Keheningan malam yang menemaniku hilang saat suara keras dari arah pintu depan terus bersuara dan mengganggu, lantas aku segera membukanya dan saat itu juga aku melihat Abang pulang dengan keadaan yang amburadul tak karuan, mulai dari rambut, kancing seragam yang terbuka semua, dan resleting celananya pun ikutan terbuka lebar yang mampu memperlihatkan isinya, aku tidak tahu apa yang terjadi tapi aku bisa mencium bau alkohol dan rokok padanya.
"Karam," Panggilnya dengan suara lemah kemudian secara mendadak Abang memelukku dan menangis entah kenapa, untuk menenangkannya aku mengelus-elus punggungnya dan juga bingung, mungkin Abang masih dalam keadaan mabuk dan perlakuannya ini bisa jadi akan berubah seperti Ayah tempo hari.
"Abang minta maaf karena banyak salah, seharusnya seorang kakak bisa melindungi adiknya tapi Abang ini buruk. Tolong maafkan perlakuan Abang selama ini" Seketika semuanya buyar. Abang melepaskan pelukannya dan mata sayu itu menatapku dan sesekali air matanya jatuh pada pipi, sekali lagi aku mendengar mulutnya meminta maaf dengan suara lirih. Aku tidak tahu apakah ini hanyalah belu-belai begitu juga dengan air matanya tapi melihatnya seperti ini membuatku tak tega, meskipun selama ini Abang selalu membuatku cua kepadanya. Mungkin Tuhan sudah mendengar do'aku dan hari ini ia mengabulkannya.
Aku tersenyum dan kembali aku memeluk Abang, "Karam sudah maafkan."
Abang tersenyum lebar dan membalas pelukannya, aku tak bisa menahan air mataku, entah kenapa sekarang aku menjadi sedikit lebih cengeng. Kalau di ingat-ingat dulu jatuh beberapa kali dari sepeda dan dibentak oleh Ayah saja aku malah ketawa-ketawa, sekarang merenung sebentar sudah memikirkan diri sendiri yang begitu melasnya.
Malam ini seperti suram yang sering aku rasakan perlahan menghilang, setelah drama di depan pintu itu aku menyuruh Abang untuk segera mandi dan makan, kebetulan tetangga baik hati memberikan daging sapi yang sudah masak kepadaku tadi siang. Aku kembali pada meja belajarku dan saat itu juga Abang masuk membawakan susu hangat dan menaruhnya di atas meja belajar, aku menoleh dan dia tersenyum lalu berjalan mendekati ranjang dan duduk disana, apa Abang sudah berubah? Dia bukan sedang mabuk?
"Plafon kamar perlu diganti ya? Kamarmu perlu sedikit renovasi" Kata Abang sambil menatap keatas plafon yang sudah berjamur itu.
"Kau lebih memilih belajar daripada mengobrol denganku?" Aku menoleh padanya, untuk saat ini hatiku masih ada keraguan dengan sikapnya dan belajar memang sudah seharusnya aku lakukan, bukan hendak menjadi pintar tapi menambah pengetahuan saja dengan belajar mandiri.
"Jumat ini tidak sibuk kan?" Tanya Abang yang sudah berada di sampingku, aku mengangguk. Dan begitu saja tanpa mendengar suara lagi dari mulutnya lalu Abang keluar dari kamar, aku senang jika akhirnya Abang berubah dan mau berbicara lagi denganku tapi satu sisi aku sedikit merasa ragu dan aneh, tapi aku tidak boleh seperti itu dan aku harus membuang semua pikiran negatif itu jauh-jauh.
*
Matahari menyambut pagi dengan sinarnya yang membakar semangat dalam diriku, aku menghirup udara pagi yang masih segar dan sejuk ini, bisa aku tahu basah dedaunan dan bunga karena embun, biasanya saat masih kecil aku suka sekali membasahi tanganku dengan embun lalu menempelkan tangan basah itu pada pipi.
Dengan menggendong tas berukuran lebih besar aku berlari menuju rumah Awan dan berangkat sekolah dengannya, kami selalu menyanyikan lagu Indonesia Raya setiap berangkat sekolah dan lagu anak-anak lainnya. Terkadang kami berdua juga bermain di selokan sebelum pulang, selokannya memang bersih dan anak-anak lain juga sering bermain disana, sayangnya sekarang sudah penuh sampah dan bau, airnya tak sebening dulu melainkan hitam dan penuh dengan jentik-jentik.
Aku mulai menjalankan kursi rodaku melewati jalanan yang sudah mulai kelihatan beberapa orang berlalu-lintas menggunakan kendaraan roda dua, aku tak sabar mengantarkan surat ini kekantor pos dan kemudian mereka akan mengantarkannya pada alamat Mawar.
Setelah beberapa menit perjalanan menuju kantor pos aku berhenti di depan kantornya dan sungguh sial ternyata kantornya tutup, apa aku datang terlalu pagi? Tidak mungkin, aku sudah berangkat sejak pukul 07.33 dari rumah kemari dan yang aku tahu kantor pos ini buka sekitar jam 07.30, bahkan aku sengaja terlambat ke sekolah demi mengantarkan surat ini lebih dulu. Atau memang jam buka dirubah lagi jadi jam 08.00? Kalau begitu aku akan kembali setelah pulang sekolah dan bisa jadi ini kali pertama ku dihukum oleh Pak Satpam karena terlambat.
"Lho? Tumben jam segini baru datang" Suara Pak Satpam dari balik gerbang, menyadari kehadiranku segera ia membuka gerbangnya dan menyuruhku untuk masuk. Namanya Pak Didin, dia tinggal tidak jauh dari sekolah dan istrinya juga berjualan disekolah ini, aku sering membeli jajanannya dan aku paling suka dengan jajanan bernama citul buatan istri Pak Didin.
"Kemarin ndak sekolah kenapa?"
"Tidak apa-apa, Pak" Jawabku dengan senyuman. Pak Didin menggelengkan kepalanya dan menyuruhku untuk segera masuk kedalam kelas.
"Wis mana manjing ning kelas, Bapak mumpung lagi baik hati sama kamu" Aku tidak tahu harus mengucapkan berapa banyak kata terimakasih untuk Pak Didin, beliau adalah salah satu orang yang kerap kali membantuku saat Baron dan kawan-kawannya mulai merundung, beliau juga sempat membelaku ketika aku melaporkan perbuatan Baron kepada pihak sekolah, kalau di ingat lagi memang terasa sia-sia semua itu, malah membuat suara habis dan tenggorokan sakit.
Koridor sepi dan samar-samar aku bisa mendengar suara para guru mulai mengajar dalam kelas masing-masing, rasanya aku ingin memutar balik kursi roda dan tidak mau masuk kedalam kelas.
Namun keraguan itu seketika hilang saat aku memasuki kelas dan melihat Baron dengan kawan-kawannya mengerubungi bangku-ku yang kemudian mereka secara bersamaan menoleh padaku sambil tersenyum, "Kau datang terlambat, Karam" Suara Raul. Dia berjalan mendekat dan anehnya aku hanya mematung tak bisa memutar balik untuk kabur, aku takut mereka akan mulai menggangguku lagi setelah beberapa hari kehadiran mereka tak terlihat oleh mata yang membuatku tenang.
Raul mendorong kursi rodaku dan sekarang aku benar-benar dihadapan Baron yang dikelilingi oleh semut pelurunya. Baron berdiri dan aku tahu tangannya ancang-ancang akan memukul wajahku dengan keras, tapi tak lama kemudian mereka semua menunduk begitu juga dengan Baron, caranya menunduk sama seperti Abang ketika malam tadi, ada apa?
"Kami sungguh menyesal. Kami semua jahat terhadap kau. Tolong maafkan" Ucap Baron dengan suara yang hampir menangis.
Sebenarnya, apa yang sedang terjadi?
KAMU SEDANG MEMBACA
Lumpuh || Masa Revisi
Short Story[JANGAN DICOPY, HARGAI PENULISNYA] Bagi Karam, dirinya bagai manusia yang lahir kembali dengan keadaan cacat. Seumur hidup dihabiskan dengan duduk pada kursi roda, itu menyedihkan. Dalam mimpinya ketika tertidur, Karam selalu melihat dirinya mengena...