3

152 60 16
                                    

Seperti biasa pada jam istirahat aku sendirian di dalam kelas yang hening ini, tidak ada yang akan mengajakku untuk pergi ke kantin atau hanya sekedar keluar kelas untuk mencari angin, dan tidak mungkin aku akan mendapatkannya kecuali saat aku akan menjadi bulan-bulanan mereka. Aku menoleh saat mendengar suara ricuh di luar kelas dan dari jendela aku bisa melihat Abangku bersama kawan-kawannya yang lain berjalan melewati kelasku, Abang melihat kedalam dan kami sempat kontak mata tapi wajahnya acuh tak acuh kepadaku, di sekolah kami seperti orang asing. Aku sudah beberapa kali juga menyapanya tapi tak pernah ia gubris, malu mungkin punya saudara lumpuh sepertiku.

Dan saat itu juga seorang gadis cantik yang tadi malam kami bahas muncul. Dia tertawa penuh kegembiraan dengan temannya, cantiknya semakin bertambah bagai seorang putri dari negeri dongeng, senyumannya semanis buah ceri. Mataku terus mengikutinya kemudian ia menghilang-aku tersenyum karena salah tingkah. Omong-omong kami saling mengenal memang hanya saja gadis itu tidak tahu bagaimana perasaanku padanya, yang jelas kami hanya sebatas teman.

Aku masih senyum-senyum sendiri sampai akhirnya senyuman itu berubah menjadi diam karena malu. "Aduh, jangan sampai di kelas kita ada orang lumpuh yang gila!" Suara seseorang, aku tau dia menyindirku. Mereka tertawa bersama dan untuk mengalihkannya aku mengambil sebuah buku kemudian membacanya.

"Ini alasannya kenapa kita harus mencari laki-laki yang sempurna untuk di jadikan suami, supaya bisa bekerja dan berguna. Coba bayangkan bagaimana jadinya kalau kita menikah dengan laki-laki lumpuh, masa iya seumur hidup cuman makan cinta" Paparnya, mereka kembali tertawa lagi. Aku tak menggubris karena yang mengontrol mulut mereka bukan aku ataupun orang lain tapi diri mereka sendiri.

"Selamat siang semuanya, tolong ucapkan selamat ulangtahun padaku" Aku mengintip dari balik buku dan saat aku lihat itu adalah Baron, di belakangnya itu para siswa bergerombol dan beberapa dari mereka ada yang merekam. Baron membawa kue berukuran sedang di tangannya dengan lima lilin yang menyala. Matanya melirik dengan sinis lalu tersenyum aku tidak tahu maksudnya apa tapi, "Di hari yang membahagiakan ini aku akan bersenang-senang begitu juga kalian."

Baron mulai melangkahkan kakinya dia menghampiriku dan menggebrak meja dengan tangan kekarnya lalu menaruh kue itu di meja, kini ia merebut buku yang sedang aku pegang dan membolak-balik-nya dengan wajah serius.

"Buku tidak berguna seperti ini untuk apa kau baca? Mau jadi manusia pintar? Tetap dongo kau monyet!" Sungutnya dan sekarang dia meludahi ku dengan air liurnya dan itu tepat di area wajahku, cepat-cepat aku mengusapnya karena jijik. Orang-orang yang berada di sini malah bersorak-sorai gembira, Baron melirik teman-temannya yang berdiri di pintu kelas memberikan isyarat kepada mereka, mereka datang dan dua orang darinya memegangi tanganku begitu erat. Aku melihat Baron mencabut satu lilin dari kue tersebut dan meniup yang lainnya dan ia mengambil segenggam kue kemudian di paksa-nya aku untuk memakan kue itu.

"Kenapa kau lakukan ini padaku, Baron?" Tanyaku, ini bukan sekali dua kali tapi sudah kesekian kalinya dan bahkan aku sudah melaporkannya ke pihak sekolah tapi satu guru pun tidak ada yang membelaku sama sekali, orangtua Baron juga menganggapnya hanya sebuah gurauan anak-anak remaja, tapi menurutku ini bukan gurauan atau semacamnya tapi sebuah kecu⁴ yang sudah melebihi batas dan aku akui bukan aku saja korbannya tapi banyak dan dari semua korban itu tidak ada yang berani bersuara membela diri mereka, dan sekarang aku tahu alasannya.

"Sshhttt" Jari telunjuknya menyentuh bibirku supaya aku diam, aku bisa tahu apa yang akan anak ini lakukan.

"Jangan, Ron!" Suaraku memekik kecil tapi sepertinya telinga anak ini di sumbat. Lilin kecil yang apinya masih menyala itu ia dekatkan apinya pada salah satu jariku, sakit. Sekali lagi aku bersuara menyuruhnya untuk berhenti tapi Baron tidak mendengarnya, seperti orang yang sedang memanggang daging dan jariku itulah dagingnya. Aku mencoba bergerak melepaskan diri tapi semua itu terasa sia-sia, mereka semua yang menyaksikan semua itu juga hanya berdiam diri di tempatnya masing-masing, mereka sibuk merekam. Setelahnya teman-teman Baron melepaskanku dan kembali aku dengar mereka semua bersorak kegirangan.

"Nah, sekarang aku sudah membuat sebuah karya yang akan di kenang sampai kita lulus" Katanya

"Ayo pergi," Ajak Baron-mereka semua bubar sambil mendecak sebal karena tak bisa lagi menyaksikan sebuah pertunjukan kelinci yang sedang di siksa dan mampu ku dengar Baron berbicara sambil berjalan "Aku berharap anak tuna itu mati, akan menyenangkan kalau di hari ulangtahun ku ini" Yang lain juga ikut menimpali.

Aku menyentuh wajahku yang berminyak karena krim kue, buku yang tadi aku baca jatuh ke lantai sekarang kusut karena terinjak-injak. Aku mengambilnya dan membersihkannya, saat kepalaku mendongak dari arah pintu kelas aku melihat Abangku lagi, berdiri tegap disana dengan sorot mata yang lebih tajam. Kalau dia ada disini kenapa hanya diam saja saat saudaranya di tindas? Atau mungkin dia perduli tapi terlalu gengsi untuk menunjukkannya. Kemudian aku memberikannya senyuman sebagai jawaban kalau aku baik-baik saja, siapa tau memang Abang mengkhawatirkan-ku.

Abang tak membalas malah enyah begitu saja, ekspresinya selalu datar dan dingin ketika denganku berbeda saat dengan teman-temannya. Aku tidak tahu kenapa, sekarang aku sedang berusaha untuk memperbaikinya juga biar persaudaraan kami seperti dulu lagi. Kembali aku membersihkan buku dan mejanya juga area sekitar yang berantakan, Baron itu memang pengacau begitu setiap hari kelakuannya, entah punya apa anak ini di belakangnya sampai-sampai kesalahannya saja di tutupi pihak sekolah dan yang lebih gila lagi nilainya selalu lebih tinggi dan berada di peringkat kedua, padahal kenyataannya dia beloh⁵ dan nakal.

"Kau tak melawan mereka?" Suara itu, suara lembut yang aku sendiri sudah hafal betul siapa pemiliknya. Namanya Mawar gadis cantik bak putri dari negeri dongeng ini, dia menatapku penuh arti lalu membuang wajahnya malas.

"Kan aku sudah melawan kau juga tahu itu, tapi apa hasilnya?" Aku bertanya, dia menatapku dan sekarang aku yang mengalihkan pandangan.

"Coba aku lihat lukanya" Mawar menarik tanganku dan memeriksa luka kecil di jariku, walaupun kecil tapi perih. "Kalau aku berani akan aku balas perbuatan Baron itu" Aku terkekeh dan mencubit pipinya gemas, dia mendelik tapi aku tidak takut.

"Maaf aku datang terlambat" Katanya dengan wajah khawatir.

------------------

IV. Kecu: tindakan premanisme, bentuknya cenderung memaksa, menyiksa hingga membunuh korban
V. Beloh: bodoh

Lumpuh || Masa RevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang