Keesokan paginya, Resta menatap pantulan dirinya di cermin. Tangannya bergerak memasang kancing baju seragamnya. Pemuda itu membiarkan dua kancing atas terbuka, menampilkan kaos putih sebagai dalaman. Ia menyisir rambut hitamnya menggunakan jemari, membasahi bibir agar lembab. Bibir pemuda itu berkedut kala melihat plester di pipinya dan perban di tangannya.
Luka dari penyiksaan selama dua hari itu masih membekas.
Resta segera turun ke bawah, menuruni anak tangga dengan pelan. Langkahnya terhenti di pertengahan anak tangga tatkala melihat Sean dengan Hoodie hitamnya dan Xavier dengan seragam SMA yang melekat di tubuhnya.
Mendengar derap langkah kaki seseorang, kedua orang itu melihat ke arah sumber suara. Xavier berdecak kala melihat Resta yang terdiam di pertengahan anak tangga. "Tunggu apa lagi? Ayo pergi! Kita hampir telat."
Telat?
Resta menunjuk dirinya sendiri dengan bingung. "Aku?"
"Ayah memerintahku untuk mengantarmu dan Xavier," ujar Sean, menjawab kebingungan Resta.
Alis Resta mengernyit. Tidak pernah terlintas di ingatan Resta asli kalau anak itu pergi ke sekolah bersama kedua kakaknya.
"Karena insiden kau diculik, ayah memintaku untuk mengantarmu dan Xavier. Kita tidak tahu kapan musuh melakukan aksinya," kata Sean, lagi.
Resta mendengus samar. "Kenapa?" Anak itu perlahan turun dan berhenti tepat di depan Xavier dan Sean, memandang kedua pemuda itu datar. "Biasanya aku juga pergi sendiri."
"Jangan banyak bicara, ayo kita pergi," desak Xavier tak sabaran.
"Kalian pergi saja." Resta melewati mereka berdua dengan santai. Sebelum pergi, dia mengucapkan beberapa patah kata. "Aku bisa pergi sendiri."
Di tempatnya, Xavier mengepalkan tangan, meluapkan semua emosinya ke kepalan tangan itu. "Apa sekarang dia bermain tarik ulur dengan kita?!"
Tarik ulur? Sean memandang punggung Resta yang kian menjauh. Tidak. Dia sedang tidak bermain tarik ulur. Dia ... benar-benar sudah tidak peduli.
"Ayo kita pergi." Pemuda berusia 20 tahun itu melirik arloji di pergelangan tangan kirinya. Jam kuliahnya mulai pukul 11, dan dia mempunyai waktu untuk mengantar adiknya itu.
Xavier mendengus kasar. Segera keduanya berjalan pergi ke luar rumah.
***
Resta menyilangkan kakinya, menopang pipi sembari menatap jalanan kota lewat kaca mobil. Di sampingnya ada bodyguard yang terlihat seumuran dengan Sean, duduk dengan kaku.
"Hei."
Bodyguard itu menoleh ke arah Resta yang tak mengalihkan pandangannya dari jalanan kota. "Ya, Tuan Muda?"
"Siapa namamu?"
"Aksa."
Resta tak menjawab. Namun, dua detik berikutnya ia menyadari sesuatu. Sontak, kepalanya menoleh ke arah Aksa. "Wajahmu ... aku seperti pernah melihat wajahmu."
"Ah, mungkin yang Anda lihat itu adik saya. Kami memang mirip, jadi orang-orang kadang salah mengira itu saya."
Sudut bibir Resta sedikit tertarik ke atas. "Kau punya adik?"
"Iya." Aksa mengalihkan pandangannya dari Resta, tak ingin bersitatap dengan pemuda itu.
"Siapa namanya?"

KAMU SEDANG MEMBACA
ERROR [END]
Fiksi RemajaAda seorang gadis yang mengutuk pacarnya karena ketahuan selingkuh. Di hari tahun baru, disaat kembang api mengudara ke langit, suara gadis itu terdengar lantang mengatakan, "Aku bersumpah mengutuk dirimu menderita selama 25 kehidupan!" Pemuda itu h...