Pamanukan, 16 June 2024
Awan membantuku untuk turun dari angkot, kami berdua baru saja sampai pada tempat tujuan dimana tempat inilah yang akan menjadi lokasi untuk kami berdua menjadi pengamen, memang jaraknya lumayan jauh dari rumah. Ide ini dari Awan begitu juga bagaimana cara kami berpakaian, wajahku di buat sedekil mungkin dan baju Awan yang dibuat sedikit robek di area ketiaknya, aku mengerti tapi menurutku ini terlalu berlebihan lagipula tujuan kami adalah mengamen bukan menjadi gembel di daerah orang lain.
Jalanan cukup ramai penuh dengan kendaraan roda dua juga aku melihat beberapa truk pengangkut pasir dan pekerja proyek. Dengar-dengar juga di daerah ini sedang ada pembangunan jalan tol. Kami berdua mulai melangkah dengan Awan yang membantuku untuk mendorong kursi rodanya, aku pikir semua mata akan terus memperhatikan kami ternyata hanya ada beberapa dan mereka hanya melihat sekilas.
"Kau punya pilihan lagu untuk kita nyanyikan?" Awan bertanya—aku menggeleng tidak tahu, aku pikir dirinya sudah punya persiapan.
Awan menghentikan langkahnya. Kami berhenti di depan sebuah toko perhiasan, Awan mulai memetik senar pada gitarnya kemudian dia melirik padaku sembari tersenyum tipis, "Aku yakin kau tahu lagu ini."
Sedetik kemudian aku hafal dengan nadanya, aku juga tahu siapa yang menyanyikan lagu ini: Namanya Rio Clappy. Aku tidak menyangka akan menyanyikan lagu ini karena biasanya aku hanya menyanyikan dalam hati, kini kanan-kiri kami mulai melirik aku sedikit merasa canggung. Aku menghela napas mencoba menenangkan diri mencari kepercayaan diriku yang selama ini terlalu lama terkunci dalam kekosongan hati, aku mulai membuka mulut membiarkan suaraku terdengar bahkan oleh mereka yang berada di seberang jalan. Awan terlihat menikmatinya begitu juga aku yang mulai menghayati lagunya.
Satu-persatu orang yang berada disana mendekati kami, mereka memberikan uang memasukannya pada kaleng makanan Khong Guan berbentuk kotak yang aku pangku, semangat dalam hatiku semakin membara aku semakin percaya dengan suaraku sendiri. Setelah di rasa cukup Awan berhenti memainkan gitarnya dan aku juga, kemudian hal yang tidak terduga terjadi mereka semua bertepuk tangan dan seorang laki-laki berpakaian rapi mendekati kami dia bertepuk tangan sambil tersenyum ramah, lalu merogoh saku celana hitamnya dan memberikan selembar uang merah.
"Semangat ya, saya yakin kalian akan menjadi seseorang yang hebat suatu hari nanti. Dan kamu... " Dia beralih menatapku kemudian berjongkok, tangannya memegangi pundakku "Ada banyak orang yang menggunakan kursi roda seperti ini menjadi orang-orang yang hebat, mungkin kamu salah satunya, kakimu boleh lemah tapi hatimu harus kuat dan saya yakin itu."
Kemudian dia pergi, aku merasakan sebuah perbedaan saat mata kami bertemu. Bisa aku lihat bahwa laki-laki itu seorang yang berpendidikan juga hati yang baik, akan beruntung jika kita bisa bertemu lagi di tempat yang berbeda, aku harap begitu karena dipertemuan pertama ini aku merasakan sebuah perbedaan dengannya.
"Baiknya dia... Hari pertama sudah dapat cepek, Ram" Kata Awan kegirangan.
Kini kami berdua menyusuri jalan veteran, tidak banyak pedagang dan cukup sepi suasananya, setiap warung yang dijumpai kami singgahi dan tentu saja uang selalu kami dapatkan walaupun receh. Dan akhirnya kami sampai pada ujung jalannya, di depan kami ada sebuah jalan lagi: Sebuah jalan layang dan di seberangnya itu ada bangunan-bangunan dan perumahan. Karena hari mulai panas kami berdua berbalik dan mampir di warung kecil yang berjualan bakso dan mi ayam.
Kami istirahat sebentar disini sambil mengisi perut yang terus bersuara sejak tadi. Aku terus memperhatikan Awan yang makan dengan lahap, satu mangkok yang berisi bakso itu ia habiskan dengan cepat dan bahkan sekarang dirinya memesan satu porsi mi ayam, "Kau mau mi ayam?" Tanyanya.
"Ini juga belum habis" Kataku—Awan mengangguk dengan bibir yang di bulatkan.
Setelah dirasa cukup waktu istirahatnya kami berdua melanjutkan perjalanan lagi, menyusuri setiap sudut daerah ini, menyumbangkan berbagai lagu-lagu berbau galau dan romantis ala-ala generasi Z. Sampai langitnya sudah mulai berwarna jingga di barengi dengan suara merdu dari arah masjid—sudah magrib. Kami berdua kembali ke tempat awal saat pertama kali sampai kemari.
Aku mengangkat kaleng berwarna merah ini dan ternyata cukup berat, tidak menyangka hari pertama dan pengalaman baru membuahkan hasil yang cukup banyak, tubuhku terasa lengket karena keringat rasanya ingin cepat-cepat pulang dan membersihkan diri. Awan sedari tadi sibuk sendiri, ia melihat kanan-kiri seperti sedang mencari tumpangan untuk kita pulang lalu ia menoleh kepadaku sambil menyengir.
Selang beberapa saat sebuah angkot muncul namun tidak ada penumpang di dalamnya, aku lihat Awan mengobrol dengan supirnya. Bukankah ini adalah angkot yang kami tumpangi tadi pagi? Kemudian Awan membantuku untuk naik, aku tidak tahu apa yang terjadi tapi setelahnya Awan mengambil dua lembar uang berwarna merah dia tidak mengatakan apa-apa dan aku juga hanya diam lagipula semua uang ini hasil dari kita berdua. Dari jendela aku merasakan angin malam dan langit itu lagi-lagi tidak ada bintang yang berpendar untuk menghiasinya.
Ternyata perjalanan pulang tidak cukup memakan waktu lama, kami sampai dan angkotnya berhenti di gapura masuk desa kami, lalu Awan memberikan semua uang itu pada sang supir, "Terimakasih ya, Pak" Katanya dan kami berdua turun.
"Uang itu untuk kau semuanya, untuk melunasi biaya sekolahmu."
"Mana mungkin... Kita bagi dua kan ini hasil kita berdua."
"Tidak apa-apa, kau lebih butuh uang itu kalau aku masih ada simpanan" Kata Awan tersenyum, bukan seperti ini caranya. Aku tidak mau kalau uang ini hanya aku saja yang menikmati, setelah mengantarkan ku pulang langkahnya aku cegat aku memberikannya segenggam uang yang aku sendiri tidak tahu jumlahnya.
"Kalau kau menolak ini berarti kau sudah menolak rezeki."
"Bukan begitu, Ram-"
"Terima" Merasa ada paksaan Awan mengambil uangnya. Awan lalu berlari untuk pulang kerumahnya dan di waktu yang bersamaan pula Abang datang, di tangannya itu ia membawa sebotol minuman keras dan saat melihatku langsung ia sembunyikan di belakang punggungnya.
"Abang darimana?" Tanyaku
"Berisik! Seharusnya aku yang bertanya kau habis darimana jam segini baru pulang?" Aku tidak menjawab.
"Kau ini tuli, Ram? Sudah lumpuh di tambah tuli lagi, betul-betul anak tuna yang memang pantas mati kau ini" Kata Abang dengan nada tinggi, sudah lama kami berdua tak saling berbincang dan beginilah awal kami mulai berbincang lagi. Kalau sudah begini awalnya bagaimana dengan seterusnya? Aku sedikit ragu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lumpuh || Masa Revisi
Short Story[JANGAN DICOPY, HARGAI PENULISNYA] Bagi Karam, dirinya bagai manusia yang lahir kembali dengan keadaan cacat. Seumur hidup dihabiskan dengan duduk pada kursi roda, itu menyedihkan. Dalam mimpinya ketika tertidur, Karam selalu melihat dirinya mengena...