XVII

20 16 0
                                    

TAIK!

Aku tidak bisa melihat dengan jelas karena kain hitam yang menutupi kepalaku dan kini aku merasa seluruh tubuhku basah karena air, aku tidak tahu ini air apa karena yang aku rasakan sepertinya ini adalah air kotor karena meskipun tertutup aku masih bisa mencium aroma. Aku hendak bangun dan sepertinya mereka tidak keberatan untuk aku duduk karena tangan seseorang membantuku untuk bangun walaupun sedikit kasar dan ia mencubit lenganku geram.

Dimana ini? Angin bertiup kencang dan aku mendengar suara deru ombak yang jelas, sepertinya aku duduk diatas tanah yang berkerikil juga, suara burung terdengar penuh irama. Aku mencoba melepaskan tali yang mengikat kedua tanganku dengan kencang dan saat itu seseorang memukulnya, aku terjebak pada haring yang bersifat memaksa.

"Pembohong, orang-orang seperti kalian memang licik! Apa salahku? Kenapa kalian melakukan ini?"

Dan Abang?

Tiba-tiba rambutku dijambak, Baron berbisik pada telingaku. Tapi aku sedikit merinding karena aku merasa ada benda yang terbuat dari besi menempel pada leherku dan rasanya dingin, mungkin benda tajam dan aku sedang diancam olehnya.

"Bukan, kau memang tidak punya salah pada kami. Hanya saja orang cacat memang tidak pantas untuk hidup, kehadiran kalian hanya pengganggu dan merusak kehidupan."

"Merusak kehidupan? Siapa? Aku tidak pernah merasa seperti itu, mungkin kalian inilah pengganggu dan perusak kehidupan orang lain-"

"BANGSAT!"

Biarkan, biarkan mereka memukuliku sampai mereka puas karena aku juga sudah muak dan ingin mengeluarkan semua yang selama ini terpendam. Aku tidak peduli bahkan jika hari ini aku akan mati oleh mereka, sesakit apapun pukulan yang mereka berikan tidak akan sesakit perkataan manusia dari mulut sampah mereka.

"Mati kau sana manusia cacat! Kau pantas untuk mati! Sampah bumi!"

Aku tertawa, sakitnya terasa bahkan darah mulai mengalir dari beberapa sudut wajah. Aku menertawakan mereka bahkan kakak kandungku sendiri yang sepertinya memang sudah lama menginginkan aku mati.

"Tertawa lah, karena setelah ini kau akan mati. Mati secara tragis!" Suara Raul? Dia berteriak keras tepat di telingaku. Oh manusia bajingan, siapa yang meludahi-ku? Dan kemudian beberapa dari mereka juga mengikutinya, menjijikkan.

Kain hitam itu kemudian dibuka, aku menatap mereka satu-persatu. Maaf mereka ternyata hanya pura-pura, aku benar-benar kecewa dengan Abangku sendiri—ia terlihat penuh api dan mengepal kuat batang kayu, ada sedikit darah juga di kayu tersebut. Aku tersenyum tipis, wajahku sakit dan darah mengalir begitu saja seperti air.

"Jadi, kalian akan membunuhku? Tapi hendak menyiksaku terlebih dahulu, kalian memang manusia-manusia lucu" Aku kembali tertawa, aku tengah mengejek mereka dan ingin membuat hati mereka semakin panas. Aku juga ingin tahu seberapa jauh mereka akan bertindak dan seberapa teganya seorang kakak terhadap adik kandungnya sendiri.

"Kau tahu? Manusia yang paling menyedihkan itu seperti apa?" Tanya Zayn.

"Tentu saja kalian" Jawabku dengan mudah, sedetik kemudian aku menerima sebuah tamparan pedas dari Zayn dan tendangan maut pada perut yang dilakukan oleh Raul.

"Orang miskin dan cacat seperti dirimu ini sangat-sangat menyedihkan. Aku selalu berharap mereka mati karena jika mereka mati akan lebih baik daripada harus hidup lebih lama lagi di dunia ini."

"Lalu, biarkan mereka mati menurut takdirnya," Aku meraung keras, tulang punggungku juga mungkin retak.

"Terlalu lama, apa kau merasa berharga? Kau itu tetap sampah dan sampah tidak boleh terlalu lama dibiarkan" Ucap Baron, tatapan matanya kosong namun menakutkan.

"Panji itu pandai melukis," Baron menoleh pada Panji dan ia kemudian mendekat dengan wajah menunduk, Panji memegang sebuah cutter. "Kau bisa lukis sesuatu pada wajah menyedihkan ini, lukisan yang sangat berharga" Lanjut Baron.

"ANJING KALIAN!"

"Eh? Seekor anjing tidak akan duduk sepertimu, kalau kau manusia coba untuk berdiri dan lari meminta pertolongan. Tidak bisa bukan?"

Babul dan Raul sama-sama memegangi ku dengan erat, aku tak bisa tak memberontak dan mencoba untuk melepaskan diri walaupun percuma. Aku berteriak yang dibarengi dengan tangis karena sakitnya luar biasa, benda tajam itu menusuk setiap kulit wajahku dan seolah Panji juga sengaja sedikit menekannya. Abang, Zayn, Baron, Janu, mereka tertawa bahagia.

Abang? Haruskah aku berhenti memanggilnya 'Abang' dan memanggil namanya saja.

Kalau memang dugaan-ku benar bahwa mereka hendak membunuhku, bunuh saja aku langsung tanpa harus menyiksa karena sungguh ini menyakitkan. Setiap pukulan keras yang mereka berikan aku selalu berharap semuanya akan gelap dan penyiksaan sudah berakhir, tapi mereka memang betul-betul ingin menyiksaku sampai mereka puas.

Aku hanya bisa menelan ludah, menahan sakit dan menunggu penyiksaan ini berakhir, setelah ini aku hanya akan pulang. Seharusnya dari awal aku tidak percaya dengan mereka, orang-orang seperti mereka mana mungkin pernah menyesal dan merasa iba, mereka gemar menyiksa dan berperilaku kasar.

Janu menyiram air mineral dari atas kepalaku secara perlahan, luka benda tajam yang Panji lakukan itu terasa begitu perih pada kulit wajah, bagaimana keadaan wajahku saat ini? Bahkan tadi aku sempat merasakan darah sendiri yang tak sengaja melewati bibir dan masuk kedalam mulut.

"Anak tuna? Seharusnya kau bahagia karena Baron belum pernah memberikan hadiah seistimewa ini, bukankah ini hadiah ulangtahun paling indah?"

"Ya, aku harap kau juga mendapatkan hadiah ulangtahun seindah ini nanti" Kataku dan memberikannya senyuman tipis, lihat wajahnya yang tidak menerima perkataan-ku ini.

Setelah beberapa jam mereka berhenti untuk menyiksaku, kini kepalaku kembali ditutup oleh kain hitam, sedari tadi aku terus memikirkan tas yang berisi surat dari Mawar itu, aku belum sempat membacanya dan yang paling menjengkelkan lagi aku belum juga mengirim suratku kepadanya.

Sial. Mereka memang tidak punya hati, aku tidak tahu siapa dua orang yang menarik tanganku dan menyeret tubuhku, jalannya seperti menurun dan bisa jadi mereka sudah lelah menyiksa dan hendak pulang.

"Kita akan kemana? Pulang?"

Baiklah aku mengerti, mereka mendadak bisu ketika aku bertanya, pantatku sakit dan mungkin celana yang sedang aku pakai ini robek. Memang tujuan mereka adalah menyiksa, kalau mereka masih punya hati pasti aku akan duduk di kursi rodaku dan mereka tidak perlu bersusah payah untuk menyeret tubuhku yang berat.

"Kita akan kemana?" Tanyaku sekali lagi dengan nada tinggi, mereka berhenti mungkin si ketua emosi karena aku tak bisa diam.

"Tempat pembuangan sampah. Gelap, sunyi, kelam, dan mengerikan."

Kemana? Sepertinya hari juga semakin gelap, aku tak tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Apa yang sedang menungguku di ujung sana? Apakah sebuah kematian?

Lumpuh || Masa RevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang