XIV

28 19 4
                                    

Berkali-kali aku mengatakan sial dalam hati karena aku merasa tidak nyaman dengan Baron dan teman-temannya, bahkan aku baru mengetahui kalau Abang mengenal mereka. Oh, telingaku terasa sakit karena suara musik yang mereka nyalakan (musik brisik yang aneh) dengan kencangnya, terdengar berantakan seperti orang-orang yang sekarang tengah beradu geol di depanku.

Aku seperti patung yang berada ditengah-tengah Baron dan Janu yang saling melempar tawa, aku sedikit menjauhkan diri dari Janu karena aku merasa aneh dengannya, kalau aku amati Janu suka sekali menjilati bibirnya dan menatapku dengan tatapan yang... ah sudahlah, semoga saja Janu laki-laki normal.

Aku menoleh ketika Janu mencolek lenganku dan tersenyum tipis, "Kau punya pacar?" Tanyanya dan mendekatkan kepalanya.

"Kalau punya kenapa?" Tanyaku.

"Ah bukan apa-apa, lagipula, kau harus sadar diri untuk coba mencintai seseorang. Maaf kalau mulutku lancang" Kata Janu—masih dengan senyumannya yang mencurigakan.

Aku menghela napas berat, "Benar-benar harus pergi, aku ada urusan penting!" Kataku pada Baron, aku harus pergi kekantor pos untuk mengirimkan surat ini pada Mawar, "Urusan apa? Tinggal-lah lebih lama lagi, paling urusanmu tidak terlalu penting. Tapi kalau memang mendesak pergi saja, tidak apa" Kata Baron memalingkan wajahnya malas, aku segera menggapai kursi rodaku dengan Janu yang membantunya.

ASU!

Apa itu barusan? Aku merasakan sebuah tangan dengan mudahnya menyentuh puting ku dan mencubitnya, Janu sialan.

"Eh maafkan aku, pasti itu tidak sengaja" Katanya, Janu ini seperti manusia gayang.

Aku tidak membalas perkataannya, buru-buru aku keluar dari gudang ini, rasanya lega saat berhasil keluar dari dalam sana. Apakah kantor pos masih buka jam segini? Kalau saja Raul dan Abang tidak memaksa, atau aku saja yang tidak bisa menolak permintaan mereka, bodohnya.

Jalanan cukup ramai yang dipenuhi oleh kendaraan roda dua, aku menggerakkan roda dengan cepat menggunakan tanganku, semoga saja kantor pos belum tutup karena aku ingin sekali surat ini bisa tersampaikan pada Mawar. Apa yang sedang gadis itu lakukan? Aku selalu membayangkan senyumannya itu, matanya yang selalu bersinar dan betapa mulusnya kulit gadis itu.

Sungguh usaha yang sia-sia, kemana orang-orang yang biasanya bekerja di kantor pos ini? Ini lebih mirip tempat kosong atau terbengkalai, "Mau mengirim surat, Mas?" Aku mengangguk saat seorang pria paruh baya bertanya dan tersenyum ramah.

"Saya juga mau mengirim surat dari kemarin. Tapi, katanya kantor pos ini tutup untuk beberapa hari," Katanya, kalau seperti ini kapan surat yang aku tulis bisa sampai kepada Mawar? "Saya juga kurang tahu alasannya kenapa" Lanjutnya.

"Terimakasih, Pak. Saya permisi" Aku pamit dan dibalas dengan anggukan kepalanya, aku pulang dengan perasaan kecewa. Di teras rumah Abang menyambut kedatanganku, aku mencoba untuk menghindarinya karena terus melemparkan pertanyaan dan aku sedang tidak ingin mengobrol dengan siapapun.

"Jumat ini Baron mengajakmu ke suatu tempat. Kenapa? Ada masalah?"

"Tidak ada" Jawabku malas.

"Kau harus bahagia dalam hidupmu, jangan terlalu banyak bersedih. Karena aku takut kau mati dalam keadaan menyesal karena belum pernah tertawa lepas dan merasakan sebuah kebahagiaan," Aku menghentikan langkahku, "Hidupmu jadi hancur setelah lumpuh."

Air mataku meluncur lagi membasahi pipi, Abang melewati ku begitu saja. Kalau aku boleh jujur aku akan mengatakan kepada mereka yang sekarang meminta maaf kepadaku, kalian juga membuatku hancur saat itu dan sekarang kalian meminta maaf kemudian bersikap seolah-olah peduli terhadap anak tuna ini. Aku terkurung dalam bingung dengan gamit-gamitan mereka, apakah permintaan maaf itu tulus atau tidak? Tapi aku juga bersyukur karena pasti mereka akan berhenti menggangguku dan anak-anak lain, entahlah.

"Manusia itu suka membuat bidah, kau percaya pada perkataan manusia? Sungguh, manusia itu lebih kejam daripada iblis."

Suara si Pemeluk itu berbisik pada telingaku, meskipun sedikit ambigu. Suasana hati apakah yang sedang aku rasakan ini? Aku ingin segera surat ini tersampaikan pada Mawar, apa perlu aku bacakan ditengah-tengah angin yang berhembus lembut supaya ia menyampaikan suaraku atau suara surat ini kepada Mawar. Tiba-tiba saja ingin bertemu dengan Awan juga, aku ingin menceritakan sesuatu padanya, aku akan bercerita dengan acak agar Awan tidak mengerti dan kesal kemudian dia akan memukul lenganku dan kami tertawa bersama.

In another life
I would make you stay
So I don't have to say
You were the one that got away
The one that got away

Ma... Aku lelah jika terus seperti ini seumur hidupku, kalau bisa berjalan pasti tanganku tidak akan terasa nyeri karena terus menggerakkan roda ini, pasti aku tidak kesulitan untuk menggapai buku di rak tinggi pada perpustakaan, aku tidak akan disebut anak tuna atau semacamnya.

"Karam, mengapa kau begitu terdayuh? Bersabarlah, jangan lengkungkan sudut bibirmu kebawah, seseorang mungkin tengah menunggu kedatanganmu di suatu tempat, kau juga pasti akan bahagia saat bertemu dengannya, bukan begitu?"

"Siapa? Mungkin Mawar tengah menunggu suratku?" Aku bertanya, namun tidak ada balasan lagi darinya.

Apakah pemeluk ini nyata? Atau hanya sebuah halusinasi ku saja, suaranya ketika berbicara begitu jelas terdengar dalam telinga, suaranya yang lembut dan menenangkan dan pelukannya juga menghangatkan. Hari semakin malam dan aku membiarkan gelap menutupi kamarku, aku menatap amplop surat itu diatas meja, aku memutar banyak lagu tapi hanya samar-samar aku bisa mendengarnya.

She told me in the morning
She don't feel the same about us in her bones
It seems to me that when I die
These words will be written on my stone

"Aku selalu kagum denganmu, Mawar. Kau gadis yang pintar juga hebat" Suatu hari aku ada kesempatan untuk berbincang dengan Mawar, hanya ada kami berdua didalam kelas hari itu.

Mawar melirikku sekilas kemudian menutup bukunya dan meletakan pulpennya, ia berganti menatapku dengan lama. "Aku selalu kagum denganmu, Karam. Kau punya semangat dalam mengenyam pendidikan dan sangat percaya diri bahwa mimpimu akan menjadi kenyataan" Kata Mawar membuatku malu, Mawar terkekeh kecil.

"Kalau boleh bertanya, apa yang membuatmu begitu semangat? Mungkin ada seseorang di belakangmu yang selalu menyemangati mu."

"Mama," Jawabku langsung. "Mama pernah berkata; Jangan mudah menyerah hanya karena mulut manusia, begitulah. Aku ingin menunjukkan padanya kalau aku bisa walaupun aku lumpuh, tapi kadang aku merasa seperti semua itu hanya mimpi belaka yang selalu aku dambakan."

"Setiap manusia harus punya mimpi atau tujuan. Orang berpandangan bahwa melakukannya mudah, tapi sulit menjalani secara konsisten" Ucap Mawar.

Lumpuh || Masa RevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang