Resta membuka matanya perlahan. Tatapannya sayu memandang ke arah plafon kamarnya. Dia lelah. Lebih tepatnya lelah mendapat ingatan kehidupan pertama. Disaat dulu dia penasaran, sekarang rasanya ia tidak ingin tahu saja.
Ternyata pepatah itu benar. Lebih baik tidak tahu apa-apa daripada sakit saat mengetahui kebenarannya.
Tidak hanya itu saja, ingatan 23 kehidupan juga terbayang-bayang seperti kaset film yang rusak. Menghantam sel-sel di otaknya, membuat Resta menjerit tertahan.
Dengan waktu yang singkat itu, Resta kembali mengingat dirinya selama 23 kehidupan itu. Rasanya dia benar-benar menjadi orang yang berbeda. Menyesuaikan diri dengan tubuh barunya.
"Resta?"
Resta menoleh ke arah pintu, mendapati Sean yang melongokkan kepala di balik pintu kamar Resta. "Sudah bangun?"
Resta mengangguk, bangkit dari tidurnya, kemudian berjalan ke kamar mandi. Sebelum itu dia mendengar Sean berseru mengatakan sesuatu. "Nanti turun ke bawah dan makan malam bersama, ya!"
***
Di meja makan hanya terdengar dentingan sendok yang saling beradu dengan piring. Tumben sekali tidak ada percakapan di meja itu saat makan malam. Biasanya tiga Dewantata bersaudara akan gencar menjahili Resta sampai-sampai membuat anak itu kesal setengah mati.
Tetapi, kali ini berbeda. Resta berusaha mengabaikannya, namun sebuah nama yang tiba-tiba dilontarkan Gabriel mampu membuat tubuhnya mematung.
"Aku sudah menemukan informasi tentang Genta Adelardo, Yah."
Resta refleks menatap Gabriel. "Kenapa kalian mencarinya?"
"Eh?" Semua tatapan kini tertuju ke arah Resta.
"Kenapa kalian mencarinya? Bukankah aku bilang waktu itu aku hanya mengigau? Memanggil seseorang dalam mimpiku yang bisa saja itu setan?"
Xavier tergelak mendengar itu. "Astaga. Dan kau berharap kami percaya itu, Resta?"
Resta menelan ludahnya.
"Kami sudah mencari thu tentang Genta Adelardo. Dan kini Genta yang kau panggil setan dalam mimpi itu, benar-benar ada di dunia nyata."
Genggaman tangan Resta di sendok semakin menguat. "Kenapa kalian tiba-tiba mencari tahu tentang Genta Adelardo?"
"Karena bodyguard mu berkhianat, Resta," jawab Sean kalem. Resta melotot kaget.
"Sagara?" tanya Resta memastikan. "Tidak mungkin." Pemuda itu menggeleng, menyangkal ucapan Sean.
Sean memandang adiknya prihatin. "Itu Mungkin, Resta. Dan sekarang kami sedang menghukumnya di ruang hukuman."
Resta menggebrak meja. Tanpa pikir panjang, dia berlari keluar mansion. Langkah kakinya dibawa ke asrama para bodyguard. Di sana sepi, tidak terlihat tanda-tanda kehidupan.
Resta kelabakan mencari tempat ruang hukuman. Sebenarnya di mana dia?!
Saat melihat pintu yang terletak di tanah dekat taman arah selatan, Resta menghentikan langkahnya. Pintu itu tertutup oleh dedaunan kering yang berjatuhan. Resta mengepalkan tangan. Tidak salah lagi itu ruang hukuman.
Resta berjongkok, membuka paksa pintu itu. Saat pintu yang terbuat dari kayu itu terbuka, Resta bisa melihat tangga yang mengarah ke bawah. Gelap. Terlebih hari sudah malam, membuat dia tidak bisa melihat apa-apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
ERROR [END]
Teen FictionAda seorang gadis yang mengutuk pacarnya karena ketahuan selingkuh. Di hari tahun baru, disaat kembang api mengudara ke langit, suara gadis itu terdengar lantang mengatakan, "Aku bersumpah mengutuk dirimu menderita selama 25 kehidupan!" Pemuda itu h...