VII

67 39 0
                                    

Aku sudah membersihkan diri dan berganti pakaian, aku kembali membuka kaleng yang berisi uang hasil mengamen tadi untuk menghitungnya; kebanyakan berwarna biru, warna merah sisa tiga lembar.

Aku mulai menghitung dari lembar yang bernilai tinggi sampai recehan, tak disangka ternyata jumlahnya cukup banyak dan cukup untuk melunasi biaya sekolahku. Aku merapikan uangnya dan menyimpannya kedalam dompet bermotif bunga-bunga peninggalan Mama, beberapa barang Mama memang masih aku simpan untuk kenang-kenangan di lemari paling bawah, dan semua barang itu adalah kesukaan Mama semasa hidupnya-seperti dompet ini.

Aku mengelus perutku yang terasa lapar, cacing-cacing mulai bersuara seperti menyuruhku untuk segera menelan sesuatu agar mereka diam, aku keluar dari kamar menuju dapur mencari sesuatu untuk di makan. Ternyata disana sudah ada Abang yang tengah lahap memakan sepiring mi goreng, dia menatapku tajam dan memutar bola matanya kemudian kembali dengan makanannya lagi.

"Kalau lapar, kau keluar saja cari makanan sendiri. Di rumah ini tidak ada lagi makanan yang tersedia selama 24 jam, kecuali kalau Mama masih ada" Kata Abang melirik sinis, yang dia katakan benar. Bahkan dapur sekarang terasa kosong karena beberapa perabotan dapur milik Mama diberikan cuma-cuma kepada keluarga dan tetangga, kami mengambil yang seperlunya saja.

Perut ini memang lapar tapi keluar rumah untuk mencari makanan bukanlah ide yang bagus. Bukan apa-apa, tapi desa ini kalau malam hari sepi terlebih beberapa kali ada kasus penjambretan dan aku juga tidak mau ditengah jalan bertemu dengan makhluk halus. Jadi, aku memilih meminum segelas air putih saja untuk menahan lapar dan menunggu esok.

Kembali aku kedalam kamar lagi dan mematikan lampunya, biarkan kegelapan menemaniku malam ini. Aku naik keranjang merebahkan daksa lelah ini dan merasakan kedinginan sprei yang hanya sesaat sebelum diganti hangat, tidak ada suara lain selain para jangkrik yang saling bersahutan. Sial! Cacing-cacing dalam perutku kembali bersuara, tidak bisakah mereka sabar dan menunggu sampai besok pagi, aku tidak peduli aku hanya ingin tidur untuk menghilangkan rasa lapar ini.

Aku mulai memejamkan mata, hari ini terasa begitu melelahkan. Setengah sadar aku merasakan sebuah tangan yang perlahan menyentuh dadaku, seperti ada orang lain yang ikut tertidur disebelah kanan-ku. Aku membiarkannya, terlalu berat jika harus membuka mata karena mengantuk, mungkin si Pemeluk ingin menemaniku tidur malam ini.

*

Aku keluar dari ruang guru perasaanku terasa lega, uang infak sudah aku lunasi dan sepertinya para pengganggu itu sedang tidak ada energi untuk mengganggu ku hari ini. Sebuah kebahagiaan sederhana yang selama ini aku tunggu-tunggu akhirnya datang, juga keberanian untuk menyatakan perasaanku ikut serta menambah rasa bahagia dalam hatiku.

Dibalik jendela kelas aku menatap keluar melihat kedua burung sedang berduaan di atas ranting pohon, mereka mungkin tengah membicarakan sesuatu dan aku tidak paham akan hal itu. Kini aku merasa diperhatikan oleh mereka, seolah mereka bertanya kepadaku. "Dimana pasanganmu wahai manusia?", kalau aku bisa bahasa burung aku akan menjawabnya kalau pasanganku masih berstatus sebagai temanku.

Namun, sepertinya status itu akan berakhir di hari ini. Aku menatap sebuah kotak kecil berwarna merah muda yang berisi hadiah untuk Mawar, aku tidak tahu apakah Mawar akan menyukainya atau tidak dan sebuah prasangka buruk yang pernah aku takutkan aku membuangnya jauh-jauh, dan apapun nanti jawaban yang Mawar berikan akan aku terima dengan lapang dada.

Aku sudah merasa mantap dan hendak keluar untuk pergi mencari Mawar dan menemuinya, aku melewati koridor dan orang-orang sibuk dengan dunianya masing-masing. Syukurlah, aku merasa lebih baik jika mereka terlihat mengabaikan manusia yang duduk di kursi roda ini daripada harus melihat tatapan sinis mereka.

"Selamat pagi, Karam" Sapa seorang gadis yang tiba-tiba muncul di depanku, dia tersenyum manis dan wajahnya imut, ditambah rambutnya yang pendek dan berponi. Aku tidak mengenalnya tapi bagaimana bisa dia mengenalku? Ah, benar. Satu sekolah mana mungkin tidak mengenal Karam si anak tuna yang gemar memakai kursi roda, itulah aku.

"Maaf kalau tiba-tiba muncul, aku hanya ingin memberikan sesuatu dari seseorang untukmu."

Dia menyodorkan sebuah amplop coklat polos berukuran sedang kepadaku, aku menatap wajahnya sesaat dan dia masih setia dengan senyuman ramah itu kemudian aku mengambil amplopnya. Siapa seseorang yang akan memberikan anak tuna sebuah surat? Terlihat biasa namun istimewa pula, aku penasaran dengan isinya. Gadis berponi itu melambaikan tangannya kemudian pergi dan menghilang di tengah-tengah keramaian.

Aku berpindah tempat karena sebelumnya aku berada di tengah-tengah koridor, di dekatku ada sebuah bunga bernama nusa indah dengan warna merah jambu; katanya bunga ini sebagai simbol cinta yang tulus dan abadi, benarkah? Kalau begitu biar nanti aku petik salah satunya dan kuberikan kepada Mawar. Sekarang aku hendak membaca surat ini dulu, aku membuka lipatannya dan saat melihat tulisan tangan itu, bangunan di dalam hatiku yang sudah aku mantapkan runtuh seketika, begitu saja tanpa diberikan aba-aba.

Surat yang sedang aku baca ini ternyata surat dari Mawar yang berisi pesan perpisahan yang tak sempat ia katakan, Mawar dan keluarganya pindah ke Karawang begitu juga dengan sekolahnya dan hari ini Mawar sudah tidak bersekolah disini lagi. Aku bergeming, teringa-inga seperti kehilangan sesuatu yang berharga lagi dalam hidupku, disitu tertulis kalau Mawar tidak akan pernah kembali kesini lagi, dia akan menetap disana dan mungkin akan berkunjung kalau sempat.

"dan tahukah dirimu bagaimana perasaanku selama ini? Karam... hatiku berkata jujur kalau aku mencintaimu. Apakah kau merasakan hal yang sama?"

Ini benar-benar diluar ekspektasi, Mawar mencintaiku? Langit aku sedang dalam tanda tanya dan sekarang aku bertanya kepadamu, apakah ini semua nyata atau hanya sebuah mimpi? Selama ini kami saling menutupi perasaan kami. Ada penyesalan yang datang dalam hatiku, kalau saja keberanian itu datang lebih awal mungkin aku akan merasa lega karena sudah menyatakan perasaanku kepadanya dengan jujur, aku mungkin sudah tahu bagaimana perasaan Mawar kepadaku tapi Mawar disana mungkin masih bertanya-tanya dengan perasaanku padanya, aku juga mencintaimu Mawar.

Menelponnya? Mengirim pesan lewat aplikasi dari ponsel? Sayang sekali aku tidak menyimpan nomor gadis itu, bodohnya aku. Tapi, kalaupun lewat ponsel rasanya tidak akan sama.

"Ini adalah alamat rumahku yang sekarang, siapa tahu aku mendapatkan balasan surat darimu,"

Gadis pintar dan cantik, salah satu alasan mengapa aku jatuh cinta padanya, dimana lagi aku menemukan sosok seperti Mawar ini?

Lumpuh || Masa RevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang