aroma pagi

188 9 0
                                    

Suasana dapur pagi ini tidak seperti biasanya, ku dengar canda tawa menghiasi disana. Suara anak kecil saling bersahutan bahkan terdengar menghibur di telinga saat aku hendak keluar kamar menghampiri.

"Om, amaddd!" Seketika senyumku mengembang saat kedua keponakanku berteriak memanggil nama paman kesayangannya ini dengan sangat antusias saat aku menghampiri meja makan.

"Hallo ponakan om yang gendut ini," sapaku memeluk keduanya erat, menyalurkan rasa rindu yang sudah membuncah ingin dikeluarkan.

"Ih kami gak gendut ya, kami gemoy" protes kakang sebal.

Aku mengangguk, mencubit gemas pipinya. "Ini ya kang, yang gemoy ini kaya gini" seruku puas.

Kakang menatapku sebal, matanya sudah berkaca-kaca hendak mengeluarkan tangisnya namun disebelahnya niko, bocah yang berusia tujuh tahun itu segera mengangkat tangan. "No, jangan nangis. Aa gak suka, nanti bunda marahnya sama aa" tegurnya dengan buru-buru memeluk sang adik yang berusia lima tahun itu.

Aku tersenyum puas, menggendong keduanya dengan sekuat tenaga. "Maaf ya, mamang bercanda kok" kekehku.

Kedua kakak beradik itu saling beradu pandang, lalu detik kemudian keduanya memelukku erat. "Mamang bercandanya jangan gitu dong, body shaming itu mah" tegur Niko.

"Ya maaf, habis kalian-"

"Gak usah dilanjut, nanti adek nangis lagi." Belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, tiba-tiba teh Ayu datang menegurku dengan sorot mata tajamnya yang mengerikan, sambil melipat tangan di dada.

Aku mengangguk, membawanya ke meja makan. Lalu ku dudukan keduanya di hadapan bapak serta menantu kesayangannya, mas Abimanyu.

"Apa kabar mas?" tanyaku sambil mengulurkan tanganku untuk menyapanya.

Lelaki berusia tiga puluh tiga tahunan itu tersenyum manis, menerima uluran tanganku dengan sopan. "Alhamdulillah baik, mad. Kemana aja nih pengantin baru, kok gak kelihatan dari semalam?"

Aku tertawa mendengar sapaannya. "Pengantin baru itu butuh tidur, Mas. Tadi malam sempat begadang," jawabku sambil menggoda.

Kedua keponakanku, yang mendengar, langsung meringis. "Om, gak boleh begadang! Nanti bisa sakit!" seru Kakang dengan serius.

“Benar, kan?” Niko menambahkan, mengangguk-angguk dengan ekspresi dewasa.

Abimanyu tertawa geli, "gimana nih, udah gol belum?"

"Gol?" tanyaku pura-pura bingung sambil menepuk dada.

Abimanyu semakin mengencangkan tawanya. "Ah kamu ini Mad, pura-pura gak tau saja. Emak sama bapak juga udah nunggu ahmad junior loh, masa gak paham" godanya.

Aku tersenyum kikuk. Sial, rupanya bercandaan ini malah menjerumuskan ku pada pertanyaan yang sering ku hindari selama ini.

"Ah mas ini, santai dulu lah. Masih baru juga, kan sudah ada dua jagoan nih. Gak mungkinlah emak sama bapak nunggu, iya kan pak?" jawabku sambil menggaruk tengkuk, berusaha mengalihkan perhatian.

Bapak yang sedari tadi sibuk dengan kedua cucunya kini menoleh, "ya kalau bisa sih gak usah lama-lama ya. Jangan di tunda juga mad, emak sama bapak sudah tua. Ya pengen atuh lihat tuyul-tuyul lucu bertambah di rumah ini"

Aku tertegun mendengar perkataan Bapak. "Tuyul lucu?" tanyaku, setengah tertawa, setengah bingung.

"Bapak udah punya dua tuyul ini tapi masih kurang, kalau mereka gede gak ada yang gantiin buat bapak ajak main-main, Mad. Kalau bisa beri bapak banyak tuyul di rumah ini" pintanya.

Mas Abimanyu dan teh Ayu yang mendengarnya sontak menatap bapak heran. "Maksud bapak apa, kok tuyul-tuyul. Anak ayu bapak anggap tuyul?" tanya teh Ayu dengan misuh-misuh tak terima.

"Itu cucumu loh pak, kalau mereka tuyul bapak juga akinya tuyul dong?" Sambung mas abimanyu dengan air muka suram, sama seperti teh Ayu yang tak terima apa yang bapak katakan.

Bapak tertawa geli, mengangkat tangan seolah meminta maaf. "Bukan begitu, Ayu! Maksud Bapak, cucu itu kan lucu-lucu. Tuyul itu kan imut, seperti mereka!" jawabnya, menunjuk kedua keponakanku yang kini sibuk bermain dengan segelas susu mereka.

Teh Ayu masih terlihat kesal, tetapi tidak bisa menahan senyumnya saat melihat tingkah kedua anaknya. "Ya sudah, Pak. Tapi jangan pakai istilah tuyul lagi, ya. Nanti mereka bisa salah paham," katanya, sambil menggelengkan kepala.

"Ada-ada aja bapak ini," geli mas Abimanyu.

"Mad, panggil istrimu. Kita sarapan bareng," tegur emak yang baru saja ikut bergabung di meja makan dengan menata hidangan sarapan untuk kami, di bantu teh Ayu juga.

"Loh mak, Jingga belum turun?" tanyaku heran, pasalnya tadi aku tidak melihatnya di kamar.

Emak menggeleng, ia duduk di sebelah bapak sembari menuangkan secentong nasi ke piring suami tercintanya.

"Panggilin sana mad, teteh sama mas abi pengen ketemu. Kan pas kalian nikah, teteh sama mas abi gak datang." suruhnya.

Aku berdecak dengan gelengan. "Enggak ah nanti keburu telat aku. Lagi pula tadi dia loh yang paling awal keluar kamar, gak tau kemana" tolakku.

Emak menghentikan aksinya, ia kemudian merebut piringku. "Kami jangan makan sebelum istrimu bergabung disini," tegas emak, matanya menatapku dengan serius.

"Mak, jangan gitulah. Ahmad ada kelas pagi hari ini," protesku sebal.

"Ayo cari dulu istrimu, biar kita semua sarapan bareng" perintahnya lagi menghiraukan protesanku.

Aku berdecak, hendak bangkit namun aroma bau tak sedap sudah tercium membuat teh Ayu dan mas Abi sontak terbatuk-batuk.

Uhuk!uhuk!

"Bau apa ini?" tanya teh Ayu yang segera menutup hidungnya rapat-rapat.

Disaat bersamaan Jingga datang menghampiri dengan senyuman. Aku, emak dan bapak saling beradu pandang saat bau tak sedap semakin menyengat.

Hoek ... Hoek ...

"Aku tak tahan," ujar teh Ayu dan mas Abi yang buru-buru beranjak keluar dari dapur dengan berusaha menahan muntahannya.

Aku menyandarkan tubuh ke sandaran kursi dengan pasrah berusaha menahan aroma tubuh jingga yang sudah terbiasa kami hirup selama ini sementara itu Jingga duduk di sampingku dengan wajah tampak kebingungan melihat situasi yang terjadi.

"Aki, ini bau apa ya. Kok gak enak, rasanya pusing" keluh kakang yang kini menutup hidungnya dengan kedua telapak tangan.

"Mak," lirihku meminta bantuan agar emak bisa memberi jawaban pada anak-anak serta kakak dan iparku tentang hal ini.

Jingga mengernyitkan dahi, tampak bingung. "Kenapa kang? Bau apa emang, apa emak goreng jengkol lagi? Tapi jingga kok gak mencium baunya?"

"Loh, kamu gak menciumnya? Padahal emak sengaja masak banyak buat mas abi. Kirain emak mereka suka, eh taunya malah pada pergi. Hehe" Jawab emak sambil tertawa, berusaha mencairkan suasana. Aku tau emak berbohong, jelas-jelas kami tak melihat goreng jengkol tersaji dimeja makan ini.

“Tapi, Mak, ini baunya aneh banget,” seru Niko, yang masih menutup hidungnya.

Aku mencoba bertahan, tetapi senyumku mulai pudar. Selera makanku bahkan sudah hilang. "Ikut aku, kita sarapan di luar, tapi kamu ganti baju dulu ya. Dandan yang cantik" putusku untuk menjauhkan aroma tak sedap jingga dari keluarga teh Ayu.

.
.
.
Hallo teman-teman, terimakasih banyak ya udah setia baca cerita gaje ini😊🥰🥰
Fyi, jangan bosan buat nunggu up ya tapi maaf agak slow up🙏
Kalau mau cepat, kalian bisa baca di apk goodnovel ya. Disana up setiap hari, doble up lagi huhu🔥🔥🔥

Istriku Juragan JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang