Genta menatap ke depan dengan kosong. Resta telah pergi, meninggalkannya sendiri di ruangan ini. Sejenak, Genta kembali mengingat ucapan perpisahan dari Resta.
"Genta, aku yakin kau tidak akan mati." Resta mengusap pipi Genta yang basah karena air mata. "Bagaimana pun caranya, jika sadar nanti, aku akan mencari tubuhmu. Kau akan kembali ke tubuhmu."
Itu kalimat yang berhasil membuatnya tenang. Kalimat yang membuatnya percaya bahwa dia memiliki peluang untuk hidup lagi.
Tetapi, apa yang akan dia lakukan sekarang? Dirinya sudah di sini berjam-jam lamanya, hampa, tidak terjadi apa pun. Harusnya jiwanya ikut melebur, menghilang dari dunia, dan pergi ke pangkuan Yang Maha Kuasa.
Genta memeluk kedua lututnya. Dia sendiri sekarang. Dia bebas menangis tanpa malu. Dia bebas merasakan perasaan yang telah lama hilang. Meski dibarengi sesak, Genta lega bisa merasakan bagaimana rasanya menangis.
"Anak cowok tidak boleh menangis..." Genta menghapus air matanya pelan. Bibirnya bergerak sesenggukan.
Sibuk dengan pikirannya, Genta dikagetkan dengan ruangan yang dia tempati berubah. Ada dua cahaya di ujung kanan dan kiri. Genta seketika berdiri, menatap cahaya itu dengan tatapan tak percaya.
Lihatlah, cahaya itu membentuk sebuah jalan. Dan di setiap jalannya, ada wajah-wajah yang begitu familier.
"Mama...?"
Suara Genta tercekat. Di jalan kiri, ada pintu putih yang terbuka lebar, menampilkan wajah Rania, Josep, Tian dan Lian. Keluarga angkatnya di kehidupan pertama.
"Genta, anakku." Rania tersenyum tulus. Senyum yang jarang Genta lihat. Wanita itu merentangkan tangannya. "Kemarilah, sayang."
Genta tertegun. Kakinya terasa kaku. Lalu, kepalanya menoleh ke jalan sebelah kanan. Di sana ada wajah yang sangat ingin dia lihat. Di pintu putih yang terbuka lebar, ada sosok Gaviel, Gabriel, Xavier, Sean dan Resta.
Mereka semua memandang Genta dengan tatapan bingung.
"Apa yang kau lakukan, Genta?" Resta bersuara. Dia mengibaskan tangannya. "Ayo ke sini! Kita harus pergi dari sini. Kita harus berkumpul bersama, kan?"
Genta terkesiap. Dia tahu meski itu adalah imajinasinya, tetapi Resta di ujung sana terlihat begitu nyata. Begitu juga dengan sosok Gaviel yang merentangkan tangannya.
"Genta? Kemarilah, peluk ayah," ujar Gaviel, tersenyum tulus.
"Genta? Kenapa tidak kemari?"
Suara Josep membuat Genta kembali menoleh ke arah kiri.
"Kami sudah lama menunggumu." Tian, pemuda itu berkacak pinggang. "Bukankah dulu kau sangat ingin dipeluk olehku? Kemarilah, dan aku akan memelukmu sepuasnya!"
"Genta, ayo!" Dari arah kanan, Xavier berseru. "Kita bisa mengulangi semuanya dari awal, kan? Kita keluarga, bukan? Kemarilah!"
"Kak Genta!" Lian melompat-lompat sambil melambaikan tangannya. Bocah berusia sembilan tahun itu tersenyum lebar, pipinya bersemu merah. "Ayo, kak! Lian tidak sabar ingin bermain dengan kakak!"
"Genta!"
"Sayang, kemarilah!"
"Genta, datang padaku, Genta!"
"Genta, anakku. Ini kesempatan untukmu berkumpul dengan kami."
Genta menggelengkan kepalanya yang terasa pusing. Suara itu saling bersahut-sautan, dan Genta sekarang bingung, apa yang terjadi sebenarnya?
"Genta..."
Genta mendongak, menatap Resta yang memandangnya dengan tatapan yang teramat rindu.
"Genta..."
KAMU SEDANG MEMBACA
ERROR [END]
Teen FictionAda seorang gadis yang mengutuk pacarnya karena ketahuan selingkuh. Di hari tahun baru, disaat kembang api mengudara ke langit, suara gadis itu terdengar lantang mengatakan, "Aku bersumpah mengutuk dirimu menderita selama 25 kehidupan!" Pemuda itu h...