Mawar mengobati setiap luka kecil di wajahku dengan telaten, wajah kami begitu dekat hingga napas gadis itu mampu ku rasakan, aku sudah berganti pakaian dengan kaos olahraga rambutku juga basah karena tadi aku di suruh Mawar untuk mandi terlebih dulu di toilet sekolah karena kalau tidak badanku akan bau air comberan seharian. Rasa perih yang aku rasa tidak sebesar apa yang sedang aku rasakan sekarang, jantungku berdegup kencang, aku menelan ludah mencoba terlihat biasa saja karena tidak sanggup akhirnya aku memalingkan wajah secara tiba-tiba membuat Mawar kebingungan.
"Ada apa?"
"Tidak ada"
"Coba aku lihat lagi" Kedua tangannya menyentuh wajahku, lalu ditiupnya wajahku dengan lembut. Sungguh aku merasa lemas karena tidak bisa mengontrol diri, perlakuan Mawar hari ini mampu membuatku semakin berkeringat dingin.
"Sudah selesai. Tapi, kau baik-baik saja kan?" Tanyanya menatapku khawatir dan aku hanya memberikan senyuman idiot sebagai jawaban. Aku memalingkan wajah lagi mencoba untuk mengatur napas ku supaya teratur, Mawar kembali dengan kesibukannya membereskan kotak P3K dan menaruhnya di tempat semula—kami sedang berada di ruang UKS dan sekolah sudah bubar sejak tadi. Aku memperhatikannya dari belakang, rambutnya hitam dan bergelombang sangat indah kalau terurai. Ah, rasanya mulutku gatal ingin mengatakan sesuatu padanya.
Setelahnya Mawar terduduk di atas bangsal merapikan alat sekolahnya, mataku tidak bisa berhenti untuk menatapnya lebih lama lagi, cahaya matahari sore menembus ruangan, mudah sekali cahaya ini masuk kedalam seandainya aku juga bisa dengan mudah masuk kedalam hati Mawar.
"Mawar!" Aku memanggilnya dengan nada tinggi, Mawar tersentak begitu juga aku karena aku tidak bermaksud untuk seperti itu.
"Ya?" Mawar memiringkan kepalanya.
"Tidak apa-apa, aku hanya ingin memanggil" Kataku grogi. Sial, aku memang tidak terlalu pandai dalam hal seperti ini. Aku mengurungkan niatku lagi untuk mengatakan kalau 'Aku mencintaimu, Mawar.' Apa lebih baik tidak dikatakan karena Mawar adalah gadis cantik dan menurutku dia sempurna mana mungkin akan menerima cinta manusia lumpuh sepertiku.
"Sudah sore ayo kita pulang, biar aku antarkan ya" Mawar tersenyum dan matanya juga ikut tersenyum, lagi-lagi gadis ini membuatku semakin jatuh cinta, kalau cinta dalam hatiku sudah penuh begini akan ditampung dimana nanti? Memang hatinya masih kosong untuk aku isi? Kalau begitu biarkan takdir yang menjawabnya.
Perjalanan pulang hari ini berbeda dari hari-hari sebelumnya yang biasanya aku sendiri kini ditemani oleh seseorang yang aku anggap hadiah dari Tuhan untukku, senja menjadi salah satu keindahan juga karena menghiasi perjalanan pulang kami, selain hal buruk yang tidak ada dalam kalender hal baik juga selalu datang secara mendadak.
"Aku harap kau selalu bahagia, Karam. Kau itu seperti bulan di malam hari, tau kau kenapa?" Dia bertanya aku menggeleng.
"Memangnya kenapa aku seperti bulan?"
"Kau juga tahu kalau bulan itu adalah hiasan malam sama seperti bintang tapi bulan lebih besar dan bercahaya. Begitulah aku melihat dirimu jika dibandingkan dengan yang lain" Aku tersenyum, mungkin pipiku berwarna merah sekarang. Dan menurutku ada sesuatu yang jauh lebih indah selain senja—dia adalah Mawar seorang gadis yang berhasil membuatku jatuh cinta, aku tidak tahu kapan keberanian itu datang, setiap kali bersama Mawar hatiku terasa sesak karena ada sesuatu yang belum aku katakan padanya dengan jujur.
*
Malam ini air turun dari langit dengan derasnya membasahi bumi yang kering, apakah bumi merasakan kenyamanannya? Air itu membuat bumi merasa lebih baik dari sebelumnya, yang tadinya retak mungkin bisa kembali bersatu. Lalu bagaimana denganku? Adakah seseorang yang mampu menyatukan hatiku yang retak juga biar tidak merasakan sakit, namun percuma juga kalau ujung-ujungnya pasti akan hancur lagi. Aku menatap langit yang kosong dan gelap itu, merindukan seseorang yang sudah selesai dengan kehidupannya—Mama.
Aku pernah membaca salah satu postingan, disana tertulis sebuah kalimat seperti ini: "Harap tenang... Sedang ada ujian". Kemudian, Guru itu melanjutkan perkataannya: "Yang sudah selesai boleh pulang."
Kalian mungkin tahu tentang makna itu, bukan soal keributan di dalam kelas, bukan soal ujian sekolah, bukan juga soal selesainya ujian sekolah yang kalian kerjakan.
Ah, aku melupakan salah satu masalah yang belum aku selesaikan. Aku menoleh pada Awan dia menutup matanya dan aku tahu anak itu bukan sedang tertidur, dia bahkan bersenandung kecil. Kalau saja kaki ku bisa sembuh akan ku bawa mereka untuk mencari uang, sekarang aku membutuhkan uang untuk melunasi biaya sekolahku, karena kalau bukan aku yang mencarinya sendiri siapa lagi? Tidak ada.
"Wan? Bagaimana caranya supaya bisa dapat uang banyak?" Tanyaku
"Gigolo" Jawab Awan seenak jidat, aku melemparkan botol plastik yang masih berisi air tepat di wajahnya, membuatnya seketika terbangun dan terduduk dengan wajah merengut.
"Aku serius ini, aku butuh uang untuk melunasi biaya sekolah" Kataku dengan wajah serius.
"Kan ada ayahmu"
"Ayah tidak mau membiayai sekolahku lagi, katanya untuk apa membiayai sekolah anak lumpuh sepertiku."
Diam. Itulah yang dilakukan Awan setelah mendengar pemaparan ku, aku bukan sedang bercanda tapi serius, "Tapi kenapa ayahmu tidak mau membiayai sekolahmu lagi? Kan kau juga anaknya" Aku menghela aku tidak akan mengulangi perkataan ku lagi, Awan memegangi dagunya sekarang dia seperti seorang bomoh yang sedang mencari solusi untuk pasiennya, memang kadang kelakuannya di luar nalar dan aneh.
"Bagaimana kalau dengan mengamen?"
"Mengamen?"
"Suaramu kan bagus sedangkan aku jago dalam bermain gitar. Kita bisa jadi duo pengamen jalanan yang keren" Suaranya terdengar bangga, aku akui kalau Awan memang hebat dalam memainkan alat musik berdawai itu. Kalau untuk suaraku—aku sedikit meragukannya.
"Entahlah-"
"Berarti kau mau jadi gigolo?" Aku menggeleng cepat ada rasa gatal di tangan ini yang ingin menoyor kepalanya.
"Ya sudah kita akan coba untuk mengamen, kan kalau dapat uang bisa untuk melunasi biaya sekolahmu."
Mengamen. Mungkin tidak ada salahnya mencoba pengalaman baru, "Kalau aku perhatikan ayahmu sekarang jarang pulang, Ram. Abang kau juga sepertinya tidak betah dirumah."
Lagi-lagi aku tidak bisa membalas pernyataannya, rumah sekarang memang menjadi sepi dan dingin. Keasrian keluarga ku dulu sudah menghilang diganti tajam, aku juga tidak tahu harus membesutnya bagaimana yang pasti hatiku selalu berharap akan ada perubahan baik yang datang, bukankah hal baik selalu datang belakangan? Manusia hanya harus bersabar. Tapi sejujurnya, aku adalah manusia yang kesabarannya setipis graphene.
Setiap malam, kenangan terindah selalu berputar. Berjuta-juta kata rindu selalu aku katakan dalam hati.
Masa lalu memang selalu penuh keindahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lumpuh || Masa Revisi
Short Story[JANGAN DICOPY, HARGAI PENULISNYA] Bagi Karam, dirinya bagai manusia yang lahir kembali dengan keadaan cacat. Seumur hidup dihabiskan dengan duduk pada kursi roda, itu menyedihkan. Dalam mimpinya ketika tertidur, Karam selalu melihat dirinya mengena...