Bab 12

39.8K 2K 52
                                    

"Masih marah karena soal UTS nya saya ganti?"

Fisah yang sedang fokus makan jajanan langsung cemberut."Bapak nggak bisa berbaik hati sedikit sama saya?"

"Tidak bisa. Lagipula mengintip soal ujian sebelum waktunya, itu curang."balas Laks membuat Fisah menghela napas kesal. Lagipula ia tak akan menang.

"Ini kita mau ke mana, pak?"tanya Fisah, karena sedari awal ia memang tak tahu tujuan mereka.

"Coba tebak!"

Fisah langsung mendesah kesal."Saya nggak ada mood main tebak-tebakan."

Laks terkekeh."Rumah baru kita."

"Hah?"kaget Fisah dan Laks hanya mengangguk.

"Kita akan pindah ke rumah sendiri."jelas Laks membuat Fisah menggeleng panik.

"Bapak jangan macam-macam ya. Saya ini gadis baik-baik. Nggak bisa sembarang diangkut."

"Gadis baik-baik kok sudah hamil."ledek Laks membuat Fisah melotot. Hamil apanya, disentuh saja ia tidak pernah.

"Ini kapan kita jelasin ke keluarga bapak kalau saya tidak hamil?"tanya Fisah membuat Laks melirik gadis yang sudah berstatus sebagai istrinya itu.

"Menurut kamu, bagaimana cara menjelaskannya?"

Fisah mengernyit."Maksud bapak?"

Laks menghela napas."Iya, bagaimana mengatakan pada keluarga kalau kamu tidak hamil. Sedangkan setiap hari kamu selalu bertingkah seperti wanita yang benar-benar hamil."

"Saya tidak__"

"Iya. Kamu begitu. Seperti kemarin bilang ingin makan mangga. Dan tadi pagi saat bangun kesiangan, malah bilang pusing padahal memang kebiasaan tidur sampai siang."

Fisah melotot."Saya beneran pusing, pak. Tadi malam kan tidak bisa tidur."

"Oh ya?"

"Iya. Jam tiga pagi baru saya bisa tidur."

Laks menoleh. Kalau jam tiga pagi baru tidur, berarti saat dia naik ke atas tempat tidur dan mendapat beberapa serangan, itu dilakukan dengan sengaja.

Fisah menghela napas."Saya mau pulang."

Laks hanya diam dan fokus menyetir. Setelah beberapa menit, akhirnya mobil berhenti di halaman sebuah rumah.

"Ini rumah kita, pak?"tanya Fisah semangat saat melihat rumah yang akan mereka tempati.

Laks mengangguk lalu turun dari mobil begitupun Fisah.

'Woah.. Ini sih rumah impianku.' batin Fisah. Tapi meski rumah impian, dulu ia tak yakin bisa memilikinya. Sekarang setelah menikah malah langsung dapat rumah bagus.

"Ayo!"ajak Laks membuat Fisah mengangguk dan segera mengikuti langkah sang dosen.

'Tidak heran sih, rumah seperti ini pasti cuma hal kecil bagi pak Laks.' batin Fisah. Sebenarnya sekaya apa sih pak Laks?

Begitu pintu terbuka, ternyata ada seorang wanita paruh baya menyambut mereka.

"Ini Fisah, istri saya."ucap Laks memperkenalkan.

Fisah langsung tersenyum ramah.

"Cantik pak, istrinya."

Laks mengangguk."Ini bi Atun, biasa jaga rumah kalau saya tidak ada."jelas Laks. Rumah ini memang sudah dua tahun lalu dia beli, hanya saja jarang ditempati. Orang tuanya melarang dan mengatakan bahwa dia boleh pindah jika sudah memiliki istri.

"Kalau bu Fisah perlu sesuatu bisa beritahu saya."

Fisah mengangguk."Iya. Terima kasih."

Setelah itu Laks segera mengajak Fisah masuk ke dalam rumah.

"Mau keliling dulu atau langsung ke kamar?"tanya Laks membuat Fisah yang tadinya antusias langsung terdiam.

"Kamar? Kita tidak sekamar kan, pak?"

Laks mengernyit."Kenapa tidak?"

Fisah menggigit bibir bawahnya."Tapi saya kalau tidur bisa muter, pak. Pokoknya bapak pasti nggak nyaman kalau tidur sama saya."

"Oh ya?"tanya Laks dengan tatapan tajam.

Fisah dengan cepat mengangguk."Kan tadi malam bapak sudah tahu."

Laks mengangguk mengerti."Tidak masalah. Kalau kamu masih suka muter saat tidur, nanti biar saya peluk."

"Hah?"kaget Fisah lalu segera menyilangkan tangan di dada."Bapak jangan macam-macam ya."

Laks hanya tersenyum lalu menarik tangan istrinya itu menuju kamar.

"Pak, jangan.. Saya belum siap. Pak!"teriak Fisah namun begitu sampai kamar, ia menjadi lebih takut. Kenapa pintunya dikunci?

"Duduk! Kita harus bicara."titah Laks tegas.

"Hanya bicara kan, pak?"

Laks mengernyit."Lalu mau apa lagi?"

Fisah segera menggeleng lalu duduk di atas kasur. Sedang Laks langsung menarik kursi dan duduk berhadapan dengan istrinya.

"Harusnya kita bicarakan ini lebih awal. Tapi tidak masalah, kita bisa membahasnya sekarang."ucap Laks memulai pembicaraan

"Maksud bapak?"tanya Fisah gugup.

Laks menghela napas."Karena kita sudah menikah, jadi cobalah untuk menerimanya."

"Tapi__"

"Dengar, Fisah! Meski tidak suka dengan pernikahan ini tapi saya lebih tidak suka lagi dengan perceraian."jelas Laks.

"Maksud bapak, kita tidak akan bercerai?"

Laks mengangguk."Kamu tidak punya kekasih kan sebelum kita menikah?"

"Iya, tidak punya. Tapi meski begitu, saya juga belum siap menikah."masih terlalu muda baginya untuk memiliki suami sekarang. Mentalnya belum siap, terlebih yang menikah dengannya juga bukan pria yang ia cinta tapi dosennya sendiri. Tentu saja akan ada rasa canggung.

"Saya mengerti. Tapi cobalah untuk menerima ini. Kita bisa sama-sama belajar."pinta Laks.

"Saya akan mencobanya."ucap Fisah akhirnya. Lagipula memang tidak ada yang bisa dilakukan lagi.

"Baiklah,"Laks menarik kursinya mendekat ke arah sang istri."Sekarang ayo kita mulai dengan mengubah panggilan satu sama lain."

"Panggilan?"tanya Fisah bingung.

"Iya. Aneh jika memanggil pak ke suami sendiri."

Fisah mengangguk mengerti."Kalau saya panggil abang, boleh?"

Abang? Itu seperti keponakannya memanggil dirinya, tapi itu lebih baik dari pada dipanggil bapak oleh istri sendiri.

"Baiklah. Untuk sekarang boleh."putus Laks.

"Untuk sekarang? Memang nanti abang mau dipanggil apa?"tanya Fisah bingung.

"Tentu saja panggilan kita juga harus menyesuaikan jika punya anak nanti."ucap Laks membuat Fisah melotot.

"Anak? Bapak mau punya anak sama saya?"

"Tentu saja."

Fisah langsung menggeser duduknya dan Laks hanya bisa menahan senyum.

"Bersiaplah untuk nanti malam."ucap Laks kemudian berdiri dan melangkah keluar dari kamar.

Nanti malam?

Fisah langsung menatap tubuhnya kemudian menggeleng frustrasi. Harusnya kalau mau malam pertama, bilang lebih awal.

Aku kan belum bercukur, batin Fisah lalu melotot. Apa sih yang ia pikirkan. Bukannya mencari cara untuk menolak malah memikirkan hal yang tidak penting.

Tapi itu penting kan?

Bersambung

Dilamar Pak DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang