Rumah Sakit (PMC), Agustus 2022
Di luar hujan turun dengan deras, langit begitu gelap seolah malam akan segera datang. Aku masih terdiam dan enggan untuk membuka mulut bahkan hanya untuk sesendok nasi, aku tidak menerima apa yang sedang terjadi kepadaku kali ini, ini bencana.
Aku ingat saat hendak pulang sekolah dan menyebrang jalan bersama teman-teman yang lain, seorang dewasa akan membantu kami untuk menyebrang dan membuat kendaraan memperlambat kecepatannya. Tapi hari itu, hal yang tidak pernah aku duga terjadi. Yang aku ingat hanya rasa sakitnya kemudian gelap dan kini aku terbangun pada ruangan bernuansa putih diatas bangsal, aku sedang berada di rumah sakit.
Dokter mengatakan kalau kaki-ku lumpuh total, aku harus hidup berteman dengan kursi roda. Aku menjerit tak menerima apa yang sudah terjadi, aku berpikir dalam kecelakaan itu aku sudah mati, ternyata aku bangun dan sepertinya aku terlahir kembali dengan keadaan begini, aku yang lumpuh.
Semangat dalam menjalani kehidupan seketika memudar. Impian besar yang pernah aku perjuangkan dan sekarang hancur lebur dalam kenangan dan harapan, aku sudah tidak bisa lagi berpijak pada bumi.
Ayah mengatakan kalau aku tidak perlu melanjutkan sekolah, karena ayah takut kalau aku akan menjadi bahan ejekan oleh teman-teman. Aku sendiri tidak mau berhenti sekolah dan ingin tetap melanjutkan kejenjang yang lebih tinggi, ibu juga juga menantang dan membiarkan aku untuk tetap bersekolah, kalaupun orangtuaku berniat melakukan homeschooling pasti biayanya lebih tinggi dan aku tidak mau membebani mereka.
"Bu, aku lebih baik mati aja," ibu mencium keningku dan menggenggam erat tanganku, sejujurnya aku lebih baik mati karena kecelakaan itu daripada harus hidup dengan keadaan begini. Aku merenung memikirkan masa depan yang belum tentu benar, apakah aku akan bahagia atau menderita karena kelumpuhan ini selama hidupku.
"Ibu mengerti. Keadaan ini memang tidak bisa diterima dengan mudah, tapi ibu yakin kalau Karam adalah anak yang kuat," ingin aku katakan kalau aku tidak kuat, aku takut, aku menyerah, pikiranku kacau tak bisa mencari kejernihan, satu yang terlintas adalah aku ingin mati.
"Terus cita-cita Karam bagaimana, Bu?" Kataku dengan suara yang hampir habis dan menangis di pelukannya, aku ingin berteriak sekeras-kerasnya—tapi tak bisa aku lakukan karena sekarang tenggorokanku sakit, aku hanya mampu berteriak dalam hati. Aku tahu kalau ibu hendak menenangkan hatiku tapi ia juga kesulitan untuk membuka mulut dan merangkai kata-kata manis, yang bisa ibu lakukan adalah memelukku, memberikan semangat, memasak makanan kesukaanku, dan menemaniku ketika tidur.
"Ibu selalu ada untuk, kamu."
*
Aku sekolah seperti biasa dan dugaan ayah memang benar adanya, beberapa teman mulai berbisik-bisik dan melirikku kemudian tertawa secara bersamaan. Karena kelasku harus menaiki tangga—Awan selalu membantuku dan menggendongku terlebih dahulu kemudian ia akan turun lagi kebawah untuk mengambil kursi rodaku, Awan tidak pernah mengeluh tentang itu, dia selalu bilang karena aku adalah sahabatnya dan seorang sahabat harus saling membantu satu sama lain.
Awan adalah anak yang ceria, mungkin satu sekolah bisa ia ajak bicara karena memang anaknya mudah bergaul, berbeda denganku yang pemalu dan tidak akan bicara kecuali ada yang bertanya terlebih dahulu. Karena keadaan ini juga aku dikeluarkan dari ekskul dan teman-teman mulai menjauh dariku, aku tidak tahu kenapa.
Tapi Awan tidak pernah meninggalkanku, jika ada yang mengganggu Awan adalah orang pertama yang datang untuk menyelamatkanku dan mengusir mereka, aku selalu senang ketika bersamanya, Awan selalu punya cara supaya aku tersenyum dan dia adalah orang yang menyelematkan hidupku.
Hal itu samasekali tidak bertahan lama, selepas kepergian bapaknya ditengah laut, anak itu berubah menjadi pendiam dan selalu menyembunyikan kesedihannya. Aku juga ingin menghibur Awan seperti caranya ketika menghiburku, ternyata aku memang tidak bisa. Setiap kali aku menghiburnya Awan hanya akan tersenyum tipis padahal aku sudah bertingkah aneh agar ia tertawa.
Lulus SMP aku melanjutkan pendidikan kejenjang SMK yang sama seperti Kakak, sebenarnya aku tidak mau melanjutkan disini karena aku tahu kalau SMK Wiratama ini sudah terkenal akan kenakalan anak muridnya dan beberapa kali aku juga mendengar berita tentang seorang siswi yang hamil diluar nikah dari sekolah ini, aku belum masuk saja sudah banyak berita buruknya. Aku sempat menolak tapi ibu bilang sekolah ini jaraknya lebih dekat dengan rumah dan biaya masuknya tergolong murah untuk kami, aku hanya pasrah dan meyakinkan diriku, semua akan baik-baik saja dan aku akan mendapatkan seorang teman yang baik dan sama seperti sahabatku.
Awan sendiri memilih untuk tidak melanjutkan sekolah dan tentu karena ekonomi juga, aku tahu bahwa Awan ingin melanjutkan sekolah dan menggapai cita-citanya tapi keadaan tidak mendukungnya, ia lebih memilih untuk membantu ibunya berjualan di pasar. Sekarang Awan hanya tinggal berdua bersama sang ibu, sesekali Awan bercerita kalau ia merindukan bapaknya dan berharap ombak laut membawa jasad bapak kembali ke daratan untuk dikuburkan.
"Kau boleh menangis ketika denganku, tidak perlu menahan air mata terlalu lama." Lebih baik Awan menangis sejadi-jadinya dan meluapkan segala emosi yang selama ini hatinya tahan, daripada harus melihat Awan menahan semuanya, aku sendiri yang sakit melihatnya.
"Bapak belum melihat aku sukses. Satu hari sebelum bapak pamit untuk mencari ikan kami sempat berdebat, memang sudah saling memaafkan tapi aku tetap merasa bersalah kepadanya," Awan menoleh padaku lalu menundukkan kepalanya, aku masih menunggu kelanjutan ceritanya. "Setiap malam aku berdoa supaya bapak kembali, meskipun hanya jasadnya saja. Pasti bapak kedinginan dibawah sana, Karam."
Aku memeluknya, membiarkan Awan menangis dalam pelukanku, "Kita sudah mencari dalam waktu yang lama. Basarnas sudah berjuang untuk menemukan bapakmu, mungkin ini memang sudah takdirnya, doakan saja yang terbaik untuknya."
*
Akhir-akhir ini aku merasa aneh dengan perlakuan ayah dan ibu yang selalu menjaga jarak satu sama lain. Kakak juga sedikit aneh, seolah ia menjauh dariku. Rumah terasa dingin dan aku melihat kehangatan yang mulai menghilang, beberapa kali aku mendengar perdebatan kecil antara ayah dan ibu, aku juga bertanya tentang perubahan kakak kepadanya, tapi tidak ada jawaban apapun.
Hingga pada bulan september 2023 aku kehilangan ibu untuk selamanya, ibu mengalami kecelakaan saat mengendarai sepeda motornya. Namun, aku tidak melihat wajah sedih ayah dan kakak ketika ibu meninggal, mereka biasa saja seperti tidak terjadi apa-apa, apa yang terjadi dengan keluargaku?
"Ayah tidak menangis?"
"Apakah harus? Menangis berarti tidak ikhlas juga menambah azab kuburnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lumpuh || Masa Revisi
Short Story[JANGAN DICOPY, HARGAI PENULISNYA] Bagi Karam, dirinya bagai manusia yang lahir kembali dengan keadaan cacat. Seumur hidup dihabiskan dengan duduk pada kursi roda, itu menyedihkan. Dalam mimpinya ketika tertidur, Karam selalu melihat dirinya mengena...