IX

56 37 1
                                    

Karma merebahkan dirinya diatas ranjang menatap langit-langit kamarnya yang sudah mulai usang, memikirkan nasib keluarga dan hidupnya yang sekarang. Sejujurnya Karma tidak tega melihat Karam terluka seperti tadi, tapi ego-nya lebih besar daripada harus mengobati luka Karam karena ulah sang Ayah.

"Aku benci Karam... Mama selalu lebih sayang terhadap Karam dibandingkan denganku" Ucap Karma pelan dan menutup matanya. Dia selalu merasa bahwa sang Mama lebih sayang kepada adiknya daripada kepada dirinya, apapun situasinya Mama selalu mengedepankan Karam dan Karam yang membuat Karma merasa bahwa Mama-nya itu pilih kasih sedangkan Ayah menyamaratakan kedua anaknya, walaupun memang dulu Ayah selalu memarahi Karam karena memang anak itu sedikit bandel saat masih kanak-kanak.

Tapi kalau dipikirkan lagi kenapa juga Karma harus membenci adiknya sedangkan sikap orangtualah yang membuat dirinya seperti ini, "Tidak, kalau saja Karam tidak pernah lahir pasti kasih sayang Ayah dan Mama hanya untukku seorang. Karam memang seharusnya tidak pernah lahir karena sekarang dia juga hanya manusia lumpuh yang tidak berguna, punya mimpi konon... Keadaannya saja tidak mendukung mimpinya itu."

Kata Karma sedikit mencibir, dia memang kadang melihat apa yang dilakukan adiknya, tidak lain adalah ketika Karam sedang membaca buku-buku tebal dengan wajah serius; Karma tidak menyukainya. "Kita memang tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi aku yakin Karam tidak akan pernah menggapai mimpinya" Ungkap Karma meremehkan.

Karma mendengus saat nyamuk-nyamuk itu mulai menyedot darahnya dengan probosis mereka dan menciptakan gatal di area kulit.

"Nyamuk bajingan! Kenapa nyamuk betina tidak menghisap sirup merah saja untuk menghasilkan telur" Katanya geram. Kemudian ia menutup seluruh badannya dengan selimut, karena sudah larut juga dan matanya mengantuk; Karma segera terlelap.

*

Disebuah tempat kosong, 16 June 2024

Malam itu di sebuah tempat gelap dan kosong Baron dan kawan-kawannya yang lain mengundang Karma—kakak kelas mereka untuk pergi kesana. Karma tidak tahu untuk apa dirinya di undang dan ada keperluan apa mereka kepada Karma, saat ia sampai Baron dan yang lain menyambutnya dengan gembira terlebih Karma ditawari sebatang rokok yang langsung ia ambil dan sebotol minuman.

"Jujur saja, kau dan Karam tidak lahir dari rahim yang sama kan?" Tanya Baron menoleh pada Karma yang seketika terdiam dengan pertanyaan itu, "Ketampanan kalian memang sama tapi belum tentu lahir dari rahim yang sama, aku dengan Justin Bieber juga seperti itu" Lanjut Baron dan tertawa keras di ikuti dengan kawannya yang lain.

Kalau bukan karena rokok dan minuman keras gratis Karma tidak akan sudi untuk menerima undangan Baron yang tidak jelas ini.

"Ada orang yang memang tidak suka dengan basa-basi. Jadi, ada perlu apa kau denganku?" Karma menatap tajam mata Baron yang sudah mulai tidak karuan itu, bocah satu ini memang songong dan Karma pernah menghajarnya sampai hidungnya berdarah karena tatapan mata Baron yang menjengkelkan, tapi anak itu malah tertawa dan menantang.

Beberapa kali juga Karma sering melihat Baron dan para prajuritnya menganggu Karam tapi memang tidak ada niatan bagi Karma untuk menolong adiknya, anggap saja Karma dan Karam adalah orang asing disekolah dan Karma tidak mau tahu-menahu tentang kehidupan adiknya disekolah, meskipun kadang ada sedikit rasa kasihan melihat Karam yang selalu ditindas tapi Karma sungguh tidak perduli, karena dimata Karma adiknya itu hanya membawa beban.

"Sebelum itu izinkan saya untuk bertanya satu hal... " Karma membuang napasnya kesal, apalagi ditambah nada bicara dan cara Baron mengucapkan kalimatnya.

"Kenapa kau tidak pernah membantu Karam saat anak itu sedang ditindas?"

"Dan apa itu penting?" Karma berbalik bertanya, Baron mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Aku tidak perlu menjawab pertanyaan konyol itu, cukup basa-basinya! Apa yang kau inginkan?" Tanya Karma sedikit meninggikan suaranya.

"Kematian Karam" Mendengar jawaban itu Karma terkekeh kecil dan menggelengkan kepalanya heran.

"Kalau aku perhatikan kau sepertinya memang sudah tidak peduli dengan adikmu sendiri, kau ingat? Hari dimana saat aku dan yang lain hampir menghilangkan nyawa anak tuna itu? Aku tahu kau melihatnya tapi enggan untuk membantu, jujur saja apa kau juga menginginkan kematian anak itu? Sampah itu?" Terlalu banyak pertanyaan yang Baron lontarkan dan Karma memilih untuk diam.

Karma bukan menginginkan kematian Karam tapi hanya ingin anak itu menghilang saja dari hidupnya, "Kematian itu sudah ada yang mengatur. Karam hanya perlu menghilang dari pandangan kita" Kata Karma dan menghisap rokoknya.

"Ini sebuah rencana, aku dan yang lain menginginkan kematian Karam dan kalau anak itu mati berarti dia sudah menghilang dari pandangan kita. Singkat saja, aku ingin kita merencanakan pembunuhan Karam" Karma terbatuk saat mendengar pemaparan yang diberikan Baron. Jadi, bocah bandel ini mengundang Karma hanya untuk membuat sebuah rencana pembunuhan?

"Kau sinting? Kalau kau hendak masuk jeruji besi jangan mengajak orang lain."

"Kalau tidak mau masuk penjara berikan mereka uang supaya tutup mulut, kata Papa semua masalah bisa diselesaikan dengan uang dan itulah cara kertas bernilai bekerja" Kata Baron dan terkekeh kemudian meminum minumannya, ia menunggu pernyataan dari Karma tapi manusia yang ada disampingnya ini hanya diam seperti tengah menimbang-nimbang sesuatu.

"Kalau Bang Karma setuju kita akan langsung membuat rencananya dan tinggal menunggu waktu yang tepat untuk melakukannya."

Kemudian Baron berdiri merapikan sedikit kemejanya, "Hanya itu untuk hari ini, aku pulang dulu" Kata Baron dan berjalan pergi sambil mengedipkan sebelah matanya, di ikuti dengan kawan-kawannya yang lain. Karma mengacak-acak rambutnya bingung, dia juga bingung dengan dirinya sendiri apakah merasa kasihan atau benci kepada adiknya sendiri. Ini benar-benar diluar dugaan, adik kelasnya itu memang sudah terkenal akan kenakalannya disekolah ataupun masyarakat dan Karma tahu itu.

"Kalau Karam mati berarti dia sudah menghilang dari bumi, aku harap si Baron itu punya rencana bagus."

Karma berdiri dia berjalan keluar dari tempat yang mungkin dulunya adalah sebuah gudang untuk menyimpan traktor. Ia melihat kanan-kiri untuk memastikan bahwa tidak ada orang lain selain dia, Baron, dan para tikusnya Baron itu ditempat ini. Sedangkan Baron bersama yang lain mengintip dari balik pohon untuk memperhatikan gerak-gerik Karma, alasan Baron mengajak Karma kedalam rencananya adalah karena ia melihat tali persaudaraan antara Karma dan Karam yang sepertinya memang sudah lama terputus, Baron juga melihat kalau ada kebencian terhadap Karma kepada adiknya.

"Kau yakin si Karma setuju?" Tanya Raul meragu.

"Seratus persen aku yakin."

Lumpuh || Masa RevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang