IV

116 52 3
                                    

Aku keluar dari ruang guru menghela napas panjang dan kebingungan memenuhi isi kepalaku. Aku menjalankan kursi roda menuju kebelakang sekolah hendak menenangkan pikiran di sebuah tempat dimana ada pohon besar tumbuh—sebuah pohon beringin yang besar dan tinggi seperti mimpiku. Tidak begitu ramai disini yang aku lihat hanya beberapa orang sedang menjalin kisah asmara mereka, tentu tempat sepi di belakang sekolah selalu cocok untuk berduaan dan yang ketiga diantara mereka adalah setan, aku menghiraukan mereka kembali dengan diriku sendiri.

Aku memejamkan mata merasakan semilir angin yang berhembus menyentuh setiap kulitku mencoba untuk menenangkan hati dan pikiran, saat di ruang guru tadi aku di tagih soal uang infak yang belum aku lunasi sampai sekarang, coba apa yang harus aku lakukan? Ayah tidak mau membiayai sekolahku lagi, masa aku harus meminjam uang dulu kepada pamanku, kan beliau juga sedang membiayai anaknya sekolah dan terlalu malu aku untuk meminta bantuan kepadanya karena sudah terlalu sering dan aku tidak tahu harus membalas apa.

Setelah beberapa saat aku memejamkan mata ketenangan datang bersama si Pemeluk yang ternyata juga ada disini memelukku dengan halus. Karena penasaran aku buru-buru membuka mata hendak melihat wujudnya tapi di waktu yang bersamaan pula si Pemeluk juga pergi entah kemana, yang ada di bayanganku dia merupakan sosok halus dengan pakaian serba putih dan punya aroma wangi yang melekat, selalu datang saat aku merasa sendiri atau sedang sendirian.

Di tengah rasa penasaran ini semuanya jadi kacau karena wajahku yang mendadak di lempari se-plastik sampah kotor dengan bau air comberan, karena itu juga seragamku jadi basah dan berwarna keruh karena airnya. Tidak ada orang lain yang berani melakukan ini kecuali Baron, kenapa bocah ini selalu datang dan merusak ketenangan ku? Aku sedang tidak ingin mencari keributan, adakah satu hari saja aku terhindar dari gangguan Baron dan kawan-kawannya, hanya satu hari.

"Dasar lumpuh tidak berguna. Pasti kau iri melihat mereka yang sedang berduaan disini, makanya jangan lumpuh biar bisa dapat pacar" Katanya dengan nada yang sombong, aku lebih baik pergi dari sini daripada harus meladeni Baron yang terus meracau tanpa henti, tapi teman-temannya menghalangi jalanku untuk pergi.

"Tolong minggir!" Kataku tegas, tapi mereka memang orang-orang yang telinganya perlu di bersihkan, "Aku tidak mau mencari keributan, tidak bisakah kalian membiarkanku hidup tenang di sekolah?" Aku bertanya, mereka malah saling melempar pandang kemudian tertawa meremeh, anak-anak seperti mereka ini memang sulit untuk di rubah dengan cara yang baik, dan kalaupun dengan cara yang sama kasarnya mereka akan semakin menjadi-jadi.

Baron mencengkeram seragamku matanya menatap tajam kepadaku terlihat penuh kebencian terhadap diriku, "Tentu kami akan berhenti mengganggu kalau kau sudah mati dan hilang dari pandangan kami" Katanya dan melepaskan tangannya dengan kasar, kemudian dia melanjutkan lagi "Sayangnya kau belum mati, terlalu betah nyawamu itu pada ragamu."

Lalu salah satu dari mereka mendekat dan mendengus-dengus kemudian menutup hidungnya dengan ekspresi wajah jijik, "Bau busuk ya?" Dia bertanya kepada yang lain "Hei! Kan kakimu itu sudah tidak bisa berjalan bagaimana kalau di amputasi saja."

"Betul itu, lagipula kaki itu untuk berjalan bukan untuk pajangan" Seru yang lain, karena suara mereka keras—itu mengundang banyak mata untuk menonton aku yang lagi-lagi menjadi agroikos⁶ Baron dan yang lain.

Dan kemudian satu tamparan keras aku terima dari Baron, pipi-ku terasa nyeri dan perih dan itu ia lakukan beberapa kali di kedua sisi wajahku, anehnya aku malah diam menikmati rasa sakit yang semakin bertambah. Karena kalaupun aku melawan akan batil apalagi posisi ini mengharuskan aku untuk pasrah dan tak berdaya, semua orang yang ada disini yang menyaksikan semua ini juga hanya akan menonton tanpa ada niat untuk membantu.

Kini aku merasakan darah mengalir pada sudut bibir, "Mati kau mati! semoga kau mati pada hari yang paling membahagiakan dalam hidupmu!" Kata Baron terus mencecarku. Sekarang aku jatuh, terduduk di atas rerumputan memandang kursi roda yang berguling, aku merasa pusing. Hari sial memang tidak ada dalam kalender, setengah sadar aku mendongak pada Baron yang mendelik—sorot matanya penuh api dan aku tertawa, "Sudah gila kau?" Dia bertanya dengan wajah heran.

"Aku kasihan kepada kalian semua, sibuk mencari-cari kelemahan orang lain padahal hidup kalian sudah lebih nikmat di bandingkan denganku, kalian masih bisa berjalan untuk apa mengurusi aku, kenapa tidak kalian pikirkan masa depan kalian saja yang lebih penting daripada mengolok-olok orang lain" Papar-ku. Namun yang terjadi bukan seperti dugaan ku, Baron membanting kayu ditangannya dan dia kembali menyerang ku—mencekik leherku dengan tangan kekarnya.

"Dengar kau baik-baik" Suaranya serak dan pelan "Yang harus kau pikirkan adalah masa depanmu, kalau aku sudah jelas akan meneruskan bisnis Papa. Sedangkan kau? Saudaramu saja tidak perduli. Kau orang lumpuh yang miskin, memangnya dengan modal otak cerdas akan membawamu dalam kesuksesan? Uang dan kekuasaan bisa mengalahkannya."

Aku tak dapat membalas ucapannya, benar juga kata Baron, sekarang bisa menjadi apapun dengan kekuatan uang.

"Lancang betul moncongmu itu anak sundal⁷. Sudah merasa sempurna kau menjadi manusia?" Itu adalah suara Mawar yang datang dari arah lapangan, perkiraan ku anak ini mungkin baru selesai dari kelas olahraganya; karena dia masih memakai kaos dan rambutnya di kuncir kuda.

Baron melepaskan tangannya dan sekarang anak itu berdiri tegap berhadapan dengan Mawar, tanpa memberikan aba-aba gadis itu langsung memukul wajah Baron dengan tangan kecilnya dan berhasil membuat Baron hampir terjatuh. Tapi Baron tidak membalas pukulan itu mungkin sadar karena Mawar adalah seorang perempuan, "Kalau bukan karena kau perempuan sudah mati kau hari ini" Ancamnya.

"Enyah kau dari sini! Dasar pecundang, anak setan, bincacak, keparat, semburit!" Seru Mawar untuk mengusir makhluk bernama Baron. Aku bisa melihat kekalahan Baron di tangan seorang gadis itu.

"Cantik-cantik mulutnya kotor" Pungkas Baron dan sekarang ia bersama teman-temannya itu pergi begitu juga dengan mereka yang keasikan menonton tadi meninggalkan aku dan Mawar. Mawar membantu menegakkan kursi rodanya dan aku untuk duduk di atasnya. Aku jadi merasa malu, seharusnya laki-laki yang melindungi perempuan bukan malah sebaliknya.

"Mereka kurang ajar, mereka merasa sempurna padahal hati mereka cacat" Kata Mawar mengepalkan tangannya.

"Terimakasih sudah menolongku, Mawar" Kataku—menatapnya dalam.

"Sudah seharusnya" Katanya tersenyum manis, beruntungnya aku mengenal dirimu.

——————————————————

VI. Agroikos: pelaku yang berperan sebagai pemain yang menjadi bulan-bulanan atau bahan tertawaan
VII. Anak Sundal: anak haram

Lumpuh || Masa RevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang