Jadi hutang nih ceritanya?

154 13 0
                                    

"kang, Jingga kan sudah belikan akang motor nih,"

Aku menoleh saat suara Jingga mengintrupsi, buku yang sedang ku baca dengan khusu segera diletakan ke meja belajar.

"Ya, terus?" tanyaku beranjak dari kursi belajar mendekat ke arah Jingga yang tengah asik melipat pakaian kami di bawah lantai.

Jingga menggeleng, ia melanjutkan aktivitas melipat pakaiannya. Sementara aku kini sudah duduk dihadapannya dengan mata memicing. Maksudnya apa coba berkata seperti itu, apa dia tidak ikhlas membelikan motor itu untukku.

"Kok diam, kenapa bilang seperti itu? Gak ridho nih ceritanya?" Sindirku membantunya melipat pakaian dengan begitu banyak menyemprotkan parfum pakaian ala laundry ke pakaianku dan Jingga.

"Kang jangan banyak-banyak atuh, satu semprotan saja sudah wangi. Itu kan yang paling mahal kata emak," ujarnya menegurku.

Aku mendelik sebal, di lemparnya baju yang sudah ku semprot dengan parfum itu kearahnya membuat Jingga terkesiap menerima lemparan tersebut. "Gak usah negur, coba cium. Wanginya kecium tidak?" ucapku menyuruhnya.

Jingga menurut. Ia mencium baju yang ku lempar tadi padanya. "Wangi banget atuh ini mah kang, jingga gak suka wanginya menyengat" keluhnya saat menyadari jika baju yang ku semprot parfum ala laundry itu miliknya.

Ya, dulu setelah seminggu pernikahan kami. Aku meminta emak agar membelikan parfum laundry yang wanginya awet untuk pakaian aku dan jingga agar aroma tubuh Jingga tidak membuatku mual. Waktu itu emak menurut, bahkan ia juga sampai saat ini ikut memakainya sebagai pewangi pakaian. Jingga juga pas awal-awal heran kenapa baju yang sudah kerendam pewangi molto kok ya harus di semprot lagi oake parfum, padahal menurutnya wangi molto saja cukup.

Tapi bagiku tidak, wangi parfum saja yang katanya awet bahkan tidak bertahan lama dibajunya Jingga, wanginya selalu tersilap dengan bau aroma tubuhnya. Parfum itu hanya bertahan beberapa jam saja di pakaiannya, itulah mengapa teh Ayu sampai sekarang enggan berdekatan dengan Jingga.

Ah sudahlah, skip. Aku kan mau menanyakan tentang awal percakapan kami tadi. Tentang motor yang aku pakai darinya.

"Itu gak menyengat, itu malah kurang. Besok-besok biar akang saja yang beli parfum pakaian, emak gak becus. Masa wanginya gak awet gini dibilang paling mahal," ketusku.

Jingga mengedikkan bahu, ia meneruskan pekerjaannya hingga keheningan tercipta beberapa saat.

Ekhem...
Aku berdehem menetralisir keheningan ini, mencoba untuk memulai percakapan dengannya yang tiba-tiba menjadi pendiam setelah kekacauan yang teh Ayu buat tadi.

"Jing?" Panggilku memulai percakapan saat Jingga hendak beranjak dari duduknya untuk meletakan pakaian kedalam lemari kami.

"Iya, kenapa kang?" tanyanya urung beranjak.

"Duduk dulu, saya mau bicara prihal ucapan kamu tadi" titahku.

Jingga mengangguk, ia kembali meletakan setumpuk pakaian yang telah terlipat itu di depan kami.

"Lupakan saja kang, jingga gak bermaksud untuk apa pun" ujarnya dengan menunduk.

"Berapa harga motor itu?" Aku bertanya dengan tangan terlipat di dada, mataku menatap intens wajah Jingga yang menunduk dalam.

"Sekali lagi, berapa harganya?" tanyaku kembali.

Jingga mendongak, menatapku dengan heran. "Gak seberapa kok kang itu, kenapa emangnya kang?"

Aku tertawa sumbang menatap wajah polosnya. "Gak seberapa pala mu, saya tau harganya di atas lima belas juta itu. Tadi kamu mau bicara apa, kok kesannya kaya yang nagih utang ya" ledekku.

Jingga menggaruk kepala yang ku yakin tak gatal. Ia tersenyum cengengesan. "Enggak ada kok, jingga cuma bilang itu aja. Hehe"

Aku berdecih, meletakan pakaian yang selesai ku lipat. "Saya tidak bodoh Jingga. Tadi kamu bilang gini  'kang, sayakan sudah belikan akang motor' nah yang mengganggu saya itu perkataannya, kamu seolah membuat saya ngerasa berhutang ke kamu. Ayo lanjutkan saya penasaran," tekanku.

"Ah enggak kang, jingga gak ada kepikiran seperti itu kok" ia menepisnya dengan segera beranjak, memasukan semua pakaian kedalam lemari.

"Jelas tadi kamu mengingatkan saya, jangan mengelak. Kalau kamu tidak ridho dengan pemberian kamu, ya mending dari awal gak usah dibelikan. Toh, saya juga gak pernah minta" sinisku.

Mendengar penuturanku yang terkesan sinis ini membuat aktivitas Jingga berhenti, ia menoleh kearahku dengan mata berkaca-kaca. "Akang jangan berpikir seperti itu, jingga ikhlas kok tadi jingga cuma mengingatkan"

"Lalu?" tanyaku mendekat.

Lagi, Jingga menunduk tak berani melihat wajahku. Sepertinya ubin lantai lebih menarik daripada ketampananku ini.

"Jingga hanya mengingatkan, jingga kan sudah membelikan akang motor. Apa gak ada niatan akang mau ajak jingga keliling desa ini sambil menikmati senja?" Cicitnya.

"Ck. Kenapa gak kamu aja sendiri yang pake buat keliling desa ini. Kamu kan bisa pakai motor apa pun" kesalku.

Jingga menggeleng. "Jingga gak berani kang, jingga pengennya sama akang. Kan akang suami jingga,"

Aku mengusap wajah kesal, "ah elah manja banget sih lu, biasanya juga mandiri. Udah pergi sendiri aja, biar besok saya pakai sepeda tua saya lagi buat ke sekolah" kesalku.

Daripada harus berboncengan dengan Jingga keliling desa ini, aku lebih baik kembali menggunakan sepeda tua untuk bekerja. Ogah sekali rasanya harus bertemu orang-orang di desa ini dengan membonceng Jingga, nanti apa yang akan mereka katakan? Bukannya bakalan ada cibiran demi cibiran yang keluar dari mulut mereka? Tolong, aku gak siap.

"Eh jangan atuh kang, kan jingga beliin itu buat akang. Gak papa kok jingga gak akan meminta akang buat keliling desa. Lagi pula Jingga mana ada waktu, hehe"

"Ogah ah, udah terlanjur gak mood. Motornya pake aja sama kamu lagi pula itu yang beli kamu, surat-suratnya juga atas nama kamu juga. Ngapain pake punya orang, gak bakalan tenang. Mending pake sepeda tua saya saja, walaupun tua juga enak di pakainya. Tenang juga, kan punya sendiri. Gak papa capek ngayuh, biar sehat" tolakku jujur.

Sontak jingga melotot. Buru-buru ia menyelesaikan pekerjaannya, lalu bergegas mengambil tas miliknya dari lemari paling atas yang baru kulihat.

Mataku memicing saat membaca merek tas tersebut.

"Hermes," gumamku dengan decakan tak percaya.

"Akang gak perlu khawatir, tenang aja. Mau Akang pake motor ini ke kota sekali pun, tidak akan di tangkap polisi kok. Soalnya ini beneran milik akang, nih stnk dan bpkbnya. Atas nama akang"

Jelas aku terkejut saat jingga menyerahkan surat motor tersebut kepadaku, ini seriusan? Jingga bukan hanya memberikanku hak milik motornya saja tapi lengkap dengan surat-suratnya juga? Ah, demi apa?

"Jangan bengongkan, ayo terima" ujarnya tersenyum begitu manis.

Dengan ragu aku menerimanya, "makasih," ucapku refleks. Bingung harus berkata apa lagi, masih gak percaya soalnya sebelumnya aku gak pernah dapat barang yang diimpikan secara cuma-cuma kaya gini. Pasti harus kerja keras dulu.

"Tapi gak gratis ya kang," ucapnya yang seketika membuat senyumku yang tadinya merekah kini sirna ditelan bumi.

"Jadi, hutang nih ceritanya?" tanyaku lesu. Jingga tak menjawab, ia hanya tersenyum simpul dan kembali ke aktivitasnya semula. Sial, sudah dibikin terbang setinggi langit, malah dijatuhkan kedasar jurang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 14 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Istriku Juragan JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang