16 - Pertemuanku dengannya

89 13 1
                                    

Semenjak aku dilahirkan, aku telah dianugerahkan dengan banyak kelebihan.

Orang-orang selalu berkata bahwa aku adalah anak yang jenius. Kemampuan untuk memecahkan semua masalah, kemampuan untuk mempelajari berbagai hal dengan mudah, kemampuan untuk berempati tinggi, semua itu adalah karunia yang telah kumiliki sejak lahir.

Setiap orang selalu kagum begitu mereka melihat bakatku. Ekspektasi tinggi yang mereka taruh padaku, membuatku jadi ingin selalu berkembang dan memenuhi semua harapan mereka.

6 tahun yang lalu- di dalam ruangan kelas sekolah dasar Shinrai.

Sama seperti saat-saat sebelumnya, aku kembali mendapat nilai seratus pada semua mata pelajaran di ujian kali ini.

"Ueda-san, selamat. Lagi-lagi kamu mendapatkan ranking pertama dari seluruh kelas."

"Waaaa..!" Begitu mendengar pemberitahuan dari guru, anak-anak yang lain langsung bertepuk tangan dengan antusias.

"Seperti yang diharapkan dari Yuichi-kun!"

"Yuichi-kun, kuharap kamu mengajariku pada ujian selanjutnya."

Berbagai pujian terus kuterima bagaikan air yang mengalir tanpa henti, aku telah bekerja keras, jadi aku harus bangga atas hasil yang kudapatkan.

Aku merasa senang, ketika melihat orang-orang mulai mengandalkan dan mempercayaiku karenanya.

Meskipun proses belajarnya itu tidak mudah, bahkan sampai mengorbankan waktu istirahatku. Hasil dan pujian yang kudapat, selalu membuatku dapat bertahan dari satu kosakata yang disebut "menyerah".

Aku tidak ingin mengecewakan mereka yang menaruh ekspektasinya padaku.

***

"Ibu! Lihat-lihat! Aku dapet nilai seratus lagi di ujian kali ini!" ucapku dengan antusias, sambil memperlihatkan kertas ujianku dengan bangga.

"Oh? Iyakah? Bagus, " balasnya dengan dingin. Seseorang yang kupanggil "ibu" itu bahkan tidak sedikit pun menengok pada kertas ujianku, atau paling tidak memberikanku pujian dan perhatian sekecil apa pun itu.

Aku hanya menatapnya datar. Responsnya begitu dingin. Pujiannya sendiri terdengar tidak tulus. Bahkan matanya lebih fokus pada buku yang ia sedang baca, bukan aku, putranya.

"Ibu.." panggilku lemah.

"Diamlah. Jangan ganggu fokusku."

Aku menggenggam erat bagian bawah pakaianku, aku menatap ke bawah, sementara mataku mulai berkaca-kaca. Bagaimana dia bisa begitu dingin?

Sama seperti anak-anak lainnya, aku juga membutuhkan perhatian dan dukungan dari sosok seorang ibu.

Aku penasaran, bagaimana rasanya mendapatkan hadiah begitu aku berhasil lolos dari ujian.

Anak-anak lain selalu terlihat bahagia meskipun mereka tidak meraih ranking yang begitu tinggi, senyum selalu tergambar pada wajah mereka, begitu pula dengan senyum di wajah orang tua mereka. Jujur, itu membuatku iri.

Lalu, mengapa ibuku berbeda?

Genggamanku pada pakaian yang kukenakan semakin erat. Tapi aku tahu- bahwa aku tidak boleh menangis.

Aku harus kuat... Aku tidak boleh membiarkan emosi sementara ini untuk mengambil alih diriku. Jika tidak, maka aku akan menghancurkan gambaran "sempurna" dariku yang dibayangkan oleh mereka yang menaruh harapannya terhadapku.

Sebaiknya aku pergi sebelum perasaan ini bertambah buruk.

"Ibu, aku pergi keluar sebentar untuk bermain."

Aku kena GenBen?! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang