sudah sangat di perhitungkan di dunia bisnis, namanya Armand... Armand Aksa Nugraha"

Darah Sarah seakan membeku di tempat. Armand Aksa Nugraha nama itu membuat pikirannya langsung berputar ke beberapa hari yang lalu saat dia tak sengaja bertemu dengan pria itu di sebuah kafe. Pria yang tidak hanya sekadar orang yang dikenalnya, tapi juga cinta pertamanya, dan orang yang saat ini terus mengganggu hatinya. Dia tak pernah menyangka pertemuan tak sengaja itu akan berlanjut sampai sekarang-dalam bentuk pekerjaan.

Sarah (dalam hati): "Armand... lagi? Ini seperti takdir yang terus mempertemukan kami."

Bu Dina: "Sarah? Kamu baik-baik saja?"

Tersadar dari lamunannya, Sarah segera mengendalikan dirinya.

"Oh, maaf, Bu. Iya, saya baik-baik saja. Saya siap untuk wawancara itu," ujarnya, meskipun hatinya masih bergetar dengan perasaan campur aduk.

Bu Dina: "Bagus. Aku mau artikel ini selesai minggu depan. Pastikan kamu siapkan pertanyaan yang mendalam, ya. Kita butuh wawancara eksklusif yang bisa jadi headline."

Sarah: "Tentu, Bu. Saya akan segera mempersiapkannya."

Setelah berbicara beberapa saat, Sarah keluar dari ruangan Bu Dina. Kepalanya penuh dengan berbagai pikiran tentang pertemuan tak terduga dengan Armand yang kini harus berlanjut di ranah profesional. Dengan langkah yang sedikit terburu -buru dia kembali ke mejanya dan mulai mencoba membuka profil Armand di layar laptopnya.

Melihat foto Armand di layar, Sarah tersenyum tipis. "Ini pasti bukan hanya suatu kebetulan," pikirnya. "Apakah takdir memang benar-benar ingin aku kembali dekat dengannya?"

***

Setelah menenangkan dirinya dan menyadari bahwa ini adalah bagian dari pekerjaannya, Sarah duduk kembali di kursinya, meski pikirannya masih selalu berputar soal Armand, namun dia tahu tugas harus tetap diselesaikannya. Dia mengambil napas panjang dan mulai mencari kontak perusahaan Armand Group yang bisa Ia hubungi untuk mengatur wawancara dengan CEO-nya.

Sarah menekan nomor kontak yang tertera di situs perusahaan. Beberapa dering terdengar sebelum akhirnya diangkat oleh seorang resepsionis.

Resepsionis: "Selamat siang, Armand Group. Ada yang bisa saya bantu?"

Sarah: "Selamat siang. Saya Sarah dari Media Sentra Utama. Saya ingin berbicara dengan bagian humas terkait pengaturan wawancara dengan Pak Armand CEO perusahaan Anda."

Resepsionis: "Oh, baik, Ibu. Saya akan sambungkan ke bagian humas. Mohon tunggu sebentar, ya."

Tidak lama kemudian, panggilan tersambung dengan seorang perempuan dari bagian humas.

Humas: "Halo, selamat siang. Saya Mia dari Humas Armand Group. Apa saya sedang berbicara dengan Ibu Sarah?"

Sarah: "Iya, benar. Saya Sarah dari Media Sentra Utama Kami ingin mengatur wawancara eksklusif dengan Pak Armand. Apakah beliau tersedia dalam waktu dekat?"

Mia: "Terima kasih telah menghubungi kami, Ibu Sarah. Kebetulan kami sudah menerima permintaan wawancara dari Media Sentra Utama, dan Pak Armand sudah menyetujui. Kami hanya perlu mengonfirmasi jadwal. Kapan waktu yang sesuai untuk Ibu?"

Sarah sedikit terkejut mendengar bahwa Armand telah menyetujui wawancara tersebut. Apakah dia sudah tahu bahwa dirinya yang akan datang untuk wawancara ini? Sarah segera mengendalikan perasaannya.

Sarah: "Wah, baik sekali, saya bahagia mendengarnya, Saya sebenarnya bisa kapanpun, apakah ada jadwal yang kosong minggu ini?"

Mia: "Kami bisa mengatur wawancara pada hari Kamis, pukul 10 pagi. Apakah waktu tersebut cocok untuk Ibu Sarah?"

Sarah mencatat waktu itu di buku catatannya, meskipun hatinya mulai berdebar lebih cepat membayangkan pertemuannya lagi dengan Armand.

Sarah: "Iya, baiklah itu sepertinya itu cocok. Terima kasih."

Mia: "Sama-sama, Ibu Sarah. Kami akan mengirimkan konfirmasi resmi melalui email segera setelah ini. Sampai bertemu di hari Kamis."

Setelah panggilan berakhir, Sarah meletakkan teleponnya di atas meja dan menatap kosong ke arah layar laptop. Perasaannya bercampur antara antusias dan gugup. Takdir sepertinya benar-benar bermain dengan kehidupannya saat ini. Dalam beberapa hari lagi, dia akan bertemu dengan Armand lagi, tapi kali ini dalam situasi yang sangat berbeda.
Sarah (dalam hati): "Kenapa harus dia lagi? Kenapa setiap kali aku mencoba melupakan, dia selalu muncul kembali?"

Dia menutup matanya, mencoba menenangkan diri. "Ini hanya pekerjaan, Sarah. Fokus. Jangan biarkan perasaanmu menghalangi profesionalitasmu."

Namun, jauh di dalam hatinya, dia tahu persis ini bukan hanya soal pekerjaan.

Haii pembaca, dukung saya ya biar semangat nulis, jangan lupa follow, vote dan komentar jika ada typo atau kasih usulan atau ide biar ceritanya makin menarik😊


Labirin Cinta dan Rahasia [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang