Pantai Pondok Putri, Juli 2024
Aku dan Awan mengunjungi sebuah pantai sederhana yang tidak banyak orang kunjungi seperti pantai tetangga, tidak terlalu jauh tapi perjalanannya memang agak menyiksa. Pasalnya, Awan mengajak ketika matahari sedang berada di puncaknya, Awan juga mengendarai motor secepat kilat dan sesekali menyalip mobil dan truk besar. Aku tahu Awan sangat mencintai Tuhan tapi ini bukan waktunya untuk pulang apalagi dengan mengajak teman, kan tidak lucu kalau kami berdua meninggal bersamaan.
Sebelumnya kami juga mengunjungi pantai ini saat masih SMP dulu, itu hari jumat ketika kelas 9, aku tidak ingat selebihnya apa yang jelas kami sampai sore disini dan pulang-pulang aku dimarahi habis-habisan oleh orangtuaku, kalau aku ingat kejadiannya memang lucu. Sedihnya, dulu aku masih berjalan namun sekarang tidak lagi, itu perbedaannya.
Awan menggendong tubuhku dan di dudukannya aku pada pasir, ombak kecil menerpa kaki-ku—aku merasa seolah kaki ini akan bergerak lagi, jika hal itu terjadi aku akan bangkit kemudian berlari untuk mengejar Awan dan bermain air dengannya. Aku ingat saat masih berusia 7 tahun dan ayah mengajak keluarga kecilnya kepantai lalu aku dan kakak bersaing untuk membangun istana pasir, ayah akan membantuku dan ibu akan membantu kakak, kami akan bermain air dan setelah itu makan bersama dengan ikan bakar.
Asu
Awan sialan, aku yang tengah melamun seketika sadar saat anak tengil itu menggebyur wajahku dengan air laut dan itu masuk kedalam mulutku, rasanya asin.
"Maaf-maaf," katanya menahan tawa.
Aku tidak tahu apa yang Awan lakukan ketika aku tengah melamun, sekujur tubuhnya basah seperti orang habis berenang, padahal aku yakin kalau dirinya hanya berlari-lari kesana kemari. Awan mengusap wajahku dan terkekeh kecil, lalu ikut duduk disamping kanan-ku.
Suasana sempat hening beberapa detik, Awan menghela napas dan menatap lautan luas itu. Terlihat menaruh harapan yang banyak pada sesuatu yang sudah jelas tidak akan pernah kembali, aku merasakannya, setiap kali membuka mata dan memulai kembali kehidupan aku selalu berharap bahwa akan melihat ibu saat aku melewati dapur, mungkin saja ini hanyalah sebuah mimpi dan dalam mimpi ini aku kehilangan sosok ibu, tapi sebenarnya ibu tengah menungguku untuk bangun dari tidur panjang.
Pahit sekali, aku belum menerima kenyataannya bahwa ibu memang sudah pergi. Karena terkadang aku masih suka merasakan kehadirannya, di dalam sebuah rumah yang kehangatannya sudah hilang, di sebuah kamar yang sekarang menjadi tempat untuk barang-barang tak terpakai, setiap kali aku merasa lelah akan dunia selalu aku mengunjungi kamar itu dan tenang akan datang dengan sendirinya, aku tidak akan mengeluarkan suara untuk bercerita sendiri pada ruangan penuh barang ini, aku hanya diam dan kadang menangis begitu saja.
Aku menoleh saat tiba-tiba Awan tertawa dengan sendirinya, "Kamu sakit, Wan? Kalau begitu kita pulang saja." Aku mengajak, tentunya sedikit bergurau. Aku juga khawatir kalau Awan terlalu lama menatap laut, pasti dia akan teringat terus dengan almarhum bapaknya, Awan akan berubah menjadi murung dan tersenyum getir lagi.
"Aku sedang membayangkan bapak, bagaimana kalau bapak sedang santai sambil meminum kopi dengan ikan-ikan? Dia akan menceritakan hidupnya dan sesekali tertawa karena ceritanya sendiri," Awan berhenti sejenak, "Mungkin memang aku harus merelakan bapak, karena pada akhirnya kita semua akan kembali dan menyatu dengan tanah."
Aku menepuk-nepuk pundaknya, lihat betapa kekarnya sahabatku. Aku yakin Awan adalah orang yang tidak mudah menyerah, di depan ibunya Awan selalu bersikap gagah dan melawak, sementara itu ketika denganku kelakuannya bisa berubah-ubah seperti orang yang punya kepribadian ganda.
"Aku tidak mau menghabiskan waktu libur ini dengan hal-hal yang membosankan, ayo berlomba."
"Lomba?"
"Ya. Ayo buat istana pasir dan tentu hal-hal yang dapat kita lakukan bersama-sama." Aku tersenyum, kami sama-sama membuat istana pasir dan ini mengingatkanku pada masa lalu, kalau dulu bersaing dengan kakak sekarang aku membuat istana bersama dengan sahabat. Awan itu bagai hadiah dari Tuhan untukku, aku tak henti-hentinya mengucapkan terimakasih karena telah menghadirkan seorang sahabat seperti Awan dalam hidupku.
Tidak banyak yang kami lakukan, hanya hal sederhana yang membuat kami tersenyum bahagia. Di dunia yang fana ini ada banyak hal yang sebenarnya ingin aku dan Awan lakukan, tapi saat aku pikirkan lagi keadaannya tidak memungkinkan bagi kami. Saat kami berdua masih kecil suka sekali membayangkan bagaimana jadinya ketika kami sudah dewasa nanti. Kami pasti punya banyak uang, hidup enak, dan lainnya. Tidak tahu saja kami dulu prosesnya seperti apa.
"Karam," panggilnya.
"Apa sesuatu yang sampai saat ini belum kau gapai dalam hidupmu?" Awan bertanya, aku diam sejenak sebelum menjawabnya. Selama hidupku tidak pernah tahu apa yang harus aku gapai, setelah cita-cita ingin menjadi tentara lenyap yang aku inginkan adalah hidup tenang dan bahagia.
"Entahlah. Untuk saat ini, aku hanya ingin hidup dalam ketenangan."
Awan mengangguk paham, kembali dalam kesunyian-nya. Matahari mulai turun dan langit menampakkan warna paling cantik, melihat senja memang paling indah saat berada di pantai dan para burung terbang menghiasai langit jingga itu.
"Seindah ini? Tapi kenapa hanya sesaat?" Awan bertanya.
"Kalau mau yang abadi, minta di surga nanti." Aku berseru.
Hari ini aku merasa cukup baik, semoga hari ini bisa terulang lagi. Namun, rasa semangat ku menghilang diganti kekhawatiran, besok adalah hari senin dan aku harus bersekolah seperti biasanya. Bulan depan aku akan melakukan kegiatan praktek kerja lapangan, mungkin aku akan melakukan kegiatan itu di TU sekolah, omong-omong aku mengambil jurusan perkantoran dan siswa laki-laki dikelas kami hanya ada 5 orang termasuk aku.
"Sebentar lagi gelap, ayo pulang!"
Awan kembali menggendongku, kami basah kuyup karena tadi kami juga sempat bermain air, tanganku pucat dan keriput. Angin malam terasa begitu dingin menusuk kulit, aku lupa membawa jaket begitu juga dengan Awan yang hanya memakai kaos lengan pendek, aku sempat berpikir untuk memberikan kemejaku pada Awan agar ia merasa lebih baik, tapi percuma juga kalau basah.
Minimnya kendaraan yang melewati jalan kecil ini membuatku menggidik ngeri, selain penerangan lampu motor yang kurang juga kanan-kiri kami adalah hutan, aku terus menundukkan kepala dan memeluk Awan dari belakang, bukan tanpa alasan karena saat ini aku merasa takut dan kedinginan, sepertinya Awan juga tidak keberatan.
"Lain kali kita akan pulang lebih awal!" Kata Awan, suaranya menyatu dengan angin malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lumpuh || Masa Revisi
Short Story[JANGAN DICOPY, HARGAI PENULISNYA] Bagi Karam, dirinya bagai manusia yang lahir kembali dengan keadaan cacat. Seumur hidup dihabiskan dengan duduk pada kursi roda, itu menyedihkan. Dalam mimpinya ketika tertidur, Karam selalu melihat dirinya mengena...