Bab 11: Pencapaian

13 5 0
                                    

Follow dulu yuk sebelum baca😉

Sarah melangkah cepat memasuki kantornya, sebuah bangunan yang modern dengan sentuhan minimalis di pusat kota. Jarum jam di tangannya menunjukkan pukul empat sore. Hatinya masih sedikit berdebar-debar setelah wawancara tadi. Meskipun suasana hati masih terombang-ambing antara rasa profesionalisme dan rasa di hatinya, namun mencoba untuk fokus pada pekerjaanya. Sarah tahu bahwa sekarang bukan waktunya untuk larut dalam nostalgia. Namun dia harus segera menyelesaikan artikel hasil wawancaranya tadi.

Langkah Sarah terdengar gemanya di sepanjang lorong kantor yang mulai sepi, mengisyaratkan bahwa sebagian besar pegawai sudah mulai meninggalkan tempat kerja. Namun Sarah terlalu bersemangat untuk menyekesaikan tugasnya kali ini. Sesampainya di meja kerjanya, ia langsung menyalakan komputer dan menyiapkan semua catatan hasil wawancara tadi. Seketika, Nadia, teman satu timnya, menghampiri dengan wajah penuh semangat.

"Kau berhasil, Sarah! Akhirnya kita bisa mewawancarai CEO property itu. Yang aku dengar dari Bu Dina, beliau sudah beberapa kali mengajukan wawancara, tapi selalu gagal, kau hebat Sarah! terus bagaimana tadi? Apakah sesuai ekspektasimu?" bagaimana rupa dari Pak Armand itu dari dekat? Aku lihat fotonya hanya beberapa, dan terlihat sangat tampan.

Sarah tersenyum tipis, dalam hatinya berucap banyak kata- kata namun tak mungkin Sarah membeberkannya pada Nadia.

"Ya, semua berjalan lancar, meskipun aku harus menunggu hampir satu jam lebih karena dia ada rapat mendadak, tapi aku bersyukur semuanya bisa berjalan lancar Nad...
Aku bisa mendapatkan banyak informasi penting untuk artikel kali ini"

Nadia mengangguk antusias, "Wah, aku sudah nggak sabar nih menunggu kelanjutannya. Oh ya, tadi Bu Dina bilang kalau dia ingin bertemu denganmu di ruangannya."

Mendengar itu, Sarah merasa sedikit gugup. "Oh, baiklah. Aku akan menemuinya sekarang," jawab Sarah sambil membereskan beberapa berkas di mejanya.

Sarah kemudian berjalan menuju ruangan Bu Dina, atasannya yang cukup disegani karena kecerdasannya dalam dunia jurnalistik. Pintu kayu dengan plakat bertuliskan "Dina Suryadi, Kepala Redaksi" berdiri di hadapannya, Sarah mengetuk pelan pintu itu dan terdengar suara dari dalam.

"Masuk," terdengar suara tegas namun ramah dari balik pintu.

Sarah membuka pintu dan masuk. Bu Dina sedang duduk di balik meja kerjanya, terlihat sibuk dengan beberapa dokumen di hadapannya. Namun, begitu melihat Sarah, wajahnya segera berubah menjadi lebih ramah.

"Sarah, duduklah," kata Bu Dina sambil menunjuk kursi di depan mejanya. "Bagaimana wawancaranya tadi? Berjalan lancar?"

Sarah tersenyum dan mengangguk. "lancar, Bu. Meskipun harus menunggu karena Pak Armand ada rapat mendadak, tapi beliau akhirnya meluangkan waktunya untuk wawancara."

Wajah Bu Dina tampak lega. "Syukurlah. Saya sudah mencoba untuk mendapatkan wawancara dengan dia sejak bulan lalu, tapi selalu gagal. Banyak media lain juga mengalami hal yang sama. Jadi, ini pencapaian yang besar, Sarah. Saya harap kamu bisa segera menyelesaikan artikelnya. Saya ingin ini menjadi headline kita minggu ini."

Sarah tersenyum mengangguk penuh semangat.

"Tentu, Bu. Saya akan langsung bekerja setelah ini. Terima kasih atas kepercayaannya."

Setelah pembicaraan singkat tersebut, Sarah bergegas kembali ke mejanya dengan perasaan campur aduk. Ada rasa bahagia karena berhasil menyelesaikan tugas yang sulit, akantetapi di sisi lain ada perasaan aneh yang terus menghantui pikirannya sejak pertemuannya dengan Armand.

Dalam hati, Sarah bergumam, "Jika aku bukanlah bagian dari masa lalu Armand, mungkin aku juga akan bernasib sama seperti jurnalis lainnya yang gagal mendapat wawancara dengannya."

Namun, Sarah mencoba menepis pikiran itu dan segera fokus pada tugasnya. Ia mulai memainkan jarinya, artikel ini harus segera selesai dengan cepat. Sungguh wawancara dengan Armand yang memberikan banyak informasi penting tentang proyek-proyek baru perusahaan propertinya, membuat aku tak kesulitan sama sekali dalam mengerjakan tugas ini.

Setiap kata yang diketiknya disusun dengan hati-hati, dan rapi, menggambarkan sosok Armand sebagai CEO muda yang ambisius dan cerdas. Meskipun begitu, Sarah tak bisa sepenuhnya mengabaikan fakta bahwa pria yang sedang ia tulis ini adalah orang yang selalu menaungi hatinya dulu, seseorang yang pernah membuat hatinya berdebar seperti saat ini.

Jam terus berputar, dan tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Kantor kini sudah sunyi senyap. Teman satu timnya, termasuk Nadia, sudah pamit pulang sejak pukul enam tadi. Sarah satu-satunya yang masih bertahan di kantor dan bergulat dengan artikelnya.

"Yes, akhirnya selesai juga," gumam Sarah dengan nada lega. Ia menatap layar komputernya, memastikan sekali lagi bahwa artikel tersebut sudah sesuai dengan ekspektasinya. Satu langkah lagi yang harus ia lakukan: mengirimkan artikelnya kepada Armand untuk mendapatkan persetujuan sebelum dipublikasikan.

Setelah menekan tombol "kirim" pada surel yang ditujukan kepada Armand, Sarah akhirnya mematikan komputernya dan bersiap untuk pulang.

Lelah mulai terasa di seluruh tubuhnya, tapi ada rasa yang amat puas mengalir dalam dirinya.
Pekerjaannya hari ini selesai dengan baik.

Sarah tiba di rumahnya, seperti biasa, suaminya, Raka, sudah menunggunya di depan pintu, penuh dengan senyum hangat di wajahnya. Raka memang selalu begitu, setia menanti kepulangannya meskipun jam kerja Sarah sering kali melewati waktu normal.

"Bagaimana hari ini? Wawancaranya lancar?" tanya Raka sambil berjalan ke arah Sarah dan memberikannya pelukan ringan.

Sarah mengangguk sambil tersenyum lelah. Sarah meletakan dagu lancipnya di bahu suaminya penuh manja. " lancar sayang... Aku berhasil mewawancarai CEO perusahaan itu, dan sudah ku selesaikan artikelnya. Tinggal menunggu persetujuan dari dia saja."

Raka tersenyum lembut, "Aku tahu kamu pasti bisa. Aku bangga sama kamu." Sambil mengusap rambut istrinya penuh dengan kelembutan.

Mereka berdua kemudian menuju ruang makan. Di meja sudah tersaji makan malam yang disiapkan Raka.

"Aku sudah menyiapkan makan malam. Yuk, kita makan dulu."

Sarah duduk di meja makan dengan perasaan nyaman. Raka selalu tahu cara membuatnya merasa dihargai dan dicintai, meskipun diam-diam Sarah tahu bahwa ada satu hal yang sering kali mengganjal di hati suaminya.

Raka sebenarnya lebih suka jika Sarah lebih banyak waktu di rumah, konses menjadi ibu rumah tangga dan mendampinginya, alih-alih menjalani kehidupan sebagai wanita karir yang sibuk. Namun, Sarah memiliki tekad yang begitu kuat untuk bisa menjadi jurnalistik, dan Raka dengan sabar mencoba untuk mengerti hal itu.

Saat makan malam berlangsung, Raka menatap Sarah dengan penuh kasih sayang. Sesuai dengan usianya yang jauh lebih tua daripada Sarah, Raka berusaha mengimbangi apa yang menjadi kemauan Sarah.

Sarah berbalik menatap suaminya, "Sayang Aku berjanji akan mengatur antara karir dan waktu untuk kita."

Raka mengangguk. "Aku tahu. Aku hanya ingin kamu bahagia, apapun yang kamu pilih."

Malam itu, mereka berdua menghabiskan waktu bersama, berbicara tentang hal-hal kecil sambil menikmati makan malam yang penuh kehangatan.
Di tengah kesibukan dan ambisi karirnya, Sarah selalu bersyukur memiliki seorang Raka, sosok yang selalu mendukungnya tanpa syarat.

Namun, di dalam hatinya, Sarah tahu bahwa tantangan sebenarnya baru saja dimulai. Wawancara dengan Armand bukan sekadar tugas jurnalistik. Ada bagian dari dirinya yang harus ia hadapi, sebuah masa lalu yang mungkin belum sepenuhnya tertinggal. Dan di saat yang sama, ia harus menjaga agar hubungan dengan Raka tetap kokoh, meskipun ada perbedaan harapan tentang masa depan mereka.

Tapi untuk malam ini, Sarah memilih untuk tidak memikirkan semua itu. Yang ada hanyalah kehangatan rumah dan senyuman suaminya yang selalu meneduhkan hatinya.

Labirin Cinta dan Rahasia [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang