X

54 33 0
                                    

Aku terbangun saat merasakan seboran air dari sebuah ember yang dilakukan oleh Abangku, basah dan dinginnya air tidak masalah tapi aku merasa perih dengan luka ku. Aku mengusap wajah dan melihat keliling yang kondisinya tidak berubah sama seperti terakhir kali Abang meninggalkan kamarku, berantakan dan pecahan beling dimana-mana.

"Aku sangka kau sudah mati" Kata Abang dengan entengnya; dia sudah rapi dengan seragamnya dengan tas selempang yang sengaja ia gantung di kepalanya kemudian keluar dari kamarku dan meninggalkan ember hitam itu dekat pintu kamar dan pintunya ia biarkan terbuka. Aku mematung ditempat tak ada kekuatan untuk menggerakkan tangan, lalu Ayah juga melewati kamarku begitu saja tanpa menoleh, wajahnya biasa saja seperti tidak terjadi apapun tadi malam, apa Ayah sudah lupa karena semalam ia juga sedang dalam keadaan mabuk.

Aku jadi teringat dengan surat yang diberikan oleh Mawar kemarin, mungkin aku harus membalas surat itu juga memberikan nomor ponselku supaya kami bisa saling berkomunikasi, aku beralih dan menggapai meja belajarku; aku memotong selembar kertas dengan penggaris dan mulai menulis sebuah surat balasan untuk Mawar juga mengungkapkan perasaanku kepadanya yang belum tersampaikan.

"Semoga surat ini bisa sampai kepadamu, dan sebelum aku pergi aku hanya ingin kau tahu bagaimana perasaanku. Mawar, tetaplah menjadi gadis yang ceria dan kalau alam tidak merestui kita untuk bersama, mudah-mudahan kau dipertemukan dengan yang lebih baik dariku... "

Aku menghela napas berat, aku menulis surat ini dengan perasaan yang kelesah. Hari ini mungkin aku tidak akan bersekolah dan absenku akan diberikan tanda 'A'. Semalam aku tidak yakin apakah aku sedang berbicara dengan si Pemeluk atau itu hanya sebuah halusinasi dan apa aku sekarang jadi seteheng⁹? Karena aku juga mengajak seekor cicak berbicara dan aku sok paham dengan tatapan kedua burung itu, aku menggeleng heran dengan diri sendiri.

"Karam, Karam. Sudah berangkat sekolah kah?" Itu adalah suara Awan yang terus memanggil namaku dan buru-buru aku keluar kamar untuk menghampirinya, Awan berdiri didepan pintu masuk dan tersenyum sembari memegangi sebuah rantang susun tapi ekspresinya segera berubah kemudian ia menyentuh kepalaku dan tangannya langsung ada sebuah darah, tentu itu darahku.

"Jangan bilang kalau kau sedang mencoba untuk bunuh diri lagi!" Tiba-tiba saja Awan membentak, untuk apa aku melakukan hal itu perkataan Awan sebelumnya saja sudah membuatku berpikir bahwa bunuh diri bukanlah jalan untuk menyelesaikan sebuah masalah tapi menambah masalah yang akan menyiksa diri sendiri.

"Jangan tukas, Wan"

"Lalu kenapa? Coba ceritakan supaya aku bisa paham" Kami masuk terlebih dahulu dan aku menyuruh Awan untuk duduk, aku mulai menceritakan padanya apa yang terjadi semalaman dan begitu aku menceritakannya reaksi Awan menurutku terlalu berlebihan, tapi itulah sahabatku yang selalu unik.

Aku juga menceritakan tentang percakapanku dengan si Pemeluk, Awan yang mendengar ceritaku mengatakan kalau aku ini sedang mengarang dan berhalusinasi, itu masuk tapi aku merasa seolah ini semua nyata terjadi, aku bahkan bisa merasakan pelukannya juga suaranya yang halus dan lembut, apakah masih bisa disebut halusinasi dan karangan semata?

"Kau tidak ada rencana untuk kabur dari rumah?"

"Kalaupun iya aku akan kabur kemana? Aku tidak mau merepotkan orang lain, walaupun begini rumah ini adalah tempatku untuk berteduh dan semua kenangan Mama ada disini" Kataku menatap sekeliling.

Awan bangkit dari duduknya ia keluar rumah dan kembali dengan membawa pengki dan sapu lalu masuk kedalam kamarku dan ia menyapu beling-beling yang berserakan disana dan membuangnya. Setelahnya Awan berjalan kearah dapur dan saat kembali lagi ia membawa baskom berisi air dan sebuah handuk kecil, Awan kemudian perlahan mengelap wajahku dengan handuk kecil basah itu, ia juga membantuku untuk berganti pakaian; tolong jangan berpikiran negatif, kami berdua adalah dua manusia yang semurni oksigen.

"Kau bisa antar aku kekantor pos?" Aku bertanya kepada Awan yang sibuk membuka rantang susunnya.

"Kantor pos? Kau hendak mengirim surat kepada siapa?" Tanya Awan mengerutkan kening.

"Mawar" Jawabku langsung, Awan membulatkan matanya terkejut buru-buru ia mendekat dan aku tahu Awan pasti penasaran dengan jalan ceritanya.

"Akan aku ceritakan nanti, kapan kau ada waktu luang?" Awan berdecak sebal dan mengangkat bahunya tidak tahu, aku mengangguk paham. Aku dibuat kaget dengan tingkah laku Awan yang tiba-tiba saja menyodorkan sesendok nasi dengan wajah memaksa dan senyuman mengerikan.

"Ayo dimakan, Ibu membuatnya untuk sahabat anaknya yang sangat-sangat spesial" Kata Awan melebih-lebihkan dengan gaya yang mendramatisir, aku segera mengambil alih sendok yang dipegang olehnya dan memakannya dengan tanganku sendiri dan Awan mengerucutkan bibirnya, dulu aku pernah disuapi oleh Awan karena tangan kanan-ku mengalami cedera karena jatuh dari atas ranjang saat tidur, dan sungguh dia terus menyuapiku tanpa memberi jeda untuk aku bisa menelan makanannya.

"Dunia memang kejam, orang kaya semakin kaya dan orang miskin terus menemukan jalan buntu yang membuat kehidupan mereka selalu seperti itu tanpa ada perubahan apapun, masih banyak orang miskin di negeri ini" Awan bersuara dengan wajah yang serius.

"Lalu kasus pelecahan yang sering terjadi tapi pelakunya hanya di jatuhi hukuman ringan, kebanyakan dari mereka masih berkeliaran dimana-mana dan para korban akan terus merasa trauma, kejam sekali" Awan melanjutkan perkataannya lagi, aku diam dan terus mendengarkan apapun yang anak ini katakan, kalau diperhatikan ekspresi wajah Awan seperti orang yang sedang mengatakan omong-kosong tapi sebetulnya yang dikatakannya itu ada benarnya juga.

"Berita-berita yang menurutku tidak masuk akal terus muncul di acara televisi seperti seorang artis yang makan diatas piring? Dan acara-acara televisi sekarang samasekali tidak menginspirasi, mungkin ada tapi minim dan yang mereka undang hanya karena viral di media sosial, lalu mendapatkan penghargaan?" Dia menoleh padaku seolah mengharapakan aku untuk ikut memberikan argumen.

"Bahkan lebih sering dilirik, akhirnya kebanyakan dari mereka yang memiliki otak cerdas dan mengharumkan nama negeri kita terpojokkan dan banyak orang yang tidak mengenalnya."

"Sekarang aku bertanya, kau sedang membahas apa?" Tanyaku karena Awan melontarkan kata-katanya dengan nada yang sedikit emosi.

"Tidak sedang membahas apapun hanya ingin mengatakannya saja" Kata Awan hendak menyalakan rokoknya.

"Masih pagi jangan membuat udara kotor" Aku menegur, Awan berdehem dan menyimpan kembali rokoknya.

"Ternyata dunia orang dewasa itu sibuk, Ram. Waktu luang digunakan untuk tidur dan sisanya kembali memikirkan beban kehidupan" Awan terdiam, entah dia sudah lelah mengatakan sesuatu atau sedang merancang sebuah kalimat klasik.

——————————————————

IX. Seteheng: setengah gila

Lumpuh || Masa RevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang