Semua mata terus memperhatikan kami dengan keheranan, aku tahu. Ya, ini memang pemandangan aneh yang mereka lihat belum lama ini. Sekelompok orang yang gemar merundung sedang mengistimewakan korbannya, para gadis berbisik-bisik dan menatap sinis kepadaku, mereka mungkin tidak senang kalau penderitaan ku berakhir. Mereka adalah orang-orang yang suka menyaksikan penderitaan orang lain dan kalau semua itu berbalik padanya mereka tidak menerimanya.
"Omong-omong kapan hari ulang tahunmu?" Mendadak Zayn bertanya.
"Besok, kenapa?"
"Serius? Wah, bisa pas begitu ya! Kami hendak mengajakmu besok, untuk jalan-jalan ke pantai, Baron yang mengatakan."
"Kalau begitu sekalian merayakan hari ulangtahun Karam saja, bagaimana?" Tanya Raul begitu antusias.
"Ya, kebetulan sekali, Karam. Menurutmu bagaimana?" Baron bertanya padaku.
"Mungkin aku tidak akan ikut dengan kalian, aku sibuk" Jawabku beralasan, memang malas saja untuk bergabung dengan mereka.
"Jawaban orang pemalas itu tidak jauh-jauh dari kata sibuk. Ikutlah dengan kami, anggap saja ini sebagai permintaan maaf juga" Kata Baron mencoba membujukku.
"Akan aku pikirkan lagi."
Baron mengangguk, aku seperti melihat ekspresi kecewa pada wajah mereka. Abang juga bertanya kepadaku apakah jumat ini aku sibuk, lagipula kalau mereka hendak jalan-jalan silahkan saja dan tidak perlu mengajakku atau seperti kata Baron tadi 'anggap saja ini sebagai permintaan maaf juga', entah aku sudah memaafkan atau belum tapi kalau dekat dengan mereka aku masih merasa sakit hati.
Sekolah telah bubar, aku sangat merindukan sahabatku dan sekarang aku menuju rumahnya, katanya hari ini dia sedang libur bekerja. Ternyata ia sedang duduk berdua bersama ibunya di teras rumah, ini adalah sebuah pemandangan yang indah. Awan, bagaimana rasanya masih bisa tertawa bersama seorang ibu? Aku menatap mereka lama, tak sadar bahwa mataku mulai berkaca-kaca. Aku segera menyadarkan diriku dan menghampiri mereka, aku mengucapkan salam dan keduanya tersenyum padaku, aku mencium tangan Bu Dyah kemudian beliau mencium keningku lama dan memelukku erat seperti aku juga putranya yang lama tak pulang ke rumah.
Tangisku pecah, rasanya seperti Mama saat aku baru pulang sekolah. Aku akan mencium tangannya dan Mama kemudian mencium keningku dan memelukku, menyuruhku untuk segera mandi lalu makan makanan kesukaanku.
"Sudah makan, Nak?" Aku menggeleng dan cepat-cepat mengusap air mataku, sepertinya Awan sadar kalau aku menangis terlihat dari wajahnya yang mencoba untuk menyembunyikan senyuman.
"Kebetulan ibu baru selesai masak, Karam makan disini ya?"
"Merepotkan kalau begitu-"
"Merepotkan bagaimana si? Kaya sama siapa saja kau ini!" Seru Awan.
"Ayo masuk, kita makan sama-sama."
Bu Dyah meletakan tiga piring pada meja, ia juga membantuku mengambilkan nasi dan lauknya. "Kalau ibu seperti ini, takutnya nanti Awan cemburu," Kataku sedikit bercanda, Bu Dyah terkekeh kecil dan menepuk-nepuk bahu Awan.
"Kau cemburu, Wan?" Tanya Bu Dyah menggoda.
"Tidak, lebih tepatnya aku merasa kasihan."
"Eh kau ini! Kalau Karam tersinggung bagaimana?"
"Tidak apa-apa, Bu."
"Ibu tidak tahu kalau Karam itu baja?" -Awan
"Berarti kuat? Lalu anakku ini apa?"
"Gatotkaca" Kami tertawa bersama, tidak tahulah aku karena terdengar lucu saja.
Aku makan dengan lahap dengan lauk sederhana ini, rasanya sama seperti masakan Mama, aku mendongak dan melihat sekeliling yang kini berubah menjadi dapur rumahku yang dulu. Di hadapanku bukan Awan melainkan sosok anak kecil dengan rambut basah yang sedang makan dengan lahap, ia tersenyum ceria dan menatap wajah wanita yang kemudian ia panggil dengan sebutan 'Mama'. Apa yang sedang aku lihat?
Keduanya sama-sama melihatku dan kini mereka tersenyum, aku menggelengkan kepala dengan cepat dan semuanya kembali seperti semula, aku segera menghabiskan makanannya karena aku melihat piring Awan dan Bu Dyah yang sudah licin tandas, aku terlalu banyak melamun dan apa itu tadi? Halusinasi? Tiba-tiba saja aku melihat sesuatu yang aneh, 10 detik itu seperti aku tengah kembali pada masa lalu dan melihat diri sendiri yang masih ceria dan bergigi gigis.
Selesai makan aku membantu membereskan meja dan mencuci piring bersama Awan, Bu Dyah permisi sebentar untuk ke warung karena ada bumbu-bumbu dapur yang harus beliau beli. Selesai mencuci piring aku dan Awan duduk-duduk didepan teras merasakan suasana sore hari yang sedikit mendung ini, semoga saja turun hujan nanti malam.
"Kau boleh menganggap ibu sebagai ibumu juga, dan kenapa aku harus cemburu? Bukankah selama ini kau menginginkannya? Kau selalu merindukan ibumu dan mungkin suka merasa dia masih hidup didalam rumah, aku juga begitu kepada bapak" Kata Awan panjang.
"Ya, kau benar, Wan."
"Selamat ulang tahun, Karam. Bahagia selalu sahabatku."
Awan tersenyum begitu juga dengan aku, padahal hari ulangtahunnya besok tapi Awan sudah terlebih dahulu mengucapkannya.
"Mau hadiah apa?"
"Mau bertemu dengan Mama" Jawabku spontan, aku sendiri tidak tahu kenapa tiba-tiba mengatakannya. Wajah Awan juga mendadak berubah, ia mengerutkan keningnya menatapku begitu lama dan kemudian membuang wajahnya dan tersenyum tipis.
"Wan? Sejujurnya, terkadang aku selalu berharap kalau setiap saat Mama akan datang untuk menjemputku. Aku ini bingung, aku sebenarnya sedang berjuang atau memang sudah menyerah."
"Tentu manusia harus berjuang untuk mimpinya. Kita belum kalah, belum terlambat untuk bersaing dengan yang lain" Kata Awan menatap lurus kedepan dan langit semakin kelabu, gaung adzan mulai terdengar dimana-mana, sudah saatnya aku pulang kerumah. Aku takut, rasa takut ini berbeda, aku tak bisa menceritakannya pada Awan.
"Aku mau pulang, mau beristirahat juga. Sampaikan terima kasihku pada ibumu" Awan hanya mengangguk tanpa menoleh padaku, ada apa dengan anak ini? Sikapnya tiba-tiba berubah.
"Karam," Panggilnya, aku menoleh pada Awan dan tersenyum. "Jangan pernah berpikir untuk mengakhiri hidup lagi, pulang sebelum waktunya itu sama saja hendak menyiksa diri sendiri."
"Kalau sudah waktunya bagaimana?" Aku bertanya, sedetik aku berpikir dengan diriku sendiri hari ini, setiap yang aku katakan sepertinya langsung terucap tanpa harus berpikir lagi.
"Itukan takdir manusia."
"Sudah? Boleh aku pulang?" Kenapa aku harus bertanya pada Awan, kan dia sudah mengangguk tadi. Lagipula ini sudah magrib dan aku belum membersihkan diri.
"Ya, pulanglah, hari semakin gelap dan mungkin akan turun hujan malam ini" Pungkasnya, Awan berdiri dan melangkah cepat memasuki rumah. Sikap Awan sedikit aneh atau aku yang aneh? Mungkin kami berdua memang sedang aneh hari ini.
Aduh, aku belum sampai di rumah tapi awan kelabu sudah meneteskan airnya dan petir bersuara bersahutan begitu juga dengan kilat yang menyala-nyala, dan hujan turun dengan derasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lumpuh || Masa Revisi
Short Story[JANGAN DICOPY, HARGAI PENULISNYA] Bagi Karam, dirinya bagai manusia yang lahir kembali dengan keadaan cacat. Seumur hidup dihabiskan dengan duduk pada kursi roda, itu menyedihkan. Dalam mimpinya ketika tertidur, Karam selalu melihat dirinya mengena...