Bab 1

113K 3.4K 111
                                    

"Ketik aku hamil lalu kirim ke teman  yang paling ngeselin! Tapi harus lawan jenis ya."titah Anita membuat Nafisah segera mengambil ponselnya. Ia pikir tadi hukumannya berat tapi ternyata cuma itu.

Kirim pesan mah gampang, walau terkesan aneh karena ia bilang hamil. Tapi aman lah, apalagi temannya yang bernama Dimas atau biasa ia juluki pak Lampir itu tidak akan mungkin menganggapnya serius.

"Cepat ketik!"desak Anita.

"Iya iya. Nih sudah__"ucap Nafisah sambil menunjukkan sebuah pesan yang sudah terkirim namun tak begitu jelas karena langsung ia kembalikan ke layar utama.

"Kirim ke siapa tuh? Pak La__"

"Itu si Dimas, aku namain pak Lampir di kontak."

"Dih cari aman."omel Anita.

"Biarin sih, yang penting kan hukumannya udah dijalanin."

Anita menghela napas lalu melirik jam tangannya."Yuk ke kelas!"

"Emang pak Laks sudah masuk?"tanya Nafisah buru-buru menghabiskan jus wortelnya.

"Nggak tahu."balas Anita lalu segera berdiri diikuti oleh Nafisah, keduanya bergegas meninggalkan kantin dan melangkah menuju kelas.

Sedang di tempat lain, terlihat seorang pria tua berusia hampir tujuh puluh tahun terbaring di atas ranjang rumah sakit dengan berbagai alat medis. Para keluarga sudah berkumpul siang dan malam namun sepertinya pria yang semasa sehatnya menjadi juragan tanah itu tidak mau pergi sebelum keinginannya terpenuhi.

"Impian kakek cuma satu, dia mau lihat cucu-cucunya menikah dan punya anak."ucap Sinta sambil menatap putra sulungnya.

Laks segera melangkah mundur. Apalagi kini semua mata tertuju padanya. Memang tidak salah anggota keluarga menatap ke arahnya, pasalnya dia satu-satunya cucu yang bisa dinikahkan. Tapi masalahnya dia tak ingin menikah dan memang tidak ada calon. Selama beberapa tahun ini, Laks hanya fokus belajar dan bekerja. Mana sempat mencari pacar.

"Laks, apa memang kamu tidak punya pacar yang bisa dibawa ke sini? Siapa tahu jika melihat calon istrimu, kakek jadi semangat untuk sembuh."

"Tidak ada, bibi. Lagipula menikah bukan perkara mudah. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan."Lagipula Laks tak mau menikah hanya karena kakeknya yang sekarat ataupun desakan keluarga.

"Pertimbangan apa sih? Kamu ini sok milih padahal tidak ada yang dipilih."seru Sinta kesal. Padahal kalau memang tidak bisa cari sendiri, ia dan keluarga lain siap mencarikan. Tinggal sebut saja mau kriteria seperti apa, pasti bisa didapatkan.

Laks hanya menggeleng pelan, enggan mendebat lalu bergerak ke pojok ruangan. Dia duduk di sofa bersama sepupu perempuannya yang masih kelas dua SMP.

"Abang yang sabar ya, pasti nanti ada kok perempuan yang mau sama abang."

Laks hanya melirik sepupunya itu sinis. Bicaranya sudah seperti dia tidak laku.

"Padahal abang ganteng tapi nggak ada yang mau, jangan-jangan aura abang ketutup jambu monyet."

"Juwi!"tegur Laks lalu mengeluarkan ponselnya.

Juwi hanya terkekeh."Aku yang masih kecil aja sudah punya pacar. Masa abang yang hampir jadi manusia purba belum punya gandengan."

Ya salam.. Mulut sepupunya itu benar-benar minta dirobek.

Padahal Laks adalah dosen yang sangat ditakuti di kampus, tapi dikeluarganya dia seolah tak punya harga diri cuma gara-gara belum menikah.

"Abang ngapain?"tanya Juwi sembari mengintip ke arah layar ponsel yang ada di tangan Laks.

Laks hanya membiarkannya. Lagipula dia hanya ingin mengecek tugas-tugas yang mungkin sudah mahasiswa/i nya kumpulkan.

Namun ada sebuah pesan masuk sekitar tiga puluh menit yang lalu, Laks yang penasaran segera membukanya.

"Aku hamil. AKU HAMIL!"teriak Juwi dengan nada tinggi membuat semua orang menatap ke arah pojok dengan pandangan bertanya.

Laks sendiri langsung melotot saat membacanya.

"Mama, bang Laks ngehamilin cwe."ucap Juwi memberitahu semua orang.

"Apa? siapa yang hamil?"tanya Sinta dan segera mendekat. Begitupun anggota keluarga lain yang langsung ricuh.

Juwi segera merebut ponsel di tangan abang sepupunya kemudian mencari pesan yang tadi ia baca kemudian menunjukkannya pada semua orang.

Aku hamil.

Dua kata itu jelas terpampang di layar ponsel membuat semua orang menutup mulut tak percaya.

"Laksamana Mahendra, cepat bawa wanita itu ke sini!"

Bersambung

Dilamar Pak DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang