KDRT?

690 29 1
                                        

Tepat jam lima pagi, saat Jingga sudah menyelesaikan shalat subuhnya. Aku bergegas membawanya pulang, bodo amat mau dia kelelahan dan kedinginan juga, yang penting kami cepat sampai di rumah. Pekerjaanku sudah melambai-lambai disana.

"Kang, bawa motornya jangan ngebut-ngebut atuh. Jingga kedinginan ini, mana gak pake jaket lagi" keluhnya yang ku dengar samar-samar.

Grep.
Sontak aku memelankan laju motor, saat kedua tangan Jingga tiba-tiba melingkar di perutku. Tubuhnya bahkan kini sudah menempel di punggungku, seakan mencari kehangatan disana. Berat? Tentu saja, tapi ku hiraukan. Toh, kita sudah suami istri. Hal sepele kaya gitu, gak papakan. Sudah halal.

Setengah jam perjalanan, akhirnya kita sampai. Aku buru-buru turun dari motor, segera membuka pintu rumah yang sudah tak terkunci lalu berjalan cepat menuju kamar, menghiraukan Jingga yang berjalan lambat mengikuti ku di belakang.

"Buru-buru amat kang, ini masih pagi. Lagian sekolah juga belum buka atuh," peringat Jingga saat aku mengambil tas laptop dan mengeluarkan isinya.

"Saya lupa belum menyiapkan bahan ajar untuk hari ini," jawabku sembari duduk di meja belajar dengan membuka laptop.

Hacih!

Hacih!

Jingga mendekat dengan suara bersinnya yang tak kunjung berhenti sedari tadi. "Emang perlu ya kang? Bukannya pekerjaan guru itu mudah, tinggal masuk kelas, duduk lalu menerangkan materi yang sudah ada di buku paket. Selesai" ujarnya yang membuatku terkejut.

"Kata siapa sih tugas guru cuma begitu?" tanyaku geram. Kok bisa ya dia berpikiran seperti itu?

"Temenku kang, dia kan juga guru. Hidupnya enak banget, kerjanya cuma dari jam tujuh sampai jam dua belas. Habis itu selesai deh, banyak banget waktu luangnya"

aku menatap Jingga dengan alis terangkat. "Kamu kira jadi guru itu segampang itu?" tanyaku.

Jingga mengangguk dengan tubuh yang menggigil kedinginan, sedari tadi suara bersinnya tak kunjung berhenti. Wajahnya memerah, mungkin saat ini ia tengah masuk angin, bodo amatlah.

"Enggak segampang itu Jingga, jadi guru itu perlu persiapan yang matang. Perlu tujuan dan perencanaan yang jelas, gak sekonyong-konyong kita datang ke kelas terus duduk lalu menerangkan apa yang ada di buku paket saja. Buku paket hanya sebagai penunjang saja," jelasku.

"Tapi yang Jingga rasain dulu itu gitu loh kang, akang mungkin juga merasakan dulu ada beberapa guru yang datang ke kelas cuma bawa satu buku paket, datang-datang ke kelas nyuruh buat ngerangkum aja. Kan enak di dia, gak enak di siswa"

Aku mengangguk, siapa pun pasti pernah merasakan hal seperti itu. Yang tiba-tiba datang ke kelas di suruh keluarin kertas selembar dan bilang 'hari ini kita ulangan' kalau enggak gitu ya merangkum.

"Nah itu tuh biasanya hanya segelintir oknum yang malas untuk membuat perencanaan pembelajaran kaya gini, kalau gak ada rencana dan gak ada tujuan yang jelas hari ini mau ngajar apa ya biasanya bakalan bingung dan ujung-ujungnya seenaknya dia aja tanpa tau dan paham kebutuhan siswa kita itu apa sebenarnya" aku masih berusaha menjelaskan disela-sela pekerjaanku yang sebentar lagi selesai. Untungnya ada pedoman modul ajar mingguan yang sudah ku buat, jadinya aku tak perlu susah payah buat memikirkan apa yang hari ini akan aku ajarkan pada muridku.

"Oh gitu ya kang, pantesan aja. Eh, padahal kan tugas guru hanya mengajar saja kang, gak papakan kaya gitu juga bagian dari mengajarkan, ya meskipun harus nulis banyak sih"

"Heh, tugas guru itu gak cuma mengajar tapi juga mendidik mengarahkan, membimbing, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik" jealous ku.

"Ih banyak amat, padahal gaji guru kan gak seberapa" celetuknya yang membuatku geram. Segera ku tutup laptop ini, lalu menatapnya tajam.

"Tanggung jawab guru itu besar, makannya kamu harus bisa menghormati gurumu siapa pun itu!"

"Iya ya, kasihan gaji gak seberapa tapi tuntutannya banyak. Akang gak usah kerja lagi deh, ngapain nguras tenaga dan pikiran demi duit yang gak seberapa. Mending kerja sama jingga aja, lumayan omzetnya puluhan juta loh,"

Plak.
Segera aku menggeplak lengannya dengan keras, bisa-bisanya dia membandingkan penghasilan kami.

"Aww, akang sakit" keluhnya.

Aku mendelik, beranjak menjauhinya. "Halah biasanya juga kuat kaya bison, lagian ya kamu jangan ngomong seperti itu. Jadi guru itu panggilan hati, saya gak peduli penghasilannya berapa. Saya ikhlas mengamalkan ilmu yang saya punya ini"

"Halah, katanya ikhlas tapi kok uring-uringan mulu pengen jadi PNS. Kalau gak ngejar uang ya ngapain segitunya pengen jadi PNS,"

Mendengar hal itu sontak membuatku terdiam, gigiku gemelatuk, kedua tangan ini mengepal sempurna menahan gejolak emosi. Aku berbalik menghampirinya dengan penuh kekesalan.

"Kamu mending diam deh, gak usah ikut campur urusan saya!" Kesalku segera meraih handuk, lalu pergi meninggalkannya ke kamar mandi.

Sialan, apa yang Jingga ucapkan terasa begitu melukai harga diriku.

Tepat saat air hangat menyentuh kulitku, aku berusaha menenangkan pikiran. Mengingat kembali pembicaraan tadi dengan Jingga membuat hatiku masih mendidih. Kenapa dia tidak bisa mengerti betapa beratnya tanggung jawab yang ku emban sebagai seorang guru?

Setelah beberapa menit, aku keluar dari kamar mandi, berharap bisa menemukan suasana yang lebih tenang. Namun, Jingga masih duduk di meja, wajahnya tampak cemas.

"Kang," panggilnya ketika aku hendak memakai seragam kerjaku.

Aku menoleh dengan memasang wajah kesal. "Apa?" tanyaku sewot.

"Jingga minta maaf, tadi hanya bercanda" ujarnya dengan tatapan penuh penyesalan.

"Gak lucu, seriusan itu gak lucu sama sekali!" ucapku berapi-api masih dengan kekesalan yang menumpuk.

Jingga menghela napas panjang, lalu beranjak dari duduknya mendekatiku. "Maaf Jingga keceplosan," lirihnya.

Nahkan, katanya tadi bercanda sekarang malah bilang keceplosan. Mana yang benar?

"Bodo amat," jawabku berusaha menghindarinya.

"Kang, ih. Jangan marah kaya gitu," rengeknya dengan menggenggam tanganku.

"Apaan sih, lepas!" Ucapku menepis genggaman tangannya.

"Jangan kaya gini kang," pintanya kembali menggenggam tanganku.

Plak!
Segera aku menggeplak tangannya, membuat sang empu meringis kesakitan.

"Masih pagi kang, jangan kdrt bisa gak?" keluhnya.

Aku menggeleng, "gak bisa, kelakuan kamu kadang bikin saya pengen kdrt-in kamu"

Jingga terdiam, menatapku dengan  mata penuh tanya. "akang kok ngomongnya gitu, emang Jingga semenyebalkan itu ya?"

Aku mengedikan kedua bahu, acuh. Berjalan menuju lemari rias, lalu mulai memakai skincare rutinku sebelum bekerja. Di belakangnya Jingga menguntit dengan wajah bingungnya.

"Kang, itu skincarenya boleh dipake buat perempuan kan?" tanyanya berdiri dibelakangku, mengamati setiap gerakan tanganku yanh mengaplikasikan skincare rutin kewajah ganteng ini.

"Enggak!" jawabku tegas. Aku tau dia hanya basa basi saja.

Jingga mengangguk, lalu berjalan kesampingku.

Plak!
Kembali aku menggeplak tangan nakalnya yang kini terulur hendak menyentuh serum yang baru saja ku letakan di meja rias.

"Hobi banget sih kang, geplakin tanganku. Ini kasusnya udah kdrt berat nih, bisa jingga laporin ke polisi nanti" protesnya mengelus tangannya yang kini sudah memerah.

"Bodo amat, mau kdrt ringan atau berat juga bodo amat. Terserah kamu, lagian salah sendiri. Kelakuan kamu itu pantas saya kdrt-in. Nakal banget sih tuh tangan, bisa gak sehari aja lu diam gak usah ngerusuh?" protesku menatapnya gemas.

Jingga hanya menyengir kuda mendapati protesanku ini. "Gak bisa, hehe"

Aku mendengus, "yaudah, itu artinya kamu mau saya kdrt-in setiap hari!"

Istriku Juragan JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang