17 - Nilai dalam diri seseorang

80 10 1
                                    

Anak laki-laki itu kemudian duduk dengan santainya di ayunan yang berada di sampingku. Ini pertama kalinya aku didekati orang semenjak kejadian terakhir kali, jadi aku agak canggung...

Nagi Nagi. Aku dulu memang pernah akrab dengannya saat masih TK sampai ke tingkat tertentu. Namun, karena kelas kami dipisah begitu kami naik SD, kami jadi jarang berbicara lagi. Syukurlah dia masih mengenali namaku.

Tapi sekarang, mengapa dia tiba-tiba saja menghampiriku lagi?

"Nagi-kun, ada butuh apa..?"

Nagi menatapku dengan ekspresi tidak percaya selama beberapa saat. "Memangnya butuh alasan untuk menghampiri teman lama?"

Teman..?

Aku curi-curi pandang terhadapnya selama beberapa kali.

Nagi memang tidak terlihat seperti orang yang jahat, atau orang yang berusaha memanfaatkanku. Meski begitu, aku tidak paham mengapa dia mendekatiku, padahal ia pasti tahu, bahwa ia mungkin akan dijauhi karenanya.

"Nagi-kun. Kamu pasti tahu kan, kalo nggak ada hal baik yang bisa kamu dapatkan dari berteman denganku?" Semenjak hari itu, aku sudah memutuskan untuk tidak percaya lagi ke orang lain.

Kelayakan orang sebagai teman itu selalu dinilai melalui berharga tidaknya orang tersebut.

Aku sudah memilih untuk tidak berusaha lagi, maka aku sudah tidak memiliki "nilai". Karena itu lah, aku dijauhi. Tapi itu tidak apa-apa, lagipula itu keputusanku sendiri.

Aku juga sudah lelah untuk berharap pada orang lain lagi. Aku hanya ingin menghabiskan waktuku sendirian.

Jadi cepatlah pergi, Nagi.

Nagi menghela napas kesal. Nampaknya sikapku yang berusaha mengusirnya membuatnya jadi merasa tidak nya— "Bukan begitu, " ucapnya singkat. Meskipun hanya beberapa kata, tapi itu mampu menghapus seluruh pikiran burukku barusan.

"Aku nggak peduli terhadap pemikiran orang lain. Kalo aku dijauhi karena berada di dekatmu, yasudah, mereka bukan teman yang asli kalo begitu."

"Bukankah teman itu ada untuk mendukung satu sama lain saat dalam kesulitan kan?" lanjut Nagi.

Mendengar ucapannya, membuat napasku jadi sesak. Aku sudah lama mengerti kalau itu lah arti dari seorang teman, tapi— apakah orang-orang yang dulunya kuanggap "teman" juga berpikir seperti itu?

"Aku tahu.. Tapi, memangnya kamu nggak takut kalo nanti dijauhi? Aku adalah seorang introvert, jadi... aku sudah terbiasa untuk menyendiri."

Benar, sudah pasti begitu. Namun, Nagi adalah seseorang yang sikap dan sifatnya sepenuhnya terbalik dengan diriku, kita hidup di dua dunia yang berbeda.

Jika dia sampai dijauhi oleh temannya karena ia bermain denganku, aku akan merasa bersalah, dan mungkin tidak bakal bisa tidur untuk semalaman.

"Boleh aku memanggilmu Yuichi?" tanya Nagi tiba-tiba.

"A-ah..! I-iya.."

"Yuichi, ini nggak ada hubungannya sama kepribadian. Apa kamu berpikir, kalo seorang introvert itu harus selalu sendirian?"

"Huh..?"

Kata-katanya barusan terasa sangat menusuk. Padahal aku selalu dipuji sebagai anak yang memiliki empati tinggi, karena kepekaanku terhadap tingkah dan pikiran orang lain.

Tapi- bisa-bisanya aku tidak berpikir sampai kesitu.

Nagi tertawa kecil begitu melihat ekspresiku. "Pfft..! Jadi bener ya?"

...

"Ya, pernyataanmu barusan memang nggak salah sih."

"Seorang introvert memang suka untuk menyendiri, tapi itu BUKAN berarti kalau mereka pantas untuk selalu sendirian, itu adalah dua hal yang berbeda, " sambung Nagi.

Aku kena GenBen?! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang