21 - Bagaimana jika gender sahabatmu berubah?

89 14 2
                                    

Setelah berbicara dengan Akane, aku jadi semakin yakin, bahwa kemungkinan besar Yuichi tidak akan bisa kembali menjadi laki-laki.

Aku memang benci untuk berpikir pesimis, tapi itu lah apa adanya.

Mau bagaimana lagi, Permohonan bintang hanya bisa dipanjatkan pada bintang jatuh tertentu. Belum ditambah kalau aku harus melawan permohonan dari 8 miliar jumlah populasi manusia. Belum tentu kalau permohonan kita bakal dikabulkan lagi...

Aku berjalan ke vending machine terdekat, kemudian memasukkan tiga keping koin bernilai 100 yen ke dalam mesin tersebut. Setelah selesai memilih, dua kaleng minuman jatuh lewat lubang pada bagian bawah.

"Yuichi suka sama kopi nggak ya? Duh, mana udah terlanjur kebeli lagi."

Tanpa angin tanpa hujan, tiba-tiba saja secara random terlintas sebuah gambaran di dalam kepalaku, bagaimana kalau Yuichi bertumbuh besar menjadi seorang istri.

Setelah pekerjaan lembur yang melelahkan, aku akhirnya dibolehkan untuk pulang oleh bosku. Aku kemudian mengambil tiket perjalanan menggunakan kereta. Aku harus menanggung bau badan menyengat, sambil berdempet-dempetan dengan pengguna lain. Setelah perjalanan yang lama, aku akhirnya tiba di rumahku.

Ketika sampai di rumah, aku merasa ingin langsung meloncat ke atas kasur saja, begitu pikirku. Namun, di saat aku membuka pintu, aku menemukan Yuichi sudah menungguku di depan pintu dengan celemeknya.

"Selamat datang, bubub Nagi. Malem ini mau makan malam duluan, mandi, atau A-K-U? ♡"

GAH!

Kenapa aku tiba-tiba mikirin itu?!

Aku menghela napas panjang. Aku menampar kepalaku sendiri karena tak tahan dengan rasa malu.

Akhir-akhir ini isi pikiranku cuma dipenuhi oleh Yuichi saja, aku sendiri tidak paham mengapa. Dia memang cantik sih, aku tidak menyangkal. Apa mungkin karena itu ya..?

Seorang laki-laki tiba-tiba saja muncul dari belakang, tanpa ragu ia langsung merangkulku menggunakan lengannya. "Woi, Nagi. Ngapain bengong sendirian di depan vending machine? Kamu dari tadi dilihatin sama orang-orang tuh."

"Mana ada. Aku aja baru disini beberapa menit doang. Lagian, bukannya mereka semua pada ngelihat kesini gara-gara kamu, Kaito?"

Laki-laki dengan kepala botak ini adalah Takeda Kaito, salah satu temanku di jenjang SMA. Ia memiliki tinggi kurang lebih 185 sentimeter. Badannya yang tinggi besar itu, di combo dengan wajah yang nampak bodoh, membuatnya terlihat mencolok di antara orang lain. Apalagi, sikap extrovertnya membuat dirinya mudah untuk mencari teman.

"Hehe. Memangnya iya ya? Maaf karena aku terlalu tinggi, " ucapnya dengan tawa sombong. Aku hanya menghela napas, saat melihatnya terus memamerkan tinggi badannya.

"Iya-iya." Memang kesal rasanya, melihatnya terus-terusan pamer. Apalagi perbedaan tinggi kami cukup jauh, yaitu berada di sekitar 7 sentimeter.

Padahal aku juga sering mengonsumsi berbagai makanan yang tinggi protein dan kalsium, tapi masih kalah olehnya.. Memang, kekuatan dari genetik tidak bisa diremehkan.

Kaito menatapku sambil menundukkan kepalanya, ia seolah membuatku terlihat pendek, meskipun nyatanya aku masih berada dalam tingkat rata-rata.

"Kaito." Aku menatap matanya tajam.

"Oi-oi..! Jangan terlalu serius lah. Aku cuma bercanda, Nagi."

Aku menghela napas. "Udah buruan. Ada perlu apa?"

Kaito mengangguk-anggukan kepalanya sebagai bentuk apresiasi, karena aku berhasil mengetahui niatan aslinya. "Nagi, kamu beneran nggak tertarik buat ikut klub basket?"

Aku kena GenBen?! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang