III

141 58 28
                                    

Cahaya bulan menembus lewat jendela kamarku membuatnya temaram. Sekarang yang aku rasakan adalah sebuah kesunyian malam, merebahkan daksa lelah ini pada ranjang mencoba memejamkan mata untuk tertidur, tapi tak bisa aku lakukan. Kemudian teringat aku pada masa lalu saat usiaku tujuh tahun: Paman datang dengan seragam lorengnya, terlihat gagah dan berani apalagi paman memakai kacamata hitam. Aku yang kagum pernah berkata ingin bercita-cita menjadi seorang abdi negara biar sama seperti pamanku. Namun, cita-cita itu kemudian hilang dalam diriku tidak ada minat lagi dalam hatiku, kaki ini juga tidak bisa bergerak apalagi merasakan sakit, tapi hatiku selalu nyeri dan sekarat ingin mati. Kecelakaan dua tahun lalu itu membawaku dalam kisah baru seolah aku terlahir kembali dalam keadaan begini.

Sempat aku mencoba untuk mengakhiri hidup, saat itu tak bisa aku berpikir jernih, aku merasa duniaku sudah hancur dan untuk apa aku tetap hidup jika tidak bisa berjalan untuk selamanya. Tapi Awan datang menghentikan semuanya, katanya "Tidak ada yang berubah walaupun kau mati. Sekarang kau merasa seperti manusia paling sakit dan kau hendak mati dengan cara yang salah, bukankah itu sama saja kau hendak menyiksa dirimu sendiri di dunia maupun akhirat."

Mungkin saja akan ada hal baik yang datang kepadaku, entah waktunya kapan yang perlu aku lakukan adalah sabar menunggunya, dan kalau aku menyerah sekarang aku tidak akan bisa bersaing dengan yang lainnya. Jika hari ini gagal aku akan mencoba lagi sampai berhasil, kegagalan itu sebagai awal menuju kesuksesan karena tidak semua proses terjadi secara instan. Aku bangkit menggapai kursi roda dan sekarang aku di depan meja belajar mengambil salah satu buku berwarna hijau—buku ajar fisiologi kedokteran, mulai aku membaca dan mempelajarinya dengan seksama.

Saat aku sedang fokus mendadak ada yang memelukku dari arah belakang, aku langsung menengok tapi tidak ada apa-apa hanya sekitar kamarku yang cahayanya kurang. Kan tidak lucu kalau ada setan juga yang menemaniku belajar, aku mencoba kembali fokus supaya apa yang aku baca bisa di luar kepala. Sayangnya suasana seketika berubah jadi mencekam aku merasa seperti ada yang memperhatikan dari pojok kamar, aku ingin menyalakan lampu tapi stop kontaknya terlalu tinggi dan kayu yang biasa aku gunakan untuk menyalakannya ada di pojok itu.

"Disorder adalah... keadaan dan perasaan badan yang kurang enak," Aku bersuara mencoba untuk fokus dengan bacaannya "Disebabkan oleh gangguan penyakit atau karena tidak berfungsinya salah satu organ tubuh" Suaraku sedikit bergetar dan berbisik.

"Karam"

"Setan!"

Buku yang sedang aku pegang itu reflek terlempar kebelakang. Jantungku berdebar kencang dan tanganku bergetar karena takut. Aku tidak tahu kalau Ayah akan membuka pintu kamarku bahkan suara pintu terbuka pun telingaku tidak mendengar, Ayah menggelengkan kepalanya aku menunduk kemudian ia mengambil buku itu dan meletakkannya di meja.

"Ayah mau bicara" Katanya—menyalakan lampu kamar.

"Langsung saja. Lebih baik kau berhenti sekolah, Ram" Kata Ayah langsung pada intinya.

"Berhenti sekolah? Kenapa? Karam tidak akan berhenti sekolah di tengah-tengah, Karam punya mimpi" Aku sedikit mengeraskan suaraku.

"Mimpi? Apa mimpi orang lumpuh? Yakin betul kau akan menjadi manusia berguna suatu hari nanti, Ayah meragukan semua itu. Lebih baik kau berhenti sekolah biarkan Abangmu saja yang melanjutkan."

"Bukannya Ayah bilang, boleh aku melanjutkan sekolah tapi tidak sampai dengan kuliah."

"Setelah Ayah pikirkan untuk apa membiayai sekolah anak lumpuh sepertimu, Karma bahkan lebih baik jika dia ingin berkuliah dan memiliki gelar, sekarang terserah. Ayah tidak akan mengurus biaya sekolahmu."

"Tapi Karam juga anak Ayah yang masih perlu biaya untuk sekolah" Kataku, kalau Ayah saja sudah tidak peduli dengan biaya sekolahku lalu bagaimana nasibku kedepannya? Bagaimana kalau aku dikeluarkan dari sekolah? Bagaimana dengan mimpiku? Haruskah mimpi kali ini lenyap lagi.

"Anakku? Saya tidak pernah punya anak lumpuh" Rasanya hatiku hancur. Ayah keluar dari kamar meninggalkanku yang diam membisu menahan diri untuk tidak menangis, aku tidak mengenal pahlawanku yang dulu, sifatnya berbeda jauh sekarang. Aku tidak mau berhenti sekolah aku harus lulus untuk mendapatkan ijazah, tidak apa tidak berkuliah yang penting aku bisa lulus sekolah menengah atas.

Untuk kedua kalinya ada yang memelukku lagi dari belakang di tengah-tengah hatiku sedang merasa gundah ini, bukannya aku merasa takut seperti tadi tapi hatiku menjadi tenang sekarang, pelukannya lembut dan hangat. Sebuah kerinduan juga datang bersama dengan pelukannya, dan tanpa sadar aku berujar pada si Pemeluk ini.

"Tapikan jadi dokter itu harus berkuliah bukan? Sedangkan hal itu di larang bahkan sekarang aku di suruh untuk berhenti sekolah oleh Ayah, apa orang lumpuh tidak boleh memiliki mimpi? Andai aku masih bisa berjalan lagi" Kataku sedikit berbisik.

*

Aku masih mengenakan seragam putih abu dan sekarang aku hendak mengunjungi Awan ke pasar. Biasanya kalau sudah sore begini Awan tengah beristirahat di sebuah warung sambil menikmati secangkir kopi dan gorengan disana dan saat aku tiba Awan tengah tertidur lelap di atas kursi panjang kayu. Aku melirik saku celananya dan dompet anak ini hampir jatuh jadi aku mengambilnya, ini sangat berbahaya karena dompetnya terpampang jelas bagaimana kalau ada orang yang berniat jahat kemudian mengambilnya? Kan rugi.

Aku terperanjat kala Awan yang tadi masih tertidur pulas kini bangun dengan wajah lesu, saat sadar dan melihatku dia langsung tersenyum lebar hingga gigi-giginya terlihat, tapi maaf aku malah salah fokus dengan cabai yang menyelip diantara giginya.

"Kapan kau datang kesini?" Tanyanya

"Baru saja sampai" Lalu aku memberikan dompetnya "Kalau di tempat ramai apalagi ini pasar harus hati-hati menjaga barang berharga, takutnya di curi" Aku memberitahunya, Awan hanya mengangguk-angguk paham.

"Aku bawakan makanan siapa tahu kau belum makan" Aku memberikan rantang susun pada Awan yang berisi makanan untuknya, aku membelinya saat melakukan perjalanan ke mari.

"Memang sahabat terbaikku" Buru-buru ia membukanya dan mencium aroma makanannya, "Boleh aku makan?" Aku tersenyum, Awan terlebih dulu mencuci tangannya dengan air mineral yang ada di botol lalu ia berdo'a dan kemudian menggadonya dengan lahap.

Aku jadi memikirkan diri sendiri, apa yang harus aku lakukan ketika sudah tidak bersekolah lagi? Apa nasibku akan sama seperti sahabatku? Aku memikirkan mimpiku dan kalau sampai lenyap lagi sia-sia aku membeli dan membaca buku-buku itu.

"Jangan melamun nanti kerasukan" Seketika aku tersadar.

"Kau... sedang memikirkan Mawar ya?" Tukasnya, aku tak menjawab biarkan saja Awan beranggapan begitu.

Lumpuh || Masa RevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang