Bab 20: Amarah dan Cinta

10 7 0
                                    

Malam sudah larut, Sarah menatap jam tangannya yang menunjukan pukul 10.

" Armand aku pulang ya..."

" Baiklah sayang....sebenarnya aku masih rindu...." sambil menyentuh ujung hidung Sarah.

" ya akupun..."

Malam ini tidak seperti biasanya, begitu sepi hanya ada suara angin malam yang berhembus dingin, seakan menambah berat langkah Sarah untuk pergi. Meskipun sudah berdiri di ambang pintu, hatinya masih tertahan, rindu yang menggantung di udara tak kunjung pudar.

Armand, dengan senyum tipisnya, mengantar Sarah hingga ke depan pintu gerbang. Meskipun jelas tergambar rasa berat di wajahnya. Mereka tak banyak bicara, namun ada sesuatu yang tak terucap di antara mereka, sesuatu yang terasa begitu nyata tapi sulit diungkapkan dengan kata-kata.

"Sampai jumpa," ucap Sarah pelan, suaranya lirih, nyaris tenggelam oleh suara angin malam.

Armand mengangguk, meskipun hatinya enggan. "Hati-hati di jalan, ya sayang," jawabnya dengan nada lembut, namun matanya memancarkan rasa cemas yang tak bisa ia sembunyikan.

Sarah hanya tersenyum kecil, lalu berbalik menuju mobilnya. Suara pintu mobil yang tertutup seperti penanda akhir dari pertemuan mereka malam itu, namun di hati keduanya masih tersisa banyak hal yang belum tuntas. Sarah menarik napas panjang, mencoba menenangkan perasaannya yang berkecamuk. Ia tahu, Raka, suaminya, pasti sedang menunggunya di rumah. Pikirannya berputar-putar, antara rasa rindu yang belum selesai kepada Armand dan rasa bersalah kepada Raka. Ia harus segera pulang.

Namun, baru beberapa kilometer dari rumah Armand hujan tiba-tiba turun dengan derasnya. Suara hujan yang menghantam atap mobilnya seakan-akan menggemakan perasaan yang berkecamuk di dalam hatinya. Petir mulai menyambar, dan Sarah menggenggam kemudi lebih erat. Ia selalu takut dengan petir, dan malam ini rasa takutnya semakin diperparah oleh pikirannya yang tak tenang. Di tengah kekhawatirannya, ponselnya berbunyi.

Raka.

Sarah melirik sekilas ke layar ponsel yang tergeletak di kursi sebelahnya, namun ia tak segera mengangkatnya. Ia tahu pasti apa yang ingin Raka tanyakan. Rasa bersalah kembali menghantam dadanya. Namun, malam ini, ia hanya ingin cepat sampai di rumah tanpa harus menjelaskan apa pun di tengah derasnya hujan dan suara gemuruh.

Ponselnya berbunyi lagi.

Kali ini Armand.

Sarah merasa sedikit panik, namun lagi-lagi ia mengabaikannya. Yang ada di pikirannya sekarang hanyalah bagaimana ia bisa tiba di rumah dengan selamat. Hujan semakin deras, petir semakin sering menyambar, dan Sarah memacu mobilnya lebih cepat, berharap segala kegelisahan yang menggelayut di hatinya hilang bersama jalanan yang ia tinggalkan.

Jam di dashboard menunjukkan pukul 11 malam. Sarah akhirnya tiba di rumah. Cahaya lampu dari dalam rumah tampak hangat, namun perasaan Sarah tetap dingin. Hatinya penuh dengan kecemasan. Ketika mobil berhenti di garasi, Sarah melihat Raka sudah berdiri di depan pintu garasi, wajahnya tegang, penuh kekhawatiran. Tanpa menunggu Sarah keluar dari mobil, Raka segera berlari menghampirinya.

Sarah membuka pintu mobil perlahan, dan begitu ia turun, ia mendapati Raka sudah berdiri di hadapannya, wajah tampannya kini terlihat menakutkan. Itu bukan Raka yang biasa ia lihat, bukan Raka yang lembut dan penuh kasih. Wajahnya malam ini seperti akan memangsanya, penuh dengan amarah yang terpendam.

"Raka, maafkan aku..." ucap Sarah dengan suara yang nyaris tak terdengar, berat dan penuh penyesalan.

Namun Raka tak mengatakan apa-apa. Ia hanya berbalik, melangkah mendahului Sarah masuk ke dalam rumah. Sarah mengikuti di belakang, tubuhnya terasa lemah. Belum pernah ia melihat Raka semarah ini. Sampai di ruang tamu, Raka langsung duduk di sofa, melempar ponselnya ke meja dengan kasar. Suara ponsel yang terjatuh menggetarkan hati Sarah. Raka, yang biasanya tenang, kini begitu dingin dan penuh amarah.

Labirin Cinta dan Rahasia [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang